Tersangka Korupsi IAIN “Bernyanyi”

Senin 13-08-2012,09:31 WIB
Reporter : Dedi Darmawan
Editor : Dedi Darmawan

Beberkan Kronologis, Tuntut Tersangka Lain Segera Ditahan CIREBON - NA, tersangka kasus dugaan korupsi PNBP dan Ikomah, IAIN Syekh Nurjati Cirebon (SNJ) meradang tidak terima. Penundaan penetapan tiga tersangka lainnya dirasakan tidak fair (adil). Padahal, satu di antara ketiga itu merupakan otak dari perencanaan sistem perputaran keuangan di tubuh IAIN SNJ. \"Perhitungan saya, setelah rektor meninggal, ada tiga tersangka lagi. Satu di antaranya adalah otak dari seluruh perencanaan yang ada. Kita lihat saja, apakah penyidik akan menyeret mereka dengan cepat, atau membiarkannya,” kata NA, saat diitemui Radar, di balik jeruji besi Mapolres Cirebon Kota, kemarin. Ditanya siapa saja calon tersangka yang sudah dikantongi itu, NA mengaku tahu betul. Namun dia enggan menyebutkan meski sebatas inisial. \"Lebih baik penyidik yang menyebutkan. Cuma saya kasih tahu saja, para tersangka itu dulunya menjabat Kabag administrasi, bendahara pengeluaran Dipa dan staf perencana,\" bebernya. NA mengaku dirinya sempat menanyakan kepada penyidik kapan akan menarik ke tiga tersangka yang saat ini masih menjabat di IAIN. \"Pernah saya tanyain itu, kata penyidik nanti sehabis Lebaran. Lah, kenapa nggak secepatnya, kan biar bisa takbiran dan berlebaran bersama kami di sini, jadi kan fair,\" kelakarnya. Ditanya kemungkinan tersangka itu bertambah, NA tidak menampik. Menurutnya, jika penyidik jeli, Puket I-III juga memiliki keterlibatan. “Bagaimana tidak, setiap datang kuitansi pengajuan, para puket ini juga memberikan acc persetujuan dikeluarkanya dana. Kalau menurut saya, ada indikasi superbody yang ujungnya timbul diskriminasi,\" tukasnya. Dalam kesempatan itu, NA pun membeberkan kronologis kejadian, yang mengakibatkan dirinya mendekam di rumah tahanan. Menurutnya, gaya kepemimpinan Prof Imron Abdullah M Ag (alm), berbeda dengan gaya kepemimpinan lain. Sosok Imron, dipandang royal. Selalu mengutamakan kesejahteraan kampus. Baik dari segi personal, maupun segi kegiatan civitas akademik kampus. “Namun, sikap royalnya ini, melampaui batas,” katanya. Perihal hasil audit BPKP dan hasil penyelidikan polisi terkait adanya manipulasi data perolehan dana kampus yang harus disetorkan ke nagara, NA menjelaskanya dengan gamblang. “Saat itu Rektor (Ketua STAIN, red) memiliki target mencapai alih status dari STAIN menjadi IAIN. Hal tersebut merupakan salah satu alasan Imron mengeluarkan biaya besar untuk menyekolahkan dosen-dosennya. Para dosen dibiayai sekolah. Dari S1 ke S2, begitu juga dengan S2 ke S3. Biaya ini lah yang membengkak,\" paparnya. Bukan hanya menyekolahkan dosen, hal-hal kecil mengenai kebutuhan keuangan pun tak luput dari pantauannya. \"Ada yang minta uang, pinjam uang, nggak pernah nggak dikasih. Bahkan ketika ada yang datang untuk sekedar minta biaya berobat lantaran diare selalu beliau kasih,\" ungkapnya. NA memandang itu merupakan strategi Imron dalam membangun simpatisme dan dukungan. Baik masyarakat kampus, maupun masyarakat di luar kampus. \"Beliau pernah bilang, jangan sekali-kali mengatakan kita nggak punya uang. Lembaga kita lembaga besar. Makanya tidak ada biaya minim untuk acara wisuda, tidak juga sulit untuk kalangan organisasi kemahasiswaan yang mengajukan proposal kegiatan,\" ujarnya. NA mengatakan, dengan kebijakan seperti itu, NA dan NAS yang kebetulan selaku pelaksana, merasa kerepotan. Lantaran banyak sekali yang mengajukan permohonan dana. Belum lagi merekap itu semua. Menurutnya, pencapaian target alih status dan peningkatan kesejahteraan mau tidak mau menekan uang yang harus disetorkan ke negara. Namun, dana-dana tersebut memang diperuntukkan membiayai seluruh kegiatan kampus. \"Misal pendapatan kampus itu mencapai Rp3 M, di laporkan dan disetorkan ke negara itu Rp1 M. Karena Rp2 M nya digunakan langsung untuk kegiatan,\" ungkapnya. NA menuturkan, pagu yang harus dipenuhi pada tahun 2007 sekitar lebih dari Rp2 M. Tahun 2008 sebesar Rp3,2 M. Dan tahun 2009 Rp3,5 M. NA pun mengakui, jika pendapatan kampus itu selalu melebihi ketetapan pagu yang harus disetorkan. Di lapangan, lanjut NA memang ditemui adanya ketidaktepatan pembayaran ke negara. Namun, kampus selalu bisa memenuhi target tersebut. \"Bahasa penyidik pembayaran pagu 2007 di bayarkan 2008 itu memang betul, tapi itu kami bayar,\" tukasnya. NA menyatakan inilah yang membuat dirinya dan NAS mendekam di tahanan. Dirinya hanya sebagai pelaksana lapangan yang melaksanakan perintah dan kebijakan pimpinan. “Ini rupanya skenario besar yang sudah disusun sejak awal. Bayangkan saja, saya ini sarjana agama, mana ngerti urusan keuangan,” kilahnya. Dia mengklaim dirinya merupakan tumbal dari sistem kepemimpinan yang royal, boral hingga lupa akan kewajiban setor ke kas negara. Terlebih lagi pemilik kebijakan tersebut sudah tidak ada. Karena pemiik tanggung jawab sebetulnya ada pada alm rektor. “Ya kalau begini caranya, nggak ada yang mau jadi bendahara. Tiap bendahara jadi tersangka dan dihukum,” katanya. Namun, jauh dari itu semua, NA mengaku sadar akan kesalahannya. “Ini sudah jalan yang ditunjukkan oleh Allah, Insya Allah ada hikmahnya. Untuk almarhum, saya cuma berdoa Allahumma Yarham,” pungkasnya. (atn)

Tags :
Kategori :

Terkait