Teori Siklus 16 Tahunan di Depan Mata

Minggu 10-07-2016,15:07 WIB
Reporter : Harry Hidayat
Editor : Harry Hidayat

Oleh: Kurniadi Pramono  DALAM sejarah sepak bola benua biru, Prancis menjadi juara Euro 1984 manakala generasi emas Michels Platini dkk di bawah komando pelatih karismatik Michels Hidalgo menundukkan Spanyol 3-2 di partai final memorial. Dalam kurun waktu 16 tahun kemudian, giliran angkatan platinum Zinedine Zidane cs dalam asuhan manajer militan Roger Lemerre memenangi Euro 2000 dalam partai final dramatis 2-1 atas Italia. Dalam kurun waktu 16 tahun setelahnya, pada Euro 2016 ini, Prancis dalam otoritas head coach flamboyan Didier Deschamps, teori siklus 16 tahunan memasuki puncak yang ketiga. Era berlian Paul Pogba dkk akan melakoni laga pamungkas melawan Portugal pada final yang diprediksi akan menjadi partai klasik, di Stade de France Paris, Senin dinihari nanti. Fakta perjalanan tuan rumah Prancis menuju final, sungguh membuat setiap lawan memberikan respek tingkat tinggi. Melewati penyisihan sebagai juara Grup A dengan 7 poin, hasil kejayaan 2-1 atas Rumania, dan kemenangan 2-0 dari Albania serta satu poin dari hasil draw dengan Swiss. Dalam fase knock-out, Prancis tancap gas, dengan bengis memukul tim ulet Irlandia 2-1 di 16 Besar. Pada perempat final, manakala Antoine Griezmann dan rekan-rekannya mulai diragukan, Prancis dengan dinginnya memukul kuda hitam Islandia, 5-2 tanpa ampun. Dan pada semi final dua hari lalu, manakala publik seolah lebih berpihak kepada tim favorit Jerman yang dinilai lebih pantas ke final, Prancis justru dengan santainya memulangkan Bastian Schweinsteiger cs 2-0. Dengan performa andal sedemikian mengilapnya, di final kali ini otomatis Prancis lebih diunggulkan daripada Portugal. Dengan 13 gol (hampir separuhnya diproduksi oleh Antoine Griezmann), Prancis bisa dikatakan predator teratas pada Euro kali ini. Bahkan rumah-rumah taruhan yang legal di Eropa, tidak berani memasang angka di atas 2 kali untuk para petaruh yang memegang Prancis. Ini bisa dimaklumi juga karena diperkirakan bahwa panglima jenderal Didier Deschamps, akan leluasa menentukan perwira perangnya dalam skema main variatif yang dimilikinya. Seluruh pemain (inti) tuan rumah Prancis konon siap diturunkan dalam laga hidup-mati melawan Portugal. Namun tampaknya Didier Deschamps patuh pada petuah kuno untuk tidak mengutak-atik tim juara. Hugo Lloris di bawah mistar akan diamankan oleh tiga defender terkuat Bacary Sagna, Patrice Evra, Laurent Koscielny. Sedangkan midfilder, kuartet bertenaga kuda Blaise Matuidi, Dimitri Payet, Moussa Sissoko, N’Golo Kante serta playmaker Paul Pogba yang berperan sebagai pembuka arus bola ke pertanahan lawan yang tentunya akan memonopoli lapangan tengah untuk menyuplai bola-bola matang kepada Olivier Giroud dan Antoine Griezmann, dua striker yang pergerakannya selalu membingungkan pertahanan lawan. Sebaliknya di pihak Portugal, tim arahan pelatih kawakan Fernando Santos, tampaknya justru menikmati status sebagai finalis underdog. Bahkan Cristiano Ronaldo seolah tidak ambil pusing dengan olok-olok media yang mengatakan Portugal cuma sekadar finalis tim hoki semata, yang lolos dari penyisihan Grup E, tanpa sekalipun meraih kemenangan. Benar, Portugal hanya “kebetulan” lolos dari lubang jarum penyisihan setelah tiga kali seri. Draw 1-1 dengan Islandia, ditahan tanpa gol oleh Austria serta sama kuat 3-3 dengan Hongaria. Dengan poin 3 saja, Portugal betul-betul beruntung jika dibandingkan dengan Albania dan Turki