Athirah, Penghormatan JK buat Bunda

Rabu 28-09-2016,23:30 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

BANYAK perempuan korban poligami yang pasrah dan tidak bisa berbuat apa-apa. Di era ‘50-an, Athirah mampu mendobrak kultur sembari tetap menjaga keharmonisan keluarga. Perjuangan Athirah, ibunda Wapres Jusuf Kalla, beserta pergulatan emosi anak-anaknya dalam balutan budaya Bugis yang kental menjadi suguhan utama film Athirah. Film besutan Riri Riza itu mulai beredar di bioskop, besok (29/9). Senin malam dilangsungkan gala premiere di XXI Epicentrum Kuningan, Jakarta. JK –sapaan Jusuf Kalla– turut hadir. Dia menyatakan, film Athirah adalah caranya mengenang masa lalu dan sebagai penghormatannya kepada sang bunda. ’’Dalam kehidupan, kekecewaan bisa dihadapi dengan semangat dan kerja keras,’’ katanya sebelum masuk studio. Memori paling menyentil bagi JK berhasil dikemas Riri menjadi film yang menguras emosi. Kisah tersebut bukan hanya tentang Athirah, tetapi juga bagaimana Ucu, sapaan JK saat itu, memimpin keluarga sejak remaja. Bagi Riri, menyutradarai Athirah yang berdasar novel karya Alberthiene Endah tersebut merupakan mimpi yang jadi nyata. ’’Sudah lama saya kepengin bikin film dengan menggunakan bahasa ibu,’’ kata Riri yang memang asli Makassar. Di mata warga Makassar, Haji Kalla, ayah JK, sangat terkenal. Selain kebaikannya, ada sisi gelap yang diketahui banyak orang. ’’Cerita Athirah dipoligami sudah bukan rahasia lagi,’’ tutur Riri. Berdasar latar belakang tersebut, Riri tahu apa yang harus dilakukan saat membikin Athirah. Jika biasanya film Riri sangat mengedepankan landscape, dalam Athirah, sebagian besar adegan diambil di dalam rumah. ’’Kalau ingin mengenal orang Bugis Makassar, cukup potret dari dapur, ruang keluarga, dan ruang tidur saja,’’ jelas Riri. Menurut dia, di sana ruh kehidupan orang Bugis Makassar berakar. Dengan setting waktu ‘50 sampai ‘70-an, pusat cerita memang terjadi di ruang keluarga. Karena itu, adegan demi adegan yang mengaduk emosi diambil di ruangan tersebut. Misalnya, tahun-tahun pertama saat Haji Kalla mulai meninggalkan rumah. Sang Emma (ibu, red) bersikap seperti tidak terjadi apa-apa. Dia tetap menyajikan makanan terbaik dengan aroma yang menggugah selera. Sayur-mayur dan aneka lauk tertata apik sehingga mengundang seisi rumah untuk bersantap bersama. Makan bersama adalah salah satu tradisi masyarakat Bugis. Athirah berusaha terus menjaga pelabuhan kedamaiannya lewat tradisi turun-temurun. Meski sang suami –yang lebih banyak disebut Puang Ajji– tidak pernah muncul, tempat duduknya selalu dikosongkan. Awalnya, Athirah selalu menunggu hingga anak-anaknya kelaparan. Namun, semakin lama dia membiarkan kursi itu kosong. Sebagai istri tua, Athirah berusaha ikhlas. Dia menyimpan perkakas makan milik Puang Ajji. Kursi Puang Ajji pun lantas diisi salah satu anak perempuannya. Dia pun menyimpan sarung sutra yang merupakan maskawinnya ke tumpukan paling bawah di lemari. Produser Mira Lesmana mengakui, film produksinya kali ini sangat emosional. Ceritanya mampu membangkitkan kenangan akan hadirnya seorang ibu. ’’Kadang kita merasa nasihat ibu nggak penting, kadang menjengkelkan. Tapi, keberadaan ibu itu melebihi sosok ayah,’’ kata Mira. Athirah dibuat dengan modal Rp7 miliar. Dibintangi Cut Mini Theo, Christofer Nelwan, Jajang C Noer, Tika Bravani, dan Nino Prabowo, film itu dapat dinikmati seluruh keluarga. Cut Mini yang memerankan Athirah mengungkapkan, Athirah merupakan film yang berat dan melelahkan. Bukan hanya secara fisik, tetapi juga emosi. ’’Dari sini saya belajar bahwa perempuan itu perlu punya sisi yang ekstrasabar. Harus bisa menutupi apa pun yang dirasakan. Yang terpenting anak-anak makan enak dan bahagia,’’ ungkapnya. (glo/c15/na)

Tags :
Kategori :

Terkait