Firdaus, 20 Tahun Merawat Pita Seluloid Film-Film Bioskop

Rabu 30-11-2016,15:00 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

Suka menonton film-film lama Indonesia yang diputar ulang di televisi atau bioskop, seperti Tiga Dara? Bisa jadi, ada peran tangan Firdaus di sana. Sebab, dialah yang selama ini menjaga agar film lama kondisinya tetap baik saat dialihmediakan menjadi format lain yang lebih canggih. Laporan: DHIMAS JAKARTA, Jakarta BAU menyengat seperti tiner cat langsung menusuk hidung saat Jawa Pos (Radar Cirebon Group) mengunjungi ruang perawatan film milik Sinematek Indonesia di gedung Pusat Perfilman H Usmar Ismail, Kuningan, Jakarta, Senin (28/11). Baunya makin tidak nyaman karena sirkulasi udaranya minim. Ruang itu berada di basement. “AC-nya mati. Jadi seperti ini, bau dan sepi,” kata Firdaus di sela-sela kesibukannya membersihkan pita-pita film tanggung jawabnya. Saat itu, jempol dan telunjuk kirinya mengapit pita seluloid dengan kain putih. Sedangkan tangan kanannya menggerakkan pemutar untuk menggulung pita itu pelan-pelan. Bau menyengat itu berasal dari tiga sumber sekaligus. Yakni pita seluloid yang berlapiskan emulsi perak halide dengan bau khasnya. Aromanya beradu dengan Trichloroethylene (TCE) atau aseton yang dituangkan dalam kain putih untuk pembersihnya. Kadang, dia juga menggunakan cairan ethanol 95 persen. Firdaus membiarkan hidungnya dengan telanjang menghirup bau itu. Memang, semestinya dia perlu masker untuk melindungi organ pernapasannya. Tapi, dia tidak melakukan. Alasannya sederhana, dia sudah terbiasa begitu. “Saya sudah menjalankan tugas ini sejak 1996. Indera penciuman saya sudah kebal,” kata bapak satu anak ini. Setiap hari, Firdaus mesti membersihkan pita seluloid film-film yang mayoritas diproduksi oleh sineas dalam negeri itu. Jam kerjanya, mulai pukul 09.00 sampai 16.00. “Kalau pita negatif, satu hari satu judul film. Kalau pita positif, biasanya sehari bisa dua judul,” katanya tanpa menatap objek kerjanya. Pertanda dia sudah mahir melaksanakan tugas itu. Menurut Firdaus, pembersihan pita seluloid itu membutuhkan  waktu cukup lama karena satu judul film bisa lebih dari satu roll. Yang saat itu dia kerjakan adalah film dokumenter ABRI Masuk Desa buatan 1993 yang direkam dalam roll kecil. “Paling banyak film G30S/PKI, sampai 15 roll,” terangnya. Di tengah pembicaraan, teknisi gedung datang bersama Budi Ismanto, rekan Firdaus yang baru beberapa bulan bergabung. Mereka lalu menyalakan AC yang mati. Ketika AC akhirnya hidup, suara mesin terdengar berisik. Tak berapa lama hawa gerah di ruangan pun mulai dingin dan  bau menyengat hidung perlahan menghilang. Lamanya proses pembersihan film, kata pria 45 tahun itu, juga karena tidak boleh adanya sisa cairan kimia di pita seluloid. Itu sebabnya, Firdaus dan Budi perlu mengulang membersihkan pita sampai empat kali. Dan, supaya lebih cepat kering, dia perlu mengeringkannya dengan bantuan kipas angin yang dia pasang di sisi kanan mejanya. “Dengan cara ini pita filmnya jadi tetap bagus. Saya juga tidak sampai masuk angin,” kelakarnya lantas tersenyum. Selesai membersihkan pita film dokumenter milik Puspen TNI itu, Firdaus beranjak menuju meja besar di depannya. Ada layar dan beberapa panel yang disebutnya sebagai editing table. Di situlah