dengan poin sama 3, namun lebih progresif hasil satu kali kemenangan dan hanya kalah produktivitas gol. Di fase gugur perdelapan final, kala berhadapan dengan favorit Kroasia, Portugal diselamatkan gol Ricardo Quaresma di penghujung 30 menit tambahan. Di babak 8 Besar, beruntung lagi dalam drama panggung penalti melawan Polandia. Baru di partai semi final, Portugal memperlihatkan lekukan ototnya kala memulangkan Tim Naga Wales, 2-0. Penampilan Portugal yang datar dan nyaris tanpa akselerasi, membuat publik ingat pada gaya main tanpa beban ala Denmark di Euro 1992 dan Yunani pada Euro 2004. Dua tim ini menjadi Juara Eropa tanpa banyak babibu. Malah mereka dikritisi (baca: diejek) oleh media sebagai tim ecek-ecek yang berangkat ke turnemen besar dengan kostum tim yang cukup sampai penyisihan saja. Ada benarnya juga, manajer tim Denmark (almarhum Moller Nielsen) dan pelatih tim Yunani (Otto Rehhagel) mengakui setelah mereka menjadi juara, bahwa biro logistik dan akomodasi timnya tidak mau ambil risiko besar. Mereka hanya berani membooking kamar hotel sampai penyisihan, dan mendadak memperpanjang status tamunya setelah menang dan menang dan menang dan menang lagi. Demikian pula dengan Fernando Santos, yang oleh pers Portugal sendiri dianggap kurang becus menangani tim nasional mereka. Bahkan ketika federasi sepak bola Portugal FPF menunjuk Fernando Santos sebagai palatih nasional, pers di sana menyebutnya sebagai pelatih gagal karena memang dirinya tidak bisa meneruskan tongkat estafet dari Otto Rehhagel di tim nasional Yunani. “Otto menyiapkan Yunani dalam 9 tahun, saya cuma diberi waktu satu malam,” demikian Santos berkelit. Namun pelatih ini bukan seorang yang arogan, dia menerima masukan dari pers dan publik fans Portugal untuk membawa Renato Sanches ke Euro 2016 ini. Walaupun awalnya ia menganggap Sanches masih terlalu belia, namun pada saatnya ia mulai menaruh kepercayaan pada pemain Bayern Munchen ini. Terbukti kontibusi Sanches sangat signifikan untuk permainan Portugal. Konon di final nanti, Sanches akan dimainkan dalam starting eleven bersama pemain inti seperti Carvalho, Nani dan Ronaldo. Sayang belum pastinya kondisi Pepe yang absen di laga semi final, apakah akan dimainkan di final melawan Prancis. Keberadaan defender “bengis” dari Real Madrid sungguh sangat dibutuhkan Portugal. Ada istilah cuma kepada tackle Pepe-lah, penyerang tim lain mengangkat kedua kakinya karena takut risiko patah tulang. Tanpa Pepe, Wales memang tetap tak bisa melangkah ke final. Namun tanpa Pepe, Prancis sudah tiga per empat juara Eropa. Jadi nampaknya laga final ini seperti perlawanan antara dua kutub yang berbeda. Di satu pihak, tuan rumah Prancis yang akan melanjutkan tradisi juara dalam fakta siklus 16 tahunan di satu pihak, dan di pihak lain, Portugal mengejar sejarah tim kuda hitam di Euro setelah Denmark dan Yunani di pihak lain. Perlu menjadi catatan pula, bahwa Portugal sejak era Eusebio hingga Figo, belum pernah menjadi juara Eropa apalagi dunia. Ini adalah tantangan bagi Ronaldo untuk melejit keluar dari bayang-bayang kompetitornya, Messi. Bintang Argentina itu sejauh ini dianggap satu strip lebih tinggi daripada Ronaldo, apabila melihat kiprah keduanya di La Liga Spanyol (Barcelona dan Real Madrid). Namun Ronaldo punya kesempatan besar untuk “mengalahkan” pesaingnya itu di level negara apabila ia bisa mengangkat piala Henri Delaunay tahun ini. Messi belum pernah memberikan Copa America dan World Cup kepada Argentina. (*)

Tags :
Kategori :

Terkait