Tunggu Ketegasan Presiden, Tolak Remisi bagi Koruptor

Jumat 26-08-2016,22:35 WIB
Reporter : Husain Ali
Editor : Husain Ali

JAKARTA - Kontroversi rencana pemberian remisi bagi para koruptor sepertinya belum akan berujung dalam waktu dekat. Presiden Joko Widodo hingga kini belum bersikap atas usulan Menkum HAM untuk merevisi PP nomor 99 Tahun 2012. PP itu berisi tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan. Padahal, di tangan Presiden-lah, revisi PP disetujui atau ditolak. Juru Bicara Presiden Johan Budi SP mengakui, draf RPP tersebut sudah ada di Sekretariat Negara. Namun, belum sampai ke tangan Presiden. \"Saya cek ke Mensesneg itu sudah masuk,\" ujarnya saat dikonfirmasi. Seluruh rencana perubahan regulasi yang masuk ke Presiden selalu melewati pintu Setneg. Hanya, tutur Johan, saat ini usulan tersebut masih dikaji. \"Karena ada beberapa pihak yang mengajukan keberatan terkait rencana Menkum HAM melakukan revisi PP 99 tahun 2012,\" lanjut mantan pimpinan KPK itu. Meskipun demikian, Johan tidak menjelaskan lebih lanjut siapa yang dimaksud dengan pihak lain yang keberatan itu. \"Tentu presiden akan mendengar masukan-masukan, terutama dari publik terkait dengan rencana Revisi PP 99 itu,\" tambahnya. Menkum HAM Yasonna H Laoly tidak bersedia berkomentar banyak mengenai rencana revisi PP tersebut. Saat ditemui usai pertemuan di kantor Setneg Kamis (25/8), dia buru-buru masuk ke mobilnya. \"Belum, belum, nanti kita proses lagi,\" ucapnya singkat. Sebenarnya, rencana tersebut sudah pernah diwacanakan Yasonna dan hendak diajukan kepada Presiden tahun lalu. Namun, presiden sudah langsung mengeluarkan sinyal penolakan. \"(Menkum HAM, red) diminta agar rasa keadilan masyarakat diperhatikan,\" ujar Sekretaris Kabinet kala itu, Andi Widjajanto. Pasal yang hendak direvisi masih sama, yakni pasal 34A yang mengatur remisi bagi napi kasus kejahatan luar biasa. Seperti narkoba, terorisme, korupsi, kejahatan HAM berat, kejahatan terhadap keamanan negara, dan kejahatan transnasional lain. Ada persyaratan tambahan bagi para napi tersebut untuk bisa mendapatkan remisi. Yakni, menjadi justice collaborator alias bekerja sama dnegan penegak hukum untuk membongkar kasus yang melibatkan dia. Khusus napi koruptor, dia juga harus sudah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai putusan pengadilan. PP tersebut diterbitkan pada 12 November 2012. Begitu terbit, PP tersebut langsung mendapat permohonan uji materi diMahkamah Agung. Para pemohonnya adalah Rebino, petani asal Kulon Progo, DIY, Abdul Hamid, warga Sampang, dan Jumantoi, warga Probolinggo melalui pengacara Yusril Ihza Mahendra. Namun, permohonan tersebut ditolak lima hakim yang menyidangkan. Masing-masing Muhammad Saleh selaku Ketua Majelis, Artidjo Alkostar, Imam Soebechi, Supandi, dan Yulius. \"Menolak permohonan keberatan hak uji materiil dari para pemohon,\" ucap Saleh dalam putusannya. MA menilai PP tersebut tidak bertentangan dengan peraturan di atasnya, yakni UU 12/1995 tentang Pemasyarakatan. Menurut majelis, pembinaan berbeda terhadap narapidana merupakan konsekuensi logis adanya perbedaan karakter jenis kejahatan yang dilakukan. Juga, perbedaan sifat bahaya dari kejahatan dan akibat yang ditimbulkan. Menurut MA, keberadaan PP 99/2012 bertujuan agar pelaksanaannya bisa mencerminkan nilai keadilan. Sehingga, akan menunjukkan perbedaan antara pelaku tindak pidana biasa dengan tindak pidana berbiaya tinggi. Biaya tinggi yang dimaksud adalah dampak kerusakan moral, sosial, ekonomi, keamanan, generasi muda, dan masa depan bangsa. Selain itu, MA juga menilai PP 99/2012 justru sesuai dengan konsep restorative justice. Sehingga, tidak bersifat diskriminatif dan tidak bertentangan dengan HAM. Lagipula, dalam UU 12/1995, syarat dan tata cara pelaksanaan hak narapidana tidak diatur terperinci. Melainkan, didelegasikan kepada PP. Pertimbangan lainnya, PP 99/2012 tidak bermaksud menghilangkan hak-hak narapidana. Namun, hanya memberikan pengetatan aturan mengenai syarat dan tata cara pemberian hak napi. Baik remisi, asimilasi, pembebasan bersyarat, hingga cuti menjelang bebas. Karena itulah, bagi MA permohonan para pemohon harus ditolak. Saat ini, bola berada di tangan presiden. Hingga kemarin, belum jelas apakah Presiden akan mengeluarkan sinyal penolakan seperti tahun lalu atau tidak. Sejumlah pihak, khususnya para pegiat antikorupsi sudah menyuarakan keberatan atas rencana tersebut. (byu/ang)

Tags :
Kategori :

Terkait