Buat Apa Kasih Saran

Rabu 12-07-2017,12:55 WIB
Reporter : Harry Hidayat
Editor : Harry Hidayat

Masa-masa ini, banyak orang muda bersiap melangkah ke level hidup selanjutnya. Sekadar naik kelas, masuk SMA, lulus SMA, masuk perguruan tinggi, atau lulus dari situ. Saran saya, jangan beri mereka saran apa-apa. *** Terus terang, tema Happy Wednesday hari ini adalah usulan dari teman saya. Kebetulan anaknya baru lulus SMA. Jadi, dia pengin saya menulis soal anak muda, khususnya remaja. Sepuluh tahun lalu, saya mungkin termasuk paling paham soal remaja. Karena program-program saya waktu itu banyak sekali dengan anak SMP, SMA, dan juga perguruan tinggi. Mulai dari mengerjakan halaman anak muda di koran sampai bikin kegiatan-kegiatan anak muda berskala nasional, bahkan internasional. Ketika itu, secara usia, saya belum terlalu jauh dari mereka. Jadi, proses mendengar, memperhatikan, dan berkomunikasinya tidak terlalu jauh. Masih bisa bikin sesuatu yang bikin mereka bilang ”keren”, walau itu bisa berarti bikin orang tua mereka garuk-garuk kepala. Kalau sekarang, wah, agak ngeri kalau disuruh bicara soal anak muda. Karena dunia itu selalu berubah. Saya selalu ngeri juga kalau melihat orang tua (apalagi yang lebih tua dari saya) merasa sok tahu soal anak muda, lalu mencoba memaksakan saran kepada mereka. Jadi, kepada anak-anak muda yang sedang melangkah ke babak selanjutnya: Selamat melangkah. Jangan terlalu dengarkan apa kata orang yang lebih tua. Kalian pada dasarnya sudah tahu suka apa, mau berbuat apa. Ada yang sudah tahu secara realistis, ada yang tahunya asal-asalan. Tidak apa-apa. Nanti akan tahu sendiri yang sebenarnya. Kenapa saya begini, mungkin karena saya dari dulu juga termasuk yang tidak pernah dikasih saran apa-apa. Secara resmi, saya tidak pernah lulus SMA. Kebetulan hanya setahun SMA di Amerika, lalu langsung merasakan bangku kuliah. Jadi, saya tidak pernah mendapatkan ucapan selamat lulus SMA, lalu tidak pernah mendapat pesan harus bagaimana saat kuliah. Lalu saat lulus S-1, pembicara di acara wisuda saya juga lebih banyak mbanyol daripada memberi petuah. Dia bilang, jangan senang-senang bisa wisuda. Karena hidup yang sebenarnya itu tidak enak. Lebih baik terus kuliah. Terus sekolah. Hidup lebih nyaman di kampus. Hidup lebih aman di kampus. Kalau keluar dari kampus, banyak kendalanya, banyak masalahnya. Di luar kampus lebih sulit karena harus cari duit. Di luar kampus lebih sulit dapat teman, juga dapat pacar. Yang di kampus nilainya baik pun belum tentu hidupnya gampang. Tentu saja itu semua disampaikan sebagai gurauan yang bermakna. Dan walau kami yang wisuda tertawa terpingkal-pingkal, kami tahu betul maksud dia apa. Seperti kata Billy Wilder, seorang sutradara yang meninggal pada 2002: ”If you are going to tell people the truth, be funny or they’ll kill you…” (Kenyataan akan lebih baik disampaikan dengan cara yang lucu…) Kebetulan teman saya itu juga pernah meminta saya berbicara saat acara ulang tahun ke-17 anaknya. Tidak ingin serius, saya pun menyampaikan saran dengan cara seperti pembicara acara wisuda saya dulu. Saya bilang, usia 17 itu usia yang sangat indah. Dan setelah ulang tahun ke-17, pada dasarnya dia hanya punya waktu setahun untuk benar-benar menikmati segala perbuatannya. Silakan berbuat berbagai kesalahan. Karena di usia 17, yang bertanggung jawab masih orang tuanya. Kalau di Amerika, seseorang baru akan dianggap dewasa saat dia berusia 18 tahun. Kalau sudah 18 tahun, maka dia harus bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Tidak ada lagi perlindungan orang tua. Maka dari itu, mumpung masih 17 tahun, silakan cari perkara sebanyak-banyaknya. Karena ini adalah tahun terakhir untuk melakukan itu! Wkwkwkwk… Apa yang saya ucapkan itu tidak sepenuhnya orisinal. Waktu SMA di Kansas, saya aktif di koran sekolah. Waktu itu yang boleh menjadi pemimpin redaksi koran sekolah adalah anak senior yang usianya sudah 18 tahun. Kenapa? Karena dia sudah bisa dituntut apabila koran sekolah kami membuat kesalahan… Seru ya? Anyway, dalam tulisan ini, saya tetap tidak ingin memberi saran untuk orang muda. Saya juga berharap para orang tua tidak terlalu sok memberi saran. Lagi pula, emang dulunya para orang tua itu hidupnya tertib aman sentosa? Belum tentu, bukan? Dan silakan browsing kutipan-kutipan terbaik dari pidato-pidato kelulusan. Para orang hebat justru tidak mau memberi saran. Kebanyakan justru tidak menyarankan kita jadi orang paling baik, jadi orang paling pintar, atau harus begini dan begitu. Contoh, Michael Dell (pendiri Dell Technologies) di University of Texas tahun 2003. Dia bilang: ”Jangan pernah mencoba menjadi orang paling pintar di dalam ruangan Anda. Kalau ternyata Anda paling pintar, maka undanglah orang yang lebih pintar, atau cari ruangan yang lain.” Oprah Winfrey, salah satu talk show host paling top dalam sejarah, juga tidak mau memberi saran rumit. ”Kadang kita menemukan apa yang seharusnya kita lakukan, justru dengan melakukan hal-hal yang tidak seharusnya kita lakukan.” Begitu ucapnya di Howard University, tahun 2007. Penulis Harry Potter, J.K. Rowling, juga bercerita bahwa dia menjadi dirinya justru karena tidak mendengarkan saran orang tua. ”Saya dulu yakin bahwa saya hanya ingin menulis novel. Tapi, orang tua saya –keduanya datang dari keluarga kurang mampu dan tak pernah kuliah– memandang bahwa imajinasi saya tidak akan pernah cukup untuk membayar cicilan rumah atau mengamankan dana pensiun. Sekarang saya tahu ironi bisa menghantam (begitu kuat),” kata sang penulis superkaya, saat berbicara di Harvard pