KPK Menolak Keringanan Hukuman Buat Koruptor

Rabu 17-08-2016,10:00 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

JAKARTA – Polemik revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99/2012 kemungkinan bakal berkepanjangan. Sebab, KPK tetap keukeuh menolak penghapusan syarat Justice Collaborator (JC) untuk narapidana korupsi yang akan mendapat remisi. Kabag Pemberitaan KPK, Priharsa Nugraha mengungkapkan, pemerintah harus cermat menimbang baik buruknya penghapusan syarat JC untuk napi kasus korupsi yang akan menerima remisi. ’’Yang sangat harus diperhatikan itu adalah pemberian efek jera pada pelaku korupsi,’’ ujar Priharsa. Seseorang narapidana korupsi mestinya tidak bisa begitu saja menerima keringanan hukuman. Sebab, kejahatan yang dilakukan termasuk extra ordinary crime. Efek yang timbul juga merugikan masyarakat luas. ’’Untuk diberi keringanan pelaku tentu harus menyesali dan mengakui perbuatannya serta berkontribusi mengungkap perkara korupsi lainnya,’’ terangnya. Kenyataannya, selama ini banyak terdakwa kasus korupsi di KPK yang tak melakukan hal tersebut. Misalnya, masih saja tak mengakui perbuatannya meskipun ada bukti rekaman pembicaraan. Atau bahkan melakukan serangan-serangan balik dengan membangun opini negatif. Atas dasar itulah, KPK masih keberatan syarat JC dihapus. Meskipun sebagai gantinya, Ditjen Pemasyarakatan akan melibatkan KPK masuk dalam tim pemantau pemasyarakatan (TPP) untuk memberikan rekomendasi pemberian remisi pada koruptor. Sebelumnya, Kasubdit Komunikasi Ditjen Pemasyarakatan Kemenkum HAM Akbar Hadi Prabowo mengatakan, PP 99/2012 kurang progresif dalam pengetatan pemberian remisi bagi napi korupsi. Menurut dia, peraturan sebelumnya PP 28/2006 lebih ketat. ’’Dalam PP lama, napi korupsi bisa mendapatkan remisi ketika sudah menjalani 1/3 masa tahanan. Kalau dalam PP 99, begitu dapat JC bisa langsung dapat,’’ jelas Akbar. Yang jadi masalah, pemberian JC oleh penegak hukum selama ini belum memiliki standar. Bahkan ada indikasi pemberian status tersebut bisa dimainkan oleh oknum penegak hukum maupun internal lapas. Atas dasar itulah Kemenkum HAM menghapuskan syarat JC. Penghapusan tersebut berlaku bagi seluruh napi extra ordinary crime, tak hanya kasus korupsi. Penghapusan syarat JC itu juga diharapkan bisa mengurangi jumlah napi kasus pemakai narkoba yang harusnya berada di tempat rehabilitasi. Akbar menjamin penghapusan syarat JC tak serta merta mempermudah koruptor dapat korting hukuman. Sebab penentuan seseorang napi extra ordinary crime layak atau tidak mendapat remisi bakal melibatkan penegak hukum. Mereka akan dimasukan dalam Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP). Misalnya dalam kasus korupsi, Ditjen Pemasyarakatan akan memasukan KPK dalam TPP. Mereka dimintai pertimbangan layak tidaknya napi korupsi yang perkaranya dulu mereka tangani untuk mendapatkan remisi. KEJAKSAAN OBRAL JC      Salah satu alasan Kemenkum HAM menghapus syarat JC tak lain karena adanya indikasi permainan. Tidak adanya standar dalam penentuan seorang narapidana sebagai JC memang rentan dimainkan oleh penegak hukum. Sekelas KPK sekalipun sempat muncul indikasi tersebut. Dari data yang dihimpun Central for Detention Studies (CDS) terungkap Kejaksaan merupakan penegak hukum yang rajin mengobral JC. Sejak PP 99 disahkan pada November 2012, Kejaksaan telah mengeluarkan 670 status JC untuk terdakwa korupsi yang ditanganinya. Terkait hal ini, peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Supriyadi W Eddyono mengatakan, temuan obral JC itu harus diungkap untuk membuktikan ada tidaknya permainan. Status JC tidak boleh sembarangan diberikan. Label JC juga harusnya dilakukan saat proses penuntutan dan secara resmi dinyatakan dalam tuntutan. ’’Di luar ketentuan itu, maka JC memang bisa diindikasikan sebagai komoditas untuk memfasilitasi agar napi dapa remisi,’’ katanya. Kejaksaan, KPK, dan Polri diharapkan mempublikasikan status JC ke publik sejak awal. Kejaksaan, Polri dan KPK diharapkan mempublikasikan proses penetapan JC para terdakwanya. Apakah status itu diberikan saat proses penuntutan atau justru sesudahnya. Yang patut disorot ialah ketika status JC baru diberikan setelah putusan dijatuhkan. ’’Ini memang sebuah misteri, jangan-jangan kekhawatiran JC menjadi komoditas memang terjadi,’’ katanya. Di KPK kasus semacam ini pernah terjadi. Jaksa Penuntut Umum (JPU) tiba-tiba menyebutkan status Patrice  Rio Capella sebagai justice collaborator dalam tuntutannya. Padahal saat itu pimpinan KPK belum memutuskan status JC Rio Capella. Kasus itu memang tak mencuat ke publik. Namun pimpinan KPK meminta pengawas internal untuk memeriksa jaksa yang menangani kasus Rio. Mantan Sekjen Partai Nasdem itu secara kriteria memang tak pantas menerima JC. Dia mengelak perbuatan menerima suap dari Gatot Pujo Nugroho, serta tak memiliki peran mengungkap perkara korupsi lainnya. (gun)

Tags :
Kategori :

Terkait