Masjid KBRI Manila bukan sekadar tempat ibadah, tapi juga etalase keramahan khas Indonesia. Jamaah berbagai negara diundang untuk terlibat dalam beragam kegiatan, misalnya saat Ramadan. Laporan: DHIMAS GINANJAR, Manila RUMAHNYA memang hanya sepelemparan batu dari KBRI Manila. Tapi, bukan semata pertimbangan geografis itu yang membuat A. Sarip memilih selalu menjalankan salat Jumat di sana. ”Di sini khotbahnya dalam bahasa Inggris. Jadi, saya bisa dengan mudah mencocokkannya dengan ini,” kata kakek 67 tahun itu sembari memperlihatkan Alquran yang dilengkapi terjemahan dalam bahasa Inggris yang dibawanya. Salat Jumat (22/7) di Masjid At Taqwa KBRI Manila belum lama usai ketika itu. Sembari berbincang dengan Jawa Pos, Sarip, yang berasal dari Maranao, Filipina Selatan, berkali-kali menyalami atau membalas ucapan salam jamaah lain yang hendak meninggalkan masjid. Tentu tak semua jamaah itu dia kenal. Tapi, suasana kekeluargaan memang sangat kentara di masjid kedutaan besar yang terletak di Salcedo Street, Makati, tersebut. Sapaan assalamualaikum terus terdengar. Kenal atau tidak, sebangsa atau tidak, jamaah dari Indonesia, Filipina, Turki, dan sejumlah negara lain akan bertegur sapa. Kadang ditambahi my brother setelah mengucap salam. ”Itu juga yang membuat saya betah beribadah di sini,” kata Sarip. Di Makati, kawasan sentra bisnis di ibu kota Filipina, memang tidak ada bangunan yang khusus diperuntukkan masjid. Tempat ibadah itu hanya ada di kompleks kedutaan besar. Selain KBRI, Kedutaan Besar Arab Saudi yang hanya berjarak 1,6 kilometer sebenarnya juga mengadakan salat Jumat untuk umum. Sedangkan salat Jumat di Kedutaan Besar Malaysia cuma diperuntukkan kalangan internal. Kalau kemudian banyak warga dari berbagai negara yang memilih untuk menunaikan salat di masjid KBRI, itu terjadi karena prosedur pengamanan di Kedutaan Besar Arab Saudi sangat ketat. Maklum, Maret lalu terjadi insiden penembakan di sana. Tidak berarti di KBRI tak ada pengamanan. Tentu ada, tapi dalam batas wajar. Barang bawaan tetap diperiksa. Kartu identitas juga harus ditinggal di petugas untuk ditukar dengan kartu pengunjung. Sekuriti menggunakan tongkat untuk melihat isi setiap bawaan. Ada yang wajib untuk dititipkan di tempat penitipan yang menggunakan meja kayu berwarna cokelat dengan ornamen khas candi itu, yakni senjata api. ”Di Filipina, banyak yang punya senjata api,’’ ujar Ketua Dewan Pengurus Masjid At Taqwa Fahmi Lukman. Tapi, Jumat pekan lalu itu tak ada yang membawa senjata. Menjelang azan, jamaah masih terus mengalir. Tak sedikit yang merupakan ekspatriat dari kawasan Timur Tengah dan Afrika. Masjid At Taqwa terletak di lantai 4. Ruangan yang persis di seberangnya digunakan untuk gereja. Karakter masjid itu memanjang, bisa digunakan untuk enam saf. Untuk memastikan jamaah tidak kepanasan, selain ada pendingin udara, tersedia kipas angin. Waktu duhur di Manila Jumat pekan lalu itu pukul 12.02. Namun, di Masjid At Taqwa KBRI Manila, azan baru dikumandangkan sekitar pukul 12.30. Menurut Rahmat Ramadhan, salah seorang pengurus masjid, itu sengaja dilakukan untuk menunggu jamaah datang. ”Makanya, jam salat kami berbeda dengan Kedutaan Arab Saudi,” katanya. Ada sekitar 300 jamaah pada Jumat pekan lalu. Memadati empat di antara enam saf. Bagaimana imam masjid? Selalu digilir. Minggu pertama berasal dari Turki. Minggu kedua dan ketiga orang Filipina. Baru pada Jumat keempat imam dari Indonesia. Mustofa Mardjuki (40), adalah imam dari Indonesia yang biasa memimpin salat dan kegiatan keagamaan lain di KBRI. Bersama tiga imam lain, dia memastikan selalu menggunakan bahasa Inggris untuk khotbah. Sebab, jamaah yang datang beragam. Karena itulah, bahasa Indonesia juga tidak pernah dipakai sebagai pengantar. Itu juga yang membedakan tempat ibadah tersebut dengan masjid di Kedutaan Besar Arab Saudi, yang khotbahnya hampir selalu berbahasa Arab. Mustofa tidak tahu pasti kapan Masjid At Taqwa mulai berdiri dan menyelenggarakan salat Jumat untuk umum. Yang dia ingat, ketika kali pertama menginjakkan kaki di Filipina pada 2004, masjid KBRI sudah punya jadwal salat Jumat. Bapak tiga anak itu menambahkan, muslim dari Indonesia di Metro Manila sekitar 120 orang. Dia tahu betul karena pernah menjadi panitia pemilu untuk kawasan ibu kota yang ditopang 17 daerah itu. ”WNI di Metro Manila ada 1.200-an, yang muslim 10 persen,” terang dia. Di mata warga Filipina yang mayoritas Katolik, papar Mustofa, warga muslim Indonesia dikenal ramah, terbuka, tidak neko-neko. Karena itu, mereka bisa hidup damai dan berdampingan dengan penduduk setempat. Citra keramahan itu pula yang menurut Fahmi Lukman harus ditampilkan di masjid. Misalnya budaya bertegur sapa. ”Saya selalu bilang, masjid bukan sekadar tempat ibadah, tapi menjadi etalase Indonesia. Baik dalam konteks kebiasaan atau etalase yang berkaitan dengan keramahan,” tuturnya. Itu pula yang menurut atase pendidikan dan kebudayaan (Atdikbud) KBRI Manila tersebut membuat orang asing nyaman salat di Masjid At Taqwa. ”Perasaan ukhuwah jadi lebih kental,” ucapnya. Apalagi, KBRI juga kerap mengundang jamaah lain untuk ikut beragam kegiatan saat Ramadan tiba. Mulai memberikan takjil, salat Magrib, buka bareng, sampai salat Tarawih bersama. Masjid At Taqwa juga terbuka bagi siapa saja yang mau iktikaf dan tadarus bersama. ”Itu sesuatu yang biasa terjadi di Indonesia dan tetap kami lakukan di sini,” katanya. Juga, animo jamaah dari negara lain ternyata besar. Karena itu, mantan atase Atdikbud Kairo, Mesir, tersebut juga ingin memanfaatkannya untuk mempromosikan Indonesia. Tentu saja promosi tidak dilakukan di dalam masjid karena bisa mengganggu kekhusyukan jamaah. ”Branding kan bisa di mana saja. Akses menuju masjid bisa dipasangi materi promosi wisata, pendidikan, sampai barang produksi (Indonesia, red),” katanya. (*)
Tradisi di Masjid KBRI Manila; Imam Salat Jumat Digilir dari Turki, Filipina, dan Indonesia
Jumat 29-07-2016,13:00 WIB
Editor : Dian Arief Setiawan
Kategori :