dia mengecek hasil kerjanya. Memastikan semua beres, pita film yang sudah dibersihkan dimasukkan ke dalam wadah khusus yang kering. Firdaus lalu menunjukkan mesin pembersih canggih yang merupakan hibah dari pemerintah Jepang. “Tapi, mesin ini sudah hampir setahun tidak bisa digunakan. Rusak. Tidak ada sparepart-nya,” terangnya. Saat mesin itu masih berfungsi, ujar Firdaus, tingkat kebersihan pita seluloid yang dibersihkan bisa mencapai 100 persen. Hanya, prosesnya lama. Firdaus juga mengajak Jawa Pos ke ruang penyimpanan film. Di dalam ruangan itu terdapat rak bersusun dengan tumpukan roll film yang diwadahi plastik. Dia mengatakan, ada seribuan judul film yang tersimpan di ruangan itu. Paling banyak dalam bentuk pita seluloid, lalu laser disk, dan aneka bentuk video format VHS maupun betamax. “Film tertua di sini, Tie Pat Kai Kawin (Siloeman Babi Perang Siloeman Monyet). Sutradaranya  The Teng Chun, buatan 1935,’’ urainya. Sedangkan koleksi terbarunya, Rumah tanpa Jendela yang dirilis pada 24 Februari 2011 dengan sutradara Aditya Gumay. Film-film yang diproduksi akhir-akhir ini banyak yang tidak disimpan di Pusat Perfilman H Usmar Ismail karena kebanyakan sudah berbentuk digital. Firdaus lantas mengambil film Tiga Dara dan Lewat Djam Malam yang baru-baru ini direstorasi untuk keperluan pembuatan film baru lagi. Kata dia, master atau negatif film Tiga Dara masih tersimpan dengan baik di Sinematek. “Sebelum direstorasi, saya bersihkan agar gambarnya lebih cling,” katanya sambil menunjukkan catatan proses pembersihan film Lewat Djam Malam yang dia tulis tangan. Beberapa catatan itu, di antaranya, negatif mulai asam, bergelombang, terdapat bunga air, baret-baret halus, sampai adanya sambungan di tengah pita. Hasil restorasi yang telah diterima Sinematek baru film Lewat Djam Malam. Film yang disutradarai Umar Ismail pada 1954 itu direstorasi di Italia. Sedangkan yang Tiga Dara, dia tidak tahu kenapa belum masuk ke Sinematek. “Sampai label biru dari Italia tidak saya copot,” ucapnya seraya menunjukkan pembungkus roll pita itu. Industri film yang proses pembuatannya menelan biaya yang tidak sedikit itu seakan tidak “berharga” di tempat penyimpanan Sinematek. Pasalnya, film-film tersebut diletakkan di ruangan yang kurang representatif. Selain dinding-dindingnya mulai ada lumut,  di salah satu sudut ruangan itu atapnya bocor sehingga bila hujan harus ditadahi dengan ember. Sebelum mengakhiri tur di dalam ruang penyimpanan, Firdaus menunjukkan roll film Honey, Money, And Djakarta Fair yang dibuat pada 1970. “Ini film dengan kerusakan pita paling parah,” terang lulusan SMA itu sambil menunjukkan banyaknya tambalan pada pita seluloidnya. Firdaus berharap, film-film lama itu bisa dialihmediakan ke format digital atau direstorasi lagi. Hal ini agar film-film lama Indonesia tetap bisa dinikmati kembali dengan baik. Tapi, penggemar film Si Mamad keluaran 1973 itu tahu bahwa memerlukan biaya yang cukup besar untuk merawat film-film itu. Dia juga berharap ada tenaga-tenaga muda yang bersedia mengabdikan tenaga dan ilmunya untuk ikut merawat pita-pita seluloid film lawas tersebut. “Agar film-film  itu tetap terjaga dengan baik. Saya kalau dibiarkan menjamur dan akhirnya tidak bisa diputar lagi,” papar Firdaus. (*/ari)

Tags :
Kategori :

Terkait