Jatuh Bangun Voice of Baceprot, Band Metal dengan Para Personel Berjilbab

Minggu 11-06-2017,12:41 WIB
Reporter : Harry Hidayat
Editor : Harry Hidayat

Dukungan keluarga menguatkan para personel Voice of Baceprot menghadapi kritik dan hujatan. Lagu-lagu mereka bertutur tentang problem di sekolah hingga perusakan alam. Dalam waktu dekat diundang berkolaborasi dengan Superman Is Dead. BAYU PUTRA, Jakarta FIRDA Kurnia selalu saja terkekeh kalau mengingat nasib drum pertama bandnya. Tiap kali Euis Siti Aisyah, sang drumer, terlalu kencang menggebuk, berantakanlah alat musik tersebut. Maklum, itu bukan drum sebenarnya. Tapi beberapa peralatan drum band yang disatukan dengan memakai tali. ’’Jadi, kalau berantakan, ya kami harus menyusunnya lagi pakai tali, hehehe...’’ kenangnya. Tapi, itulah bagian dari jatuh bangun yang turut membentuk mereka sekarang: Voice of Baceprot (VoB). Sebuah band beraliran –dalam istilah mereka sendiri, hip metal funky– yang tengah jadi perbincangan luas. Tak semata karena skill masing-masing personel, yakni Firda (gitar, vokal), Siti (drumer), dan Widi Rahmawati (bas). Serta keempat lagu yang telah mereka hasilkan. Tapi juga karena keseharian mereka yang berjilbab. Tak terhitung kritik, bahkan hujatan, yang diarahkan kepada mereka hanya karena tiga remaja asal Garut itu berjilbab dan memainkan musik keras. Bahkan, ada yang mengirim direct message ke Instagram Firda untuk menawari mereka manggung di Sabah, Malaysia. Syaratnya, mereka harus membuka jilbab. Tentu saja tawaran itu langsung mereka tolak. ’’Kami ingin tetap berkarya tanpa menghilangkan kewajiban kami sebagai muslimah,’’ tegas Firda. Tumbuh di lingkungan agamis, tantangan seperti itu sudah mereka alami sejak awal memilih ekstrakurikuler musik di MTs Al Baqiyatussolihat, Garut, 2014. Firda, Siti, serta Widi lahir dan besar di tiga kampung berbeda di Kecamatan Banjarwangi, Kabupaten Garut. Rumah mereka juga tidak bisa dibilang berdekatan. Widi tinggal di Kampung Cigerek dan Siti di Kampung Bukit Dipa. Sedangkan yang paling pelosok adalah Firda yang tinggal di Kampung Pasir Pogor. Banjarwangi merupakan kawasan perbukitan. Dibutuhkan minimal dua jam dari kecamatan tersebut untuk sampai ke pusat Kota Garut. Di antara mereka bertiga, Widi merupakan personel termuda. Dia lahir pada 3 Desember 2001. Sedangkan Firda kelahiran 28 Juni 2000 dan Siti lahir pada 17 Agustus 2000. Sedari awal mereka harus bergumul dengan larangan orang tua, kritik tetangga, dan cibiran teman. Jadilah dari awalnya tujuh orang yang memilih ekstrakurikuler tersebut, akhirnya hanya tersisa tiga orang yang kini menjadi personel VoB. Mereka juga harus memulai dari nol. Di antara ketiganya, paling hanya Siti yang sedari awal menunjukkan bakat ngedrum. ’’Sejak kecil saya memang suka memukuli apa saja barang di sekitar saya, hehehe,’’ ungkap Siti. Tapi, kemauan keras mengalahkan semua hambatan itu. Juga, berkat bimbingan Cep Ersa Ekasusila Setia, sang pembimbing ekstrakurikuler, gitar, bas, dan drum bisa mereka kuasai. ’’Saya mengarahkan mereka ke instrumen masing-masing setelah melihat kecenderungan masing-masing personel,’’ kata Ersa ketika dihubungi di tempat terpisah. Dari Ersa pula wawasan musik Firda, Siti, dan Wida bertambah. Mengenal beragam referensi. Mulai pendekar grunge Pearl Jam, pengusung funk Red Hot Chili Peppers, dewa metal Metallica, sampai Slipknot yang beraliran nu metal. Penampilan pertama mereka di depan publik adalah saat Festival Musik Pelajar Se-Garut pada 2014. Hasilnya, gelar juara langsung disabet. Ketika itu, mereka masih bertujuh. Dari sana mereka mulai memiliki kepercayaan diri untuk manggung. Juga menulis lagu yang temanya dari lingkungan keseharian. Salah satu lagu mereka, School Revolution, misalnya, berisi curhat soal ketidakadilan di sekolah. The Enemy of Erath is You berbicara tentang ulah orang-orang yang merasa benar sendiri, padahal tindakan mereka merusak alam. Dua lagu lain karya tiga remaja yang kini duduk di SMK Insan Mandiri, Garut, itu