Merangkai Titik yang Sederhana (Inilah Sepuluh Pemenang Tantangannya)

Rabu 28-12-2016,23:55 WIB
Reporter : Harry Hidayat
Editor : Harry Hidayat

TERIMA kasih sudah membaca Happy Wednesday sampai akhir 2016 ini. Sebagai edisi terakhir tahun ini, kami menyuguhkan sepuluh cerita Merangkai Titik pilihan, yang mendapatkan hadiah total Rp 50 juta --- Wow, begitu banyak orang merespons tantangan menulis Merangkai Titik di Happy Wednesday edisi 100 lalu. Kasihan para redaktur Jawa Pos yang harus bersabar serta tekun menghimpun dan menyortir semua naskah kiriman, yang jumlahnya mencapai angka ribuan (yang kalau dicetak semua jadinya ya ribuan halaman). Terharu juga membaca tulisan-tulisan itu. Membaca bagaimana hidup orang itu bisa \"memantul-mantul\" dari satu momen ke momen yang lain, menjadikan mereka seperti sekarang. Tulisan-tulisan itu datang dari berbagai wilayah di Indonesia, termasuk dari pelosok Sulawesi dan Papua. Terkejut juga melihat sejumlah orang yang punya nama atau jabatan tinggi ternyata mau ikut berpartisipasi. Ada pengusaha terkenal, guru besar universitas terkenal, penulis kondang, ketua asosiasi ini dan itu, dan lain sebagainya. Semua ingin menyampaikan kisah di tantangan Happy Wednesday. Hehehe, jujur itu bikin saya sempat ge-er. Ternyata tulisan rutin saya yang niatnya suka-suka dan santai ini banyak yang memperhatikan. Membaca tulisan-tulisan itu, tentu nama besar atau kesuksesan sang penulis bukan jadi kriteria utama. Saya -dan rekan-rekan redaktur- justru lebih tertarik dengan cerita-cerita sederhana. Tidak semua orang bisa jadi Superman. Tidak semua orang dilahirkan untuk menjadi bintang. Tidak semua orang langsung \"bersinar\" sejak lahir. Tapi, semua orang punya cerita. Dan semua bisa menginspirasi yang lain dengan cara atau ceritanya masing-masing. Dan cerita-cerita sederhana itulah yang justru mudah \"connect\" dengan kebanyakan orang. Jadi, kalau bertanya-tanya kenapa kok sepuluh ini yang dipilih, alasannya ya itu tadi, karena yang sederhana kadang lebih bermakna (dan bermanfaat). Memang ada cerita-cerita yang spektakuler, yang kadang sulit dipercaya kebenarannya. Banyak pula cerita yang begitu panjang sehingga terasa seperti biografi. Dan kalau yang menulis itu sudah tua, waduh, biografinya panjang sekali. Jadi, kami menerapkan lagi prinsip KISS alias keep it simple, stupid! Sesuai dengan spirit tulisan-tulisan Happy Wednesday bahwa hal-hal yang sederhana dan sehari-hari justru bisa lebih membawa perubahan daripada konsep-konsep tinggi yang entah bagaimana menerapkannya. Berikut ini sepuluh pemenang tantangan Merangkai Titik itu. Masing-masing akan mendapatkan hadiah uang tunai Rp 3 juta plus tambahan Rp 2 juta untuk orang yang dia nominasikan. Sehingga totalnya mencapai Rp 50 juta. Semoga tulisan-tulisan pilihan ini, bagaimanapun sederhananya, bisa memberikan manfaat. Bagi seluruh pembaca, terima kasih sudah mengikuti Happy Wednesday sampai akhir 2016 ini. Semoga tahun depan berlangsung lebih baik, lebih memudahkan kita untuk tersenyum. Happy Wednesday dan Happy New Year! (*) Inilah Sepuluh Pemenang Tantangannya: Wujudkan Cita-Cita Masa Kecil  SAAT kecil saya minder sekali. Keluarga besar saya sering mem-bully karena kekurangan fisik saya. Pendek, kecil, serta dekil. Saat itulah peran ibu saya sangat membanggakan. Beliau senantiasa membesarkan hati saya. Bahkan, ketika saya dibandingkan dengan sepupu saya yang secara fisik lebih bagus, beliau dengan sangat sabar memberikan motivasi dan menceritakan kelebihan yang menonjol pada diri saya. Kelas V SD saya mengikuti ekstrakurikuler tari dan muhadarah untuk melatih kepercayaan diri. Saya mengikuti lomba-lomba mata pelajaran serta cerdas cermat Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Alhamdulillah menang. Itulah yang membuat diri saya lebih percaya diri. Saya akhirnya menyadari bahwa manusia tidak hanya dilihat dari segi fisik semata, tetapi ada hal lain yang membuat manusia lebih berarti. Ketika ditanya soal cita-cita, saya langsung menjawab dengan penuh percaya diri ingin jadi dokter. Ups, tinggi sekali cita-cita saya saat itu. Apalagi, saya bukan dari keluarga orang kaya. Ibu saya hanya seorang perempuan yang tidak tamat SD. Kerjanya berjualan nasi goreng dan soto. Sementara itu, bapak cuma pegawai rendahan di sebuah apotek di Jalan Tunjungan. Awalnya, ibu ragu apakah bisa menyekolahkan saya setinggi itu? Tetapi, saya senantiasa mengatakan, jika ada keinginan, insya Allah ada jalan. Akhirnya, ibu berkata, ’’Ya sudah, tidak masalah. Asalkan kamu bisa belajar dengan tekun dan giat, ibu akan berbuat semampu mungkin untuk mewujudkan cita-cita itu.’’ Salah satu hal yang mendorong saya untuk mewujudkan cita-cita menjadi dokter adalah ketidakmampuan warga tempat saya tinggal mengakses jasa pelayanan kesehatan. Ada satu peristiwa di mana salah seorang pekerja seks komersial (PSK) meninggal mengenaskan akibat penyakit yang diderita. Dia tidak bisa pergi ke rumah sakit, entah apa sakitnya. Peristiwa tersebut sungguh sangat berkesan dalam hidup saya untuk sekuat tenaga mencapai cita-cita menjadi seorang dokter. Alhamdulillah, dengan perjuangan yang berat dan dukungan doa dari orang tua, saya benar-benar diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang. Alhamdulillah juga saya sudah jadi dokter. Saya sangat berterima kasih kepada ibu saya yang dengan kesabarannya bisa memotivasi dan menghilangkan rasa minder dalam diri saya. Tulisan ini saya dedikasikan untuk beliau. Dr Zuhrotul Mar’ah Lailatusolichah, Surabaya    *** Adikku Murid Pertamaku  USIA saya dan adik terpaut jauh, 8 tahun. Ketika saya SMP, adik TK. Karena orang tua sibuk bekerja, setiap hari saya yang mengurus adik. Bahkan, saya yang me- ngajarinya membaca, menulis, dan ber- hitung. Entah dari mana saya mendapat keahlian itu. Saya bahkan mendapat julukan Ibu Guru Kecil dari ayah. Ketika kuliah di luar negeri, saya ingin sekali mengambil jurusan early childhood education, tetapi orang tua menyarankan jurusan accounting. Saya pun menjalaninya meski itu bukan passion saya. Lulus ku- liah dan kembali ke Indonesia, saya sempat bekerja sesuai dengan jurusan yang saya pelajari, tetapi tidak bertahan lama. Saya memutuskan menjadi seorang te- naga pengajar di suatu sekolah. Di tempat itu, saya benar-benar menikmati pekerjaan. Meski, pendapatan sangatlah pas-pasan. Sepulang mengajar, saya masih menyempatkan memberi les privat dari rumah ke rumah. Rekan sekerja saya sempat menyindir saya dengan me- ngatakan bahwa saya kerja mati-matian tetapi tidak kaya-kaya. Sebab, saya lebih memilih pulang cepat dan memberi les privat daripada menghabiskan waktu setelah mengajar dengan hangout bersama mereka. Saya tidak tersinggung, tetapi hal itu menjadi lecutan buat saya untuk lebih semangat. Dalam hati, saya tersenyum sendiri. Jika materi yang saya kejar, pastilah saya lebih memilih profesi yang sesuai dengan bidang yang saya pelajari. Setelah resign, saya lebih memfokuskan diri untuk memberi bimbingan belajar bagi anak-anak kecil. Syukurlah, dari hari ke hari semakin banyak anak yang datang untuk belajar bersama. Sekarang hidup saya tidak pernah sepi dari anak-anak. Jika orang lain melihat tingkah polah anak-anak, banyak yang mengeluh pusing. Tidak halnya dengan saya. Saya sangat menikmati semua