Overreact News

Rabu 05-04-2017,10:42 WIB
Reporter : Harry Hidayat
Editor : Harry Hidayat

Semua lagi pusing gara-gara fake news alias hoax. Ada yang mikirin overreact news gak ya?

***
Mereka yang kenal saya, dan mereka yang rutin baca Happy Wednesday, mungkin sudah tahu kalau saya tidak punya akun medsos. Dulu punya akun fesbuk, tapi sudah tidak aktif selama bertahun-tahun gara-gara dalam sehari ada ribuan request jadi teman.
Lagi pula, saya juga tidak punya waktu untuk bermedsos ria. Dan saya tidak sendirian. Beberapa teman saya yang sama posisi hidupnya juga tidak bermedsos ria. Sama-sama tidak punya waktu, dan sama-sama jauh lebih produktif dan kreatif daripada mereka-mereka yang rajin bermedsos ria. Saya terus heran sama mereka yang rajin bermedsos itu. Lucu juga melihat mereka yang sibuk meng-update status, menyebutkan lagi macet di sini, makan di sana, ketemu siapa, atau mendengarkan lagu apa. Menurut saya, apa hebatnya? Apalagi kalau follower-nya ternyata hanya puluhan atau maksimal ratusan. Bayangkan andai dia tidak sibuk bermedsos, mungkin bisa jauh lebih produktif bekerja, menghasilkan lebih banyak uang atau memberikan lebih banyak manfaat untuk orang lain. Saya sering bangun pagi di Surabaya, makan siang di Jakarta, lalu sore di Surabaya lagi. Atau kadang malah makan pagi di Surabaya, pertemuan siang di Denpasar, lalu ada dinner meeting di Jakarta, dan kalau sempat pesawat terakhir pulang lagi ke Surabaya. Tidak jarang baru landing di Surabaya larut malam, lalu pagi-pagi sudah harus bangun untuk terbang ke kota lain seperti Balikpapan. Lalu baliknya ke Jogja dulu sebelum pulang ke Surabaya. Banyak kenalan saya juga begitu. Pagi ini ke Jakarta, malamnya pulang. Besoknya tiba-tiba harus terbang lagi balik ke Jakarta. Mereka ini rata-rata juga tidak bermedsos. Lha tidak punya waktu, dan mungkin riskan juga kalau memberitahukan setiap menit berada di mana dan sedang makan apa! Bahwa ada yang mengomeli saya, menyindir, atau apa, ya biarin saja. Wong mereka tidak tahu kok saya ngapain saja. Dan jangan-jangan, dengan tidak bermedsos, saya justru jauh lebih produktif dan lebih bermanfaat daripada mereka… Tapi, saya tidak menampik, sesekali saya membuka akun fesbuk saya. Teman-teman zaman SMP dan kuliah dulu telanjur sudah saling berhubungan di sana. Tapi, saya hanya mengecek kalau diingatkan teman tentang sesuatu yang benar-benar penting di sana. Misalnya, ada teman lama yang terkena musibah atau apa. Dan ketika buka akun, kadang langsung melihat ”berita” atau posting-an yang rasanya provokatif dan sulit dipercaya. Karena kadang teman saya yang berpendidikan tinggi dan kuliah di luar negeri pun masih terpancing untuk ikut menghebohkan sesuatu yang rasanya terlalu sulit untuk dipercaya kebenarannya. Mereka ini lulusan luar negeri, atau lulusan kampus hebat di dalam negeri, tapi masih ikut-ikutan berkomentar pedas, ikut ”meramaikan” sesuatu yang belum tentu benar itu. Karena saya di industri media, tentu saja mengecek ke teman-teman redaksi saya. Benarkah itu? Ternyata memang ternyata fake news alias hoax. Ya saya hanya bisa bilang khas orang Jawa: ”Ealah…,” lalu geleng-geleng kepala. Tapi saya sadar, teman saya yang seharusnya pintar itu ikut terpancing, berlanjut menghebohkan dan meramaikan sesuatu yang palsu itu. Jadi, dia mendapatkan fake news, lalu menyebarkan overreact news. Saya sering diminta menulis atau berkomentar soal fake news ini. Sebagai orang media, saya sering ditanya sampai kapan fenomena ini akan berjalan. Ya tidak ada jawaban pastinya. Sampai kapan? Ya sampai orang-orang menjadi lebih pintar. Kami yang ada di media ”beneran” aja belum tentu sempurna, walau selalu berupaya menyuguhkan sesuatu yang benar-benar ada kredibilitasnya. Media ”beneran” telah melewati proses panjang, kadang sampai puluhan tahun, untuk mencapai kepercayaan, posisi, dan status seperti sekarang. Sudah melewati banyak ujian, banyak kelokan, dan banyak cobaan. Media-media baru itu, berniat beneran atau dibuat untuk niat jahat, nantinya akan menjalani proses seleksi alam yang sama. Lagi pula, saya percaya orang-orang pasti akan menjalani proses menuju lebih kritis dan pintar pula. Baik mereka yang seharusnya sudah pintar maupun yang mungkin memang tidak pintar. Lama-lama mereka juga pasti tidak betah setiap hari membaca dan menyebarkan sesuatu yang menimbulkan amarah dan kebencian. Emangnya enak setiap hari harus mengernyitkan dahi setiap membaca berita? Emangnya enak setiap hari merasakan amarah di dada? Dan emangnya enak selalu mengajak orang lain ikut mengernyitkan dahi dan merasakan marah? Kan hidup kita perlu variasi. Hari ini tertawa, besok tersenyum, lalu sedih, lalu kecewa, lalu terharu bahagia, dan kadang-kadang mengernyitkan dahi atau tepok jidat! (*)
Tags :
Kategori :

Terkait