adalah Jalan Kebenaran dan Age Oriented. Empat lagu tersebut ditulis dengan mengombinasikan referensi musik masing-masing yang sebenarnya berbeda. Firda menggemari hiphop, Widi menyukai funk, dan Siti doyan metal. Karena itulah, mereka menyebut VoB beraliran hip metal funky. Proses pematangan sebagai band berjalan beriringan dengan kritik dan hujatan yang juga tak henti. Apalagi ketika panggung-panggung besar mulai mereka jajal. Dan, video penampilan mereka beredar luas lewat perantara YouTube. Pada saat media-media besar seperti Al Jazeera dan South China Morning Post bergantian menurunkan profil tentang mereka, komentar-komentar miring seperti, ’’Buka saja hijabnya,’’ atau, ’’Cewek berjilbab kok main musik metal,’’ juga masih saja ada. Untung, pada saat yang sama, dukungan kepada mereka juga mengalir. Baik dari Indonesia maupun mancanegara. Mulai Malaysia, Thailand, Inggris, hingga Israel. ’’Termasuk dari negara-negara lain yang kami aja cuma tahu di peta,’’ timpal Siti. VoB sebenarnya bukan satu-satunya band dengan musisi berjilbab yang dikenal luas. Di Bandung juga ada Meliani Siti Sumartini, gitaris metal yang video-videonya di YouTube disaksikan jutaan viewer. Ada pula Gisele Marie Rocha. Bersama saudara lelakinya, gitaris bercadar asal Sao Paulo itu bermain di band Spectrus. Yang lebih menguatkan Firda, Siti, dan Wida, keluarga akhirnya juga mulai mendukung. Alasannya sederhana, karena mereka sudah wira-wiri di televisi nasional. ’’Kalau di keluarga kami mah, tampil di televisi itu berarti sudah menjadi artis, hehehe,’’ tutur Siti yang akan merayakan ulang tahun ke-17 pada 17 Agustus mendatang. Tetangga-tetangga dan kawan-kawan sekolah yang sebelumnya menganggap aktivitas VoB aneh juga mulai perhatian. Permintaan berfoto bareng datang dari kawan-kawan sebaya. ’’Biasanya kalau kami muncul itu yang merubung ibu-ibu dan anak-anak,’’ ucap Firda tersipu. Tapi, popularitas yang melambung itu tak sampai mencabut Firda, Siti, dan Widi dari bumi tempat mereka berpijak. Firda, misalnya, sempat menjadi guru ngaji di kampung. Muridnya banyak. Namun, karena kesibukan ngeband, dia beberapa kali absen. Suatu ketika sudah ada guru pengganti bagi para santri cilik itu. Meski demikian, beberapa kali murid-murid mengajinya mendatangi rumah dan menanyakan mengapa dia tidak mengajar lagi. ’’Saya bilang ke mereka, sudah ada guru pengganti yang lebih berpengalaman,’’ tuturnya. Beberapa bulan terakhir, rata-rata dalam sebulan mereka bisa manggung hingga lima kali. Kebanyakan berupa acara amal. Tapi, ada pula di beberapa acara mereka diberi honor. Tentu saja itu sangat mereka syukuri. Setidaknya, dalam periode tertentu, mereka tidak perlu meminta uang jajan kepada orang tua. Hanya, persoalannya, sekolah masih berkeberatan memberikan dispensasi. Jadilah mayoritas tawaran manggung yang diterima berlangsung pada akhir pekan. Tapi, sesekali mereka juga main di tengah pekan. Kalau sudah demikian, mereka pun harus belajar ekstra untuk mengejar ketertinggalan pelajaran. Kini VoB sedang berupaya keras untuk bisa rekaman dan membuat album. Mereka berangan-angan album tersebut bakal berisi delapan lagu. ’’Sekarang kami nabung dulu biar bisa bikin album,’’ ucap Firda. Salah satunya, menjual kaus berdesain unik ala VoB ke kalangan Baceprot, sebutan untuk fans mereka yang dalam bahasa Sunda berarti bawel. Melihat semangat dan kenekatan VoB itu, Ersa pun ikut nekat. Sekitar tujuh bulan lalu, dia membangun studio di rumahnya bermodal pinjaman di bank. Di sanalah para personel VoB terus menggembleng diri. ’’Tanggal 16 Juni ini mereka diundang untuk berkolaborasi dengan (band punk asal Bali, red) Superman Is Dead di Jakarta,’’ kata Ersa. Lalu, dengan segala kesibukan itu, masihkah ada waktu buat mereka untuk pacar? Ketiganya dengan tegas menjawab bahwa mereka tidak berpacaran. Mereka justru merasa miris ketika melihat pergaulan di sekolah. ’’Kami merasa, kami ini remaja yang diselamatkan oleh musik,’’ ujar Firda. (*/c5/ttg)

Tags :
Kategori :

Terkait