momen itu. Melihat mereka tersenyum ketika mendapat nilai bagus di sekolah, melihat mereka tertawa bahagia ketika berhasil menjadi juara, merupakan kebahagiaan tersendiri buat saya. Tulisan ini saya dedikasikan untuk adik saya. Terima kasih telah menjadi murid saya yang pertama. I love you forever, Sis! Yeny Melyana, Banyuwangi    *** Baterai Happy Wednesday  KETIKA SMA kelas 1 pada 2012, saya mulai menyukai dunia menulis. Saya mendaftarkan diri ke redaksi majalah sekolah, lalu saya menjadi penulis di media online. Namun, pada satu titik saya mulai berhenti menulis karena merasa tulisan saya belum layak dipublikasikan. Lambat laun saya disibukkan dengan pekerjaan baru sebagai administrasi di kantor cabang perusahaan swasta. Meski sudah lama tidak menulis, saya tak pernah berhenti berperan sebagai pembaca. Membaca berbagai tulisan elite dengan bahasa yang kadang sulit saya pahami sebagai orang biasa. Dari Rhenald Kasali dan Sudjiwo Tejo. Membaca karya besar mereka membuat rasa sesal dan malu pada tulisan saya yang pernah ter-publish. Jika mungkin, saya ingin menarik ulang dan merevisi agar lebih layak lagi. Namun, semua berbeda ketika koran di kantor saya tiba Rabu pagi itu. Saya membaca Happy Wednesday berjudul Orang Kaya dan Orang Pintar. Penulisannya begitu ringan dan sederhana. Dari edisi itu, saya terus mengikuti Happy Wednesday setiap minggu. Hal itu mengubah keseluruhan mindset saya. Saya beranggapan menjadi penulis hebat yang ingin menyampaikan pesannya tidak melulu harus dengan bahasa yang elite dan berbelit. Cukup dengan analogi sederhana dan bahasa ringan. Mengikuti edisi demi edisi catatan Happy Wednesday milik Azrul Ananda membuat saya menemukan kekuatan dan keyakinan batin untuk mulai belajar menulis lagi. Happy Wednesday menjadi acuan bagi saya dalam menulis. Saat ini saya sudah menulis lagi dalam blog pribadi saya. Apa yang saya lakukan saat ini memang belum berdampak apa pun bagi orang lain, tapi setidaknya itu berdampak pada diri saya sendiri. Saya tidak berharap banyak tulisan ini dimuat atau bahkan terpilih untuk memenangkan edisi kali ini. Saya juga tidak yakin Azrul Ananda mau menerima uang Rp 2 juta jika tulisan ini terpilih hehehe karena memang tulisan ini saya dedikasikan untuknya. Terima kasih Happy Wednesday. Terima kasih Azrul Ananda sudah menjadi baterai semangat dan keyakinan diri saya yang nyaris lowbatt. Wanti Tri A., *** Penerus Cerewetnya Mama  SAYA seorang pelatih basket. Orang tua saya tinggal mama. Dia yang selalu mengingatkan dan tidak pernah lupa mendoakan setiap saya turun turnamen. Dia juga yang selalu bertanya tentang hasil pertandingan. Di setiap hal spesial dalam hidup saya, mama selalu mengingatkan supaya harus melalui semua proses (ada harga yang harus dibayar untuk segala sesuatu). Kadang benci, pengin yang instan dan merasa seperti anak kecil karena selalu dicereweti. Tapi, ternyata apa yang diucapkan mama memang harus saya jaga dan terapkan. Mulai tepat waktu, berusaha tanpa kenal waktu, sampai hal sepele yang kadang buat jengkel: selalu ditungguin di depan pintu sampai kadang ada yang lupa mau apa dan bawa apa. Seiring dengan berjalannya waktu, saya sudah berkeluarga dan mempunyai anak. Saya sadar, kalau beliau tidak ada nanti, siapa yang mengingatkan? Kebiasaan itu saya bawa sampai ke lapangan saat melatih dan mempunyai banyak murid. Sampai kadang orang tua dari murid- murid saya bilang, ’’Sudah, nggak usah bingung. Kalau macam-macam bilang saja ke pelatihnya (saya).’ Demikian juga di sekolah, kalau murid saya dibilangin gurunya nggak mau, senjata terakhir, ya saya. ’’Bilang saja ke pelatihnya, pasti beres.’’ Begitu kata mereka. Pernah ada kejadian, beberapa mantan murid saya melamar pekerjaan di sebuah perusahaan. Yang meng-interview mereka mengenal saya. Mereka bilang, ’’Sudah tanya sama pelatihmu, boleh nggak bekerja di sini.’’ Lucu tapi, ya setidaknya ada kepercayaan mendidik mereka sampai dipercaya orang lain. Melihat beberapa murid saya sudah sukses, bahkan lebih sukses daripada saya, saat ini saya cuma bisa bilang, ’’Untung punya mama yang cerewet dan selalu mengingatkan. Setidaknya saya bisa ikut menjaga anak-anak (murid-murid) yang sudah dipercayakan kepada saya lewat cerewet dan disiplin supaya menjadi orang yang lebih baik dan sukses.’’ Dari semua ini, saya cuma bisa bilang: ’’Terkenal, sukses, dan berhasil pasti setelah melalui proses. Lalui semua prosesnya dan nikmati hasilnya. Termasuk terima cerewetnya. Tidak ada cerewet, tidak ada sukses. Itulah nasihat mama yang sering diucapkan kepada saya. Saya pun bisa mengajarkan itu kepada murid-murid saya.’’ All gift to my special mom. Benny Imawan, Surabaya    *** Nasihat Ibu Sambungkan Titik Hidupku  TITIK awal kehidupan saya dimulai dari dilahirkan oleh orang tua yang cukup ”umum”. Ayah bekerja, ibu menjadi ibu rumah tangga. Orang tua saya bukan cendekiawan terkenal, bukan taipan sukses, bukan juga pejabat. Pokoknya, semuanya sangat umum, tidak ada unsur ”wow” dalam keluarga saya. Bukan suatu titik awal yang hebat, tapi karena yang awal ini saya tidak diberi wewenang memilih, berarti pilihannya terletak pada hati saya mau mensyukuri atau meratapi. Pilihan yang cukup penting adalah saat saya harus memilih jurusan apa di perguruan tinggi. Sejujurnya, saya tidak tahu apa yang harus dipilih. Karena saya pemegang paham asal dikerjakan dengan rasa syukur, apa pun jurusannya pasti berhasil. Untunglah, ibu saya yang ”umum” dan pendiam itu tidak tinggal diam. Dia berdoa dan menasihati saya untuk masuk jurusan hukum saja. Saya pun mengiyakan apa yang jadi nasihatnya. Jadilah saya mahasiswa fakultas hukum. Lalu? Walaupun pilihan itu saran dari ibu, tanggung jawab tetap ada pada saya. Artinya, saya harus melakukan yang terbaik. Karena tidak bisa diam, hampir semua kegiatan saya ikuti, termasuk Perlombaan Peradilan Semu Hukum Internasional (moot court). Walaupun perlombaan yang saya ikuti belum terlalu membuahkan hasil signifikan, saya suka. Dan kesukaan itu membawa saya ke titik berikutnya. Lulus dengan IPK tertinggi saat itu mendorong saya untuk terus membuktikan diri dan akhirnya saya bekerja disebuah law firm di Jakarta. Saat bekerja, titik kehidupan yang berikutnya mulai memanggil-manggil saya, yaitu keinginan untuk melanjutkan studi S-2 hukum internasional di Belanda. Saya utarakan niat itu kepada ibu saya. Beliau mengatakan bahwa biaya untuk S-2 cukup besar. Tapi, kalau Tuhan menghendaki, pasti disediakan. Ibu berkata, kalau saya diterima di Universitas Leiden, dirinya merelakan uang tabungan keluarga untuk S-2 saya. Singkat cerita, saya diterima di Universitas Leiden. Ibu saya yang sederhana itu memegang komitmennya untuk mengeluarkan tabungan keluarga demi saya. Ibu mendorong saya bergegas ke bank untuk membereskan administrasi pembayaran, tapi saya merasa lusa saja untuk melakukan pembayaran. Masih teringat jelas, sore itu saya menerima e-mail bahwa saya menerima beasiswa penuh! Perlahan saya baca isi e-mail itu, kata demi kata, sambil bercucuran air mata. Logika saya mengatakan, bagaimana bisa saya mendapat beasiswa padahal saya tidak mengajukan? Modus penipuankah? Tapi, hati saya mengatakan hal ini benar karena tidak ada permintaan untuk mengirimkan dana dan e-mail tersebut bisa menyebutkan dengan lengkap detail data saya. Luar biasa, seperti mimpi di siang bolong. Saya bergegas memberi tahu ibu saya, lalu kami berpelukan bersama-sama. Menangis tidak percaya. Ibu saya yang sederhana itu berbisik, memang jika Tuhan berkehendak, semua disediakan. Saat saya berada di kantor wali kota Den Haag, Belanda, untuk menerima sertifikat beasiswa, komite beasiswa mengatakan bahwa prosedur beasiswanya menggunakan nominasi dari pihak universitas. Memang tidak ada pendaftarannya. Yang lebih membuat saya terkejut, seharusnya tiap tahun hanya ada lima orang, tapi tahun itu ada enam orang. Sayalah orang keenam itu! Tulisan ini saya dedikasikan untuk sosok ibu saya yang sederhana, Mariawati Soetrisno. Vonnie Sutedjo    *** Mendamba Akuntansi Menuai Psikologi  PERISTIWA ini terjadi pada 1991. Saya lulus SMA dan pengin kuliah akuntansi. Saya mau bekerja enak di bank. Di sisi lain, orang tua, terutama ibu, ingin saya kuliah di universitas negeri karena faktor biaya. Pada saat mengisi pendaftaran UMPTN, saya mengopi saja isian teman tanpa mengetahui jurusan yang dipilih. Saat itu, saya sudah diterima di jurusan akuntasi di STIESIA. Ketika pengumuman UMPTN, saya tidak terlalu antusias mencari nama saya. Tapi, ibu pagi-pagi sekali membeli Jawa Pos di loper koran keliling yang melewati depan rumah tanpa saya ketahui maksudnya. Sebab, ibu saya jarang sekali membeli koran. Tidak beberapa lama, ibu tiba-tiba memeluk saya sambil berkata ’’Alhamdulillah, Nak... Akhirnya kamu diterima di Unair,’’ katanya sambil menyodorkan koran Jawa Pos. Nama saya telah ditandai dengan menggunakan spidol. Setelah membacanya, saya tahu ternyata diterima di Unair jurusan psikologi. Saya tidak tahu psikologi sama sekali. Celakanya, itu adalah pilihan pertama saya saat mengisi form yang saya copy dari teman. Anehnya lagi, teman saya malah tidak diterima di Unair. Setelah lulus, saya baru mengerti pentingnya ilmu psikologi. Saya bisa berkarir, bahkan menjadi manajer HRD di perusahaan BUMN pelabuhan berkat ilmu psikologi. Setelah berkeluarga pada 2002, semakin terasa manfaat ilmu psikologi tersebut. Yang dulu tidak saya sukai dan tidak saya mengerti ternyata memberikan banyak manfaat buat saya, keluarga, dan lingkungan sekitar. Menurut saya, itu bersumber dari kekuatan doa dan keikhlasan ibu saya yang sangat ingin anaknya kuliah di Unair apa pun jurusannya. Tulisan ini didedikasikan untuk ibu saya yang alhamdulillah hingga saat ini sehat. Tipung Muljoko,    *** Kenangan Berharga  SAYA tidak pernah berpacaran sebelumnya, beberapa kali mencoba dekat dengan pria pun belum berhasil. Jadi, untuk urusan percintaan, bisa dibilang sepertinya dewi cinta tidak berpihak kepada saya. Berkali-kali naksir pria, tapi selalu bertepuk sebelah tangan. Selesai kuliah, saya bergegas mencari pekerjaan agar bisa mandiri dan menata kehidupan. Sempat kerja di Jakarta, tapi akhirnya kesehatan saya drop dan resign. Orang tua menyuruh untuk pulang ke Solo. Suatu sore di kala hujan, datanglah saudara kakak ipar saya untuk berteduh di rumah. Lalu, dia menanyakan apakah saya memiliki teman pria untuk dikenalkan kepadanya. Lalu, saya berkata, kalau ada, saya akan membantunya. Dan, tiba-tiba dia bercerita tentang seorang temannya. Lalu, dia meminta nomor telepon saya. Saya tidak begitu menanggapi dengan serius karena sudah beberapa kali kurang beruntung untuk urusan cinta. Singkat cerita, saya dikenalkan dengan seorang pria oleh saudara kakak ipar saya. Tak lama kemudian, saya mengetahui, saat saya kembali dari Jakarta, saat itu pula dia baru menyelesaikan studinya di luar negeri. Aneh kan? Meski satu kota, kami belum pernah bertemu. Tidak lama kemudian, pria