KDRT Terhadap Perempuan

Jumat 09-03-2012,02:17 WIB
Reporter : Dedi Darmawan
Editor : Dedi Darmawan

Trauma Melekat Sungguh miris ketika kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terjadi pada perempuan. Rasa depresi dan trauma akan kerap kali menghantui. SIAPA yang ingin mendapatkan kekerasan dalam rumah tangga? Semua perempuan pasti sepakat menjawab tidak. Apa pun alasannya, bahtera rumah tangga dibentuk bukan untuk saling menyakiti. Namun, pada kenyataannya KDRT kerap kali terjadi. Dipicu oleh banyak hal. Terutama masalah ekonomi yang selalu memicu terjadinya KDRT. Sebut saja AS (33), Ibu satu orang ini mengaku mengalami KDRT secara batin yang dilakukan oleh sang suami. “KDRT itu menurut saya tidak hanya dapat dirasakan secara fisik, tapi batin juga. Karena, inilah yang saya rasakan sekarang,” akunya, Kamis (8/3). Kepada Radar, bukan hanya sering dibohongi oleh sang suami urusan keuangan. Tapi ternyata sang suami lantas menghilang, membawa kabur sejumlah uang tanpa ada kejelasan hingga kini. “Sudah dulunya sering berkata bohong, membentak, pas pergi bawa kabur uang pula,” tuturnya. Bukan hanya rasa sakit hati yang masih melekat hingga kini. Setelah ditinggal sang suami lima tahun silam, AS harus lebih berjuang keras untuk menghidupi putri semata wayangnya. “Wanita mana yang tidak sakit hati? Meski tidak melakukan kekerasan fisik, tapi batin saya yang tersakiti,” paparnya ditemui di Jl Cipto MK. Sementara, dari Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polrestas Kota Cirebon, tercatat sebanyak 12 kasus KDRT terjadi di tahun 2011. Seperti yang disampaikan Kanit PPA Indrawati SH, pada bulan Maret 2012 kasus KDRT terjadi sebanyak 6 kasus. Dengan rincian 3 kasus di bulan Januari, dan 3 kasus di bulan Februari. “Untuk kasus KDRT termasuk menurun dari tahun-tahun sebelumnya. Ketika ada kasus, pastinya kami tangani hingga selesai,” ujarnya ditemui Radar, di Polres Ciko. Penanganan kasus KDRT dilakukan dengan kesepakatan antara dua belah pihak, yakni suami dan istri. “Kami tangani hingga selesai. Periksa saksi, korban, kalau mau diselesaikan harus ada kesepakatan antara suami dan istri. Di mana sang suami berjanji tidak akan mengulangi lagi,” paparnya. Sesuai dengan UU no. 23 tahun 2004 pasal 46, pelaku KDRT akan dijerat hukuman maksimal 12 tahun penjara. “Sesuai dengan Undang-Undang, maksimal hukuman 12 tahun penjara,” katanya. Sementara, Ketua P2TP2A Kota Cirebon, dr Siska mengatakan, di tahun 2012 ini tercatat 15 kasus terkait kekerasan perempuan. Sebanyak 10 kasus di antaranya menimpa anak perempuan. Dan 5 kasus lainnya menimpa perempuan dewasa. Untuk kasus anak perempuan, mayoritas yang terjadi adalan sex abuse atau kekerasan seksual. Sedangkan kasus perempuan dewasa berupa kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). “Untuk KDRT Yang sering terjadi itu kekerasan fisik yang dibarengi dengan kekerasan psikis,” tuturnya, kemarin. Dampaknya, kata dia, hal tersebut bisa membuat penerima kekerasan merasa depresi dan minder. Untuk kekerasan psikis, secara kejiwaan hal tersebut membuat penerima merasa terhina dan sakit hati. Adapun faktor yang memengaruhi terjadinya kekerasa fisik, kata dia, adalah kecemburuan suami, faktor ekonomi, pasangan memiliki wanita idaman lain atau memang sudah watak pasangan yang suka begitu. “Bisa jadi karena suami yang terlalu banyak pikiran, lalu melampiaskan kekesalannya pada sang istri. Padahal, itu tidak seharusnya dilakukan,” tuturnya. Siska menambahkan, saat ini, pihaknya menerima konsultasi untuk perempuan korban kekerasan. Namun sayangnya, kebanyakan perempuan yang berkonsultasi tidak berani untuk melanjutkan ke proses hukum. “Kebanyakan, sudah masuk BAP, tapi dengan surat tertulis dicabut lagi. Dengan alasan faktor ekonomi. Kalau sudah keputusannya begitu, maka kami juga tidak bisa memaksa,” tuturnya. Maka dari itu, Siska mengimbau kepada masyarakat khususnya kaum hawa untuk memiliki life skill agar lebih berdaya. Sementara, Kasubid Perlindungan Anak Badan Pemberdayaan Masyarakat, Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPMPPKB) Kota Cirebon, Titin Suhermawati mengatakan, pihaknya sudah melakukan sosialisasi ke masing-masing kelurahan dan menyediakan kader Warga peduli bocah lan emboke (Wadul Bae). Dengan begitu, setidaknya korban kekerasan pada perempuan bisa dengan mudah berkonsultasi. “Kader kami itu tersebar di kelurahan dan RW. Jadi masyarakat bisa melaporkan kader tersebut,” tukasnya di ruang kerjanya, kemarin. Terpisah, Pemerhati perempuan, Rini Hastuti mengatakan, saat ini kekerasan pada perempuan tidak disadari adalah verbal abuse atau kekerasan secara verbal. Meski secara fisik terlihat sehat, kata dia, tidak menutup kemungkinan kalau seorang perempuan menjadi salah satu korban verbal abuse. “Ucapan-ucapan yang tidak semestinya itu bisa membuat pasangan terluka ya. Dampaknya bisa jadi minder dan hubungan pun akhirnya tidak harmonis,” tukasnya. Dia juga mengatakan, untuk meminimalisir terjadinya kekerasan pada perempuan khususnya KDRT, harus adanya kesepahaman antar masing-masing pasangan. Maksudnya, agar setiap pasangan memiliki satu pengertian dan akhirnya muncul saling pengertian. “Yang terpenting di sini komunikasi ya. Agar nantinya istri  bisa mengetahui mana timing yang tepat untuk bicara dan yang tidak,” tuturnya. (adinda pratiwi/ida ayu komang)

Tags :
Kategori :

Terkait