KESUKSESAN Imamatul Maisaroh (33), tenaga kerja Indonesia (TKI) asal Desa Kanigoro, Dusun Krajan, Kecamatan Pagelaran, Kabupaten Malang, Jawa Timur, di Amerika Serikat (AS) tidaklah mulus. Melainkan penuh liku. Bahkan, anak sulung dari pasangan Turiyo dengan Alimah itu pernah jadi korban perbudakan saat awal-awal di negeri Paman Sam itu. Buah perjuangannya, kini Ima justru diangkat menjadi penasihat Presiden Barrack Obama. Bagaimana kisahnya? Berikut laporan NUR LAYLA RATRI, Malang dan THEODORA HAPSARI, Surabaya. Intonasi suara Turiyo tiba-tiba menurun. Sejenak dia berhenti berbicara. Sudut matanya tampak membasah. ”Dia nggak pernah cerita kerja apa, cuma bilang kerja kantoran,” ujar Turiyo membuka pembicaraan dengan nada agak terbata. Dia yang dimaksud pria 54 tahun itu adalah putrinya, Imamatul Maisaroh. Selasa (26/7) kemarin WIB, anak sulung di antara tiga bersaudara itu berbicara di konvensi nasional Partai Demokrat di Wells Fargo Center, Pennsylvania, AS. Turiyo menyebutkan, sebelum menjadi TKI, Ima, sempat mengenyam pedidikan di bangku SMA tapi tidak lulus. \"Waktu itu baru kelas I di SMA Khoirudin, Gondanglegi, lalu ada yang minta (melamar, red), ya akhirnya kami nikahkan,” tutur Turiyo. Namun, pernikahan tersebut hanya seumur jagung. Ima berpisah dengan suaminya. (Baca: Imamatul Maisaroh, TKI yang Kini Jadi Penasihat Barrack Obama) Karena tak memiliki pekerjaan, dia pun mendaftar untuk menjadi buruh migran. ”Dia pengin ke Hongkong. Tapi, ada tawaran dari tetangga, katanya ada yang butuh pembantu di Amerika,” jelas Turiyo. Akhirnya tawaran bekerja di Negeri Paman Sam itulah yang dia pilih ketimbang rencana semula ke Hongkong. Turiyo mengenang, saat itu dirinya harus menebus Ima Rp 600 ribu dari perusahaan penyalur tenaga kerja tempat Ima mendapat pelatihan. Akhirnya, pada 1997, Ima yang saat itu berusia 17 tahun pun bertolak ke Amerika Serikat. Bermodal tekad kuat untuk membantu perekonomian keluarga, Ima menerima tawaran bekerja sebagai pramuwisma seorang pengusaha interior desainer asal Indonesia yang bermukim di Los Angeles. Untung tak dapat diraih, malang tak bisa ditolak. Begitu mendarat di bandara, paspor Ima ditahan majikannya. Selama tiga tahun, Ima harus bekerja lebih dari 12 jam. Hampir setiap hari Ima menjalani siksaan dan pukulan dari si majikan. Untuk kesalahan kecil yang dibuatnya, Ima harus menerima pukulan dan tamparan berkali-kali. Dia bingung bagaimana mengadu karena waktu itu dia tidak bisa berbahasa Inggris sama sekali. Setelah tiga tahun mendapat perlakuan buruk, Ima tidak tahan lagi. Pada tahun 2000, perempuan lulusan MTs Miftahul Ulum itu nekat menyisipkan sebuah notes kecil berisi permintaan tolong kepada seorang penjaga bayi tetangganya. Tetangga itulah yang menolong Ima melarikan diri dari rumah majikannya dan mengantarkannya ke kantor CAST. ”Dia hanya cerita kabur ditolong tetangganya. Lalu, disekolahkan dan diberi kerja kantoran,” tutur Turiyo. Di AS, setelah beberapa bulan tinggal di rumah penampungan kaum gelandangan dan belajar bahasa Inggris, Ima pun akhirnya bisa tinggal di rumah layak dan bekerja di CAST. Kinerja dan komitmennya membantu dan memberantas perbudakan pun membuat karirnya cemerlang. Kariernya sebagai aktivis makin menanjak dan berhasil diundang ke berbagai pertemuan tingkat tinggi di Washington DC. Ima pun berkesempatan bertemu dengan para pejabat tinggi seperti Menteri Luar Negeri John Kerry, bahkan Obama. ”Dia memang cerita, sering ke negara-negara lain,” terang Turiyo. Saat ini Ima tinggal di Amerika bersama tiga anaknya, yakni Aisyah Feres, Leonardo, dan Ivana. Dua anaknya merupakan buah pernikahan dengan pria asal Meksiko. Sedangkan yang bungsu merupakan buah perkawinan ketiga Ima dengan pria asal Bandung. Sejak kecil, kenang Alimah, Ima memang terbiasa bekerja keras. Dia juga dikenal santun, penurut, cerdas, dan tanggap membantu orang tua. Setiap dimintai tolong oleh bapak atau ibunya, Ima tak pernah membantah. Mulai menyelesaikan pekerjaan rumah hingga membantu orang tuanya di ladang. ”Anaknya juga cerdas, selalu ranking. Ngajinya juga tekun, bahkan khatam Alquran sejak belum lulus SD,” kenang Alimah. Hingga saat ini, Ima pun tak henti mengirimkan uang kepada orang tuanya. Misalnya, untuk pembangunan rumah dan lain-lain. ”Kalau kami minta, pasti langsung dikirimi,” terang perempuan 50 tahun itu. Tercatat 40 ribu sampai 45 ribu orang menjadi korban perdagangan manusia di AS. Bersama tiga anggota Dewan Penasihat Presiden, Ima dipercaya menangani dua di antara lima masalah utama. Yakni, soal pendanaan dan sosialisasi para korban perdagangan manusia Tapi, kalau ada satu orang yang sangat ingin ditemuinya di konvensi, itu adalah Hillary Clinton. ”Saya belum pernah bertemu dia. Dia satu-satunya pejabat tinggi AS yang punya program membantu para korban perbudakan dan perdagangan manusia dengan menyumbang dana lewat Clinton Foundation,\" kata Ima. Turiyo dan Alimah mungkin tak tahu siapa perempuan yang ingin ditemui putri mereka itu. Atau, apa peran pentingnya bagi AS dan Ima. Tapi, yang pasti, mereka bangga sekali karena, dengan segala pencapaiannya saat ini, Ima tak pernah menyombongkan diri. Kepada orang tuanya, Ima hanya pernah sedikit menceritakan bahwa menolong TKI yang kesusahan seperti dirinya dulu merupakan bagian dari pekerjaannya. Karena itu pula, Ima menolak halus saat Turiyo dan Alimah memintanya pulang kampung. Sebab, dia mengaku belum tahu akan bekerja apa di kampung. ”Tapi, kami sudah rida sekarang karena kami tahu dia bekerja untuk membantu banyak orang di sana,” kata Alimah. (*/JPG/lid/c10/ttg)
Ini Jejak Imamatul Maisaroh, dari TKI Jadi Penasihat Barrack Obama
Rabu 27-07-2016,06:48 WIB
Editor : Husain Ali
Kategori :