itu mengatakan ingin membangun hubungan serius dengan saya. Kalau dilihat dari wajahnya, mungkin tidak seperti bintang film, tapi dia memiliki hati yang tulus dan baik. Yang lebih mengagetkan lagi, orang tua saya menyukainya. Dua tahun kemudian, kami menikah. Titik-titik kehidupan ini kembali berlanjut. Tiga tahun pernikahan, kami belum dikaruniai anak. Papa saya tiba-tiba menderita sakit liver, sirosis tepatnya. Kami hanya memiliki waktu sekitar enam bulan dari sejak diagnosis awal. Kali ini dunia terasa runtuh sejadi- jadinya. Kami mengumpulkan uang untuk memberi pengobatan terbaik untuk papa. Kata dokter, harapan hidup papa saya hanya sekitar tiga bulan. Transplantasi tidak mungkin dilakukan karena biaya yang begitu besar. Kalaupun saya yang menjadi donornya, saya akan kesulitan memiliki keturunan. Enam bulan menemani papa, berbagai kenangan manis kehidupan pun mulai terukir. Sekarang saya bersyukur pada waktu itu saya belum dikaruniai anak sehingga bisa mendampingi papa. Sebab, kalau saat itu saya sudah memiliki anak, akan sulit bagi saya bisa mendampinginya. Saya juga bersyukur karena punya suami yang mengasihi sehingga itu membuat saya menjadi kuat. Sampai hari ini, kalau saya menoleh ke belakang, rangkaian titik-titik kehidupan yang saya tidak pahami sebelumnya justru membuat saya bisa bersyukur. Semua indah pada waktunya. Saya tidak pernah menyesal dengan keadaan saya yang saat itu. Itu menjadi kesempatan dan kenangan yang begitu berharga dalam hidup ini. I love you Papa!  Tulisan ini saya dedikasikan untuk alm papa saya, Gunarto Kertadjaja, dan suami saya, Wijaya Cokromintarso. Diana Asih Kertadjaja    *** Berkah Bahasa Inggris  ADA dua titik balik yang mengubah hidup saya. Pertama, kegagalan saya masuk Teknik Arsitektur ITS pada 1989 yang mengubur impian remaja saya untuk jadi arsitek. Setahun berikutnya saya ikut UM PTN lagi dan diterima di sastra Inggris Unair. Mahir berbahasa Inggris membawa saya menjadi penerjemah film asing di SCTV. Titik kedua, pada 1998 saya resign dari SCTV karena tidak bisa pindah ke Jakarta. Tiga bulan menganggur, saya putuskan ikuti pelatihan guru bahasa Inggris tanpa dibayar. Ilmu mengajar membuat saya diterima jadi training officer di hotel bintang 5 jaringan internasional. Lalu, pada 2002 saya mendirikan sekolah bahasa Inggris yang hingga kini sudah meluluskan ribuan orang. Pada 2009 saya fokus jadi trainer profesional. Kini saya sudah mengembangkan ribuan SDM di berbagai perusahaan lintas sektor. Takdir Allah SWT penuh keindahan. Saya mendedikasikan tulisan ini untuk istri saya, Linda Wahyuningsih, karena dia selalu mendukung meski keputusan yang saya ambil saat itu dipandang kebanyakan orang terlalu berisiko dan tidak masuk akal. Hery Ratno Bagio,    *** Titik-Titik Akupunktur  BILA tidak ada edisi merayakan Happy Wednesday ke-100, mungkin saya tidak pernah menyadari apa yang saya tekuni dan jalani di profesi saya sekarang adalah titik-titik yang saling berhubungan, menguatkan dan menghidupi. Betapa kecewanya bapak ketika tahu bahwa saya tidak meneruskan kuliah di universitas negeri, di fakultas pendidikan bahasa Inggris, karena memilih ikut kejuaraan atletik di Jakarta. Saya juga bingung kenapa saya lulus tanpa tes -dulu namanya PMDK (penelusuran minat dan kemampuan)– di jurusan bahasa padahal saya dari IPA. Supaya tidak mengecewakan orang tua, saya ambil saja politeknik jurusan listrik karena kebetulan masih buka. Lulus kuliah tepat waktu. Hingga kemudian... Karena mengalami cedera tulang belakang, saya memilih terapi akupunktur. Sungguh sangat tersiksa mengalami cedera itu, jalan saja seperti robot. Duhh... Kenapa