SAAT Ramadhan tiba nampak kehidupan lingkungan kita berubah, masjid-masjid menjadi ramai, dipenuhi oleh orang-orang yang ingin melaksanakan ibadah kepada Allah ta’ala, demikian juga dengan keadaan dilingkungan sekitar, kemungkaran dan kejahatan terasa sangat jauh. Kesadaran manusia dibulan Ramadhan yang mulia begitu terasa, siang hari sepi dari kegiatan-kegiatan yang melalaikan, bahkan diisi dengan berbagai kegiatan seperti tadarus Al Qur’an, pengajian-pengajian dan kegiatan lainnya, demikian juga dengan malam harinya seluruh masjid penuh dengan orang-orang yang datang untuk melaksanakan shalat tarawih dan ibadah lainnya. Keadaan yang baik itu akan semakin baik bila berlangsung sepanjang tahun dan tidak hanya dibulan Ramadhan, untuk menciptakan suasana seperti itu harus tumbuh dari kesadaran setiap pribadi anggota masyarakat dan adanya dukungan dari pemangku kekuasaan, sehingga nilai-nilai keimananan dan ketaqwaan begitu nampak. Bicara tentang ibadah, masing-masing kita perlu menengok kembali motivasinya untuk ibadah, karena baik dan buruknya tergantung dari motivasi tersebut. Allah ta’ala tidak semata-mata menyariatkan ibadah sebagai bentuk kewajiban bagi para hamba, akan tetapi tercakup didalamnya hikmahyang dalam yang kembali kepada hamba itu sendiri dan hal itu tergantung dari motivasi hamba tersebut dalam melaksanakan ibadah tersebut. Dalam melaksanakan ibadah, apakah itu shalat atau shiyam atau selainnya tentu siapapun saat melakukannya memiliki suatu harapan yang akan menjadikannya bersemangat dalam melaksanakannya. Agar ibadah yang dilakukan tidak sia-sia maka kita harus memperhatikan apa yang menjadi ketetapan Allah ta’ala dalam pelaksanaannya, sebab Allah ta’ala menyampaikan didalam kitab-Nya tentang hal tersebut yang maknanya: “Kemudian Kami ( Allah ) menjadikan engkau ( wahai Muhammad ) diatas sebuah syariat yang berdasarkan perintah ( dari Allah ) maka ikutilah syariat tersebut dan janganlah engkau ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak punya ilmu ( tentang syariat Allah ).” ( QS Al Jatsiyah : 18 ) Juga firman-Nya yang bermmakna : “Katakan ( wahai Muhammad ) maukah kalian kami beritakan tentang keadaan orang-orang yang merugi kelak diakhirat, yaitu orang-orang yang amalnya jauh dari petunjuk dalam kehidupan dunia tetapi mereka menyangka bahwasanya mereka telah beramal dengan sebaik-baiknya.” ( QS Al Kahfi : 103 ) Oleh karenanya Nabi kita ‘alaihishalatu wasallam bersabda ( artinya ): “Barangsiapa beramal dengan amal apapun sedangkan amal tersebut tidak berdasarkan perintah ( Allah kepada ) kami maka amal tersebut tertolak.” Jadi sebuah amal yang benar dan disebut dengan ibadah bila amal ini berdasar pada perintah Allah ta’ala kepada Nabinya ‘alaihishalatu wasallam dan tidak berdasar hanya kepada prasangka saja bahwa ini kan baik atau semisalnya, tetapi harus dipastikan bahwa memang amal ini diperintahkan. Bahkan Allah ta’alapun telah menentukan ketetapan untuk sebuah amal dikatakan berbuah pada balasan yang terbaik yaitu sebagai sebab seseorang dapat berjumpa dengan Allah dan melihat Wajah-Nya yang Maha Mulia lagi Agung, sebagaimana diisyaratkan didalam firman-Nya yang maknanya : “Barangsiapa ingin berjumpa dengan Rabbnya ( Allah ) diakhirat maka hendaklah dia beramal dengan amal yang shaleh dan tidak berbuat syirik dalam beribadah kepada Rabbnya ( Allah ) dengan sesuatu apapun.” ( QS. Al Kahfi : 110 ) Ayat tersebut mengisyaratkan bahwa sebuah amal akan berbuah keutamaan bagi pelakunya yaitu berjumpa dengan Allah dan melihat Wajah-Nya yang Maha Mulia lagi Agung, maka haruslah memenuhi kriteria berikut :
- Amal yang shaleh yaitu jelas perintahnya dan cara pelaksanaannya sebagaimana dicontohkan oleh Nabi ‘alaihishalatu wasallam.
- Terbebas dari syirik baik besar ataupun kecil.