Belajar Manajemen Masjid di Masjid Jogokariyan Yogyakarta

Jumat 16-12-2016,01:05 WIB
Reporter : Husain Ali
Editor : Husain Ali

Masjid Jogokariyan Yogyakarta mengajarkan kepada umat Islam di Indonesia. Sesuatu yang dikelola dengan apik, dapat menghasilkan karya yang hebat. Bukan soal bangunan yang mewah, tapi pengelolaan masjid yang andal dan terpercaya. Laporan: Jamal Suteja, Yogyakarta TIDAK salah jika masjid ini menjadi nomor satu dalam manajemen masjid di Indonesia untuk kelas masjid kampung. Nama Masjid Jogokariyan pun mulai banyak diperbincangkan di kalangan takmir masjid di Indonesia. Terutama mengenai manajemen masjidnya. Itu bukan terjadi seketika. Karena masjid yang berdiri sejak tahun 1966 ini dulunya hanya masjid kecil. Di tahun 1999, ada perubahan dalam pengurus takmir masjid. HM Jazir ASP saat itu menjadi ketua DKM Masjid Jogokariyan. Dengan perencanaan yang matang, Masjid Jogokariyan menerapkan manajeman yang modern. Masjid ini kemudian diganjar penghargaan sebagai Juara I Manajemen Masjid dari Kantor Kementerian Agama Jogjakarta. “Bahkan dalam suatu sumber itu disebutkan kita berada di urutan ketiga menjadi masjid dengan manajemen terbaik setelah Masjid Sunda Kelapa Jakarta dan Masjid Istiqlal. Itu sebelum ada lomba yang resmi dari kementerian agama,\" sebut Sekretaris Takmir Masjid Jogokariyan, Enggar Haryo Panggalih saat dijumpai Radar Cirebon. Masjid ini terbilang unik. Dari mulai logo, yang ternyata menampilkan tiga bahasa, yakni Arab, Indonesia, dan Jawa. Itu menjadi wujud dari semangat untuk menjadi muslim yang salih tanpa kehilangan akar budaya. Maklum saja, karena letaknya yang tak jauh dari Keraton Jogjakarta, membuat tradisi kejawen masih kental. Nama Jogokariyan berasal dari nama kampung, yang diambil dari prajurit keraton bernama Joko Kariyan. Nama ini bukan sembarangan. “Setiap masjid itu punya peta dakwah sendiri, dan akan lebih baik jika masjid itu mengambil nama dari lokasi dakwahnya. Seperti halnya yang dilakukan saat zaman Rasul, yang mendirikan masjid dan menamainya sesuai dengan nama daerah itu, sehingga peta dakwahnya jelas,\" terang Enggar Haryo Panggalih. Kini masjid itu sudah melampaui usia setengah abad. Kebiasaan yang sudah terbangun sejak 1999, atau sejak penerapan manajemen secara modern, terus berjalan hingga kini. Seperti halnya salat lima waktu berjamaah. Penerapan manajemen modern, kata dia, berlandaskan pada nilai-nilai masjid pada zaman Rasulullah SAW. Di mana, masjid menjadi jantung pokok kegiatan masyarakat dan bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat sekitarnya. Penerapan ini bermula saat adanya kegelisahan dari beberapa pengurus takmir, karena jumlah warga yang salat berjamaah terus berkurang. Di samping ada juga rasa kegelisahan, di mana masjid hanya dibuka saat salat berjamaah. \"Kita merasa miris ketika masjid ditutup usai menunaikan salat. Sehingga ketika ada masyarakat yang hanya ingin istirahat atau mau salat, terpaksa di pom bensin atau SPBU,\" ucap pengurus Remaja Masjid Jogokariyan, Krisna Yuniar. Menurutnya, Masjid Jogokariyan ingin menerapkan masjid yang pintunya terbuka bagi siapa pun. Sehingga, membuat masjid menjadi lokasi yang asyik dan berguna bagi orang lain. Ini juga didasari dari filosofi orang Jawa saat dulu yang suka menyediakan air minum di depan rumah, yang disediakan untuk orang-orang dalam perjalanan. Untuk memulai pekerjaan dalam menata umat itu, pihaknya melakukan pemetaan dengan menghimpun database jumlah warga yang berada di Kampung Jogokariyan. Hasilnya, sedikitnya ada 1.000 kepala keluarga dengan 4.000 jiwa penduduk. Database ini cukup lengkap dari mulai pekerjaan, penghasilan, sampai kepada hal ibadah yang bersifat pribadi. Seperti seberapa sering bersedakah, alasan kenapa tidak salat berjamaah dan lainnya. “Dari hasil pemetaan itu, kami melihat ternyata banyak juga warga yang belum bisa salat. Sehingga kami mengadakan kursus salat terlebih dahulu bagi warga. Program kami saat itu adalah mensalatkan orang hidup,\" tambah Enggar Haryo Panggalih. Setelah itu, barulah pihaknya melakukan ide baru untuk mengundang warga Salat Subuh berjamaah dengan desain undangan yang mewah. Tujuannya, untuk menghargai warga dan juga menutupi banyaknya warga yang minder karena mereka tidak biasa salat Subuh berjamaah. Hasilnya cukup memuaskan. Jemaah salat Subuh bertambah. Masjid tidak hanya dipenuhi oleh orang yang lanjut usia. Tapi banyak juga dari kalangan anak-anak muda yang ikut melaksanakan Salat Subuh. Ternyata, jauh sebelum adanya gerakan Salat Subuh berjamaah 1212, Masjid Jogokariyan sudah melakukannya. KUNJUNGAN Kini, takmir masjid di berbagai wilayah kini banyak yang berbondong-bondong berkunjung dan belajar pengelolaan masjid ke Jogokariyan. Meski hanya berada di sebuah kampung kecil, masjid ini banyak dikunjungi takmir masjid dari dalam dan luar negeri. Setiap akhir pekan masjid ini ramai. Ya, para pengurus masjid dari Sabang sampai Merauke, belajar ke Masjid Jogokariyan. Bahkan Persatuan Masjid se-Amerika Serikat di New York pernah juga bertandang ke masjid yang terletak di RT 40 RW 11 Kp Jogokariyan, Kelurahan Mantrijeron, Jogjakarta, itu. \"Pada awal tahun 2000 juga sebenarnya sudah banyak yang studi banding ke sini, tiap akhir pekan ramai terus. Karena kami menjadwalkan tiga hari untuk studi banding, hari Jumat, Sabtu dan Minggu,\" ucap Sekretaris Takmir Masjid Jogokariyan, Enggar Haryo Panggalih. Bangunan Masjid Jogokariyan mulanya hanya satu lantai. Kini bangunan sudah memiliki dua lantai untuk salat, dua aula di lantai dua dan tiga. Serta memiliki 10 kamar penginapan untuk disewakan kepada para tamu. Harganya relatif murah jika dibandingkan menginap di hotel. \"Untuk studi banding kami tidak memasang tarif. Tapi kalau dari pihak tamu meminta disediakan makanan ataupun lainnya, kami baru mengenakan biaya tambahan untuk itu,\" jelasnya. Pihaknya membuka takmir masjid lain untuk studi banding agar bisa menyebarkan manajeman masjid yang lebih modern. Karena kondisi masjid-masjid sangat memperihatinkan, meskipun bangunannya megah namun jumlah jamaahnya sedikit. Hal ini yang sangat miris terjadi. Diharapkan dengan adanya sharing ilmu manejeman masjid ini, masjid di Indonesia bisa ramai dikunjungi para jemaah. \"Kita menerapkan metode untuk melayanai kebutuhan umat, sehingga masjid ini menjadi daya tarik,\" katanya. Kini masjid itu bisa menampung sekitar 1.200 jemaah. Karena lokasi masjid berada di lahan yang sempit, pembangunan dilakukan dengan pengembangan ke atas. \"Di sini juga ada perpusatakaan dan kamar khusus untuk musafir,\" jelas Enggar Haryo Panggalih. (*)

Tags :
Kategori :

Terkait