saya memilih pengobatan alternatif itu? Saya teringat masa kecil, sekitar tahun 1970-an. Sudah menjadi kebiasaan warga di Kalimantan Barat berobat ke sinse. Meski sudah ada puskesmas, rasanya kurang pas jika belum ke sinse. Ajaibnya, entah sugesti atau tidak, ternyata memang cepat sembuh rasanya. Apalagi, ada imbalan dibelikan novel silat Kho Ping Hoo oleh ayah saya. Sampai saya selesai kuliah, kemudian menikah. Lalu punya tiga anak dan menjadi ibu rumah tangga yang membantu suami. Padahal, saya pengin juga mengaktualisasikan diri. Mendadak saja, ada dokter yang menyarankan saya untuk mengikuti pendidikan akupunktur di Surabaya. Semakin dipelajari, rasanya tidak terlalu asing dan saya tidak sulit untuk memahami serta mempraktikkannya. Mungkin karena saya tidak terlalu asing dengan bahasa Hokkian, yang merupakan bahasa gaul di daerah saya dari kecil sampai remaja. Akhirnya, saya menekuni dunia akupunktur itu. Saya juga selalu meng-upgrade ilmu itu sesuai perkembangan yang terbaru. Saat ini menjadi ahli akupunktur merupakan kebahagiaan tersendiri. Minimal setidaknya saya mengerti bagaimana memperlakukan tubuh saya, hidup sehat dan seimbang. Bagaimana menjaga kesehatan dan kebugaran, pentingnya olahraga, dan titik- titik kesehatan. Itu adalah suatu kebetulan yang sangat menguntungkan. Setidaknya saya bisa menjadi seperti ini melalui rangkaian titik-titik kehidupan seperti titik- titik akupunktur. Tulisan saya ini saya dedikasikan juga untuk bapak saya yang pada 31 Desember nanti merayakan ultah ke-81. Beliaulah yang banyak berjasa dalam mengenalkan saya dengan akupunktur sewaktu saya kecil. Krisnawaty Iking,    *** Jalan Membawaku Menjadi Dokter  SAYA bungsu dari lima bersaudara yang semuanya laki-laki. Saat saya berusia 11 tahun, ibu melahirkan anak keenam yang ternyata perempuan. Betapa bahagianya kami, akhirnya ada adik perempuan. Namun, Tuhan berkehendak lain. Adik kami meninggal saat berusia 10 bulan karena demam tinggi dan kejang. Masih ingat saat itu, adik tidak dibawa berobat ke dokter sampai akhirnya meninggal. Bila ditelusuri lebih lanjut, bapak tujuh bersaudara, sementara ibu enam bersaudara. Ada salah satu adik perempuan bapak yang mempunyai sepuluh anak dan meninggal saat melahirkan karena pendarahan. Ada juga sepupu bapak yang mempunyai enam anak dan si ibu meninggal saat melahirkan karena perdarahan juga. Keluarga bapak maupun ibu dan saudara-saudaranya rata-rata bekerja sebagai buruh pabrik dan bertani. Tidak ada satu orang pun yang berprofesi di bidang kesehatan. Inilah yang akhirnya mendorong saya untuk bercita-cita menjadi seorang dokter. Melalui jalur UMPTN, akhirnya saya diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Tahun 1998 saya lulus sebagai dokter. Saya menjalani wajib kerja sebagai dokter umum di Kabupaten Bondowoso, Jawa timur, dari tahun 2000 hingga pertengahan 2006. Hal pertama yang saya kerjakan saat itu adalah membantu seorang ibu melahirkan dengan plasenta (ari-ari) yang belum lahir. Saya dibantu bidan melakukan tindakan di rumah si ibu. Apakah ini suatu kebetulan atau memang titik-titik yang akhirnya terangkai? Kesempatan untuk melanjutkan ke jenjang spesialis akhirnya bisa saya dapat setelah enam tahun bertugas di puskesmas. Tahun 2006 saya diterima di pendidikan spesialis kebidanan dan kandungan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Akhirnya, saya dinyatakan lulus sebagai dokter spesialis kebidanan dan kandungan tepat pada hari ulang tahun saya yang ke-38, 3 Maret 2012, melalui ujian nasional di Jakarta. Tulisan ini saya dedikasikan untuk Bapak dan Ibu. dr Achmadi SpOG, Gresik

Tags :
Kategori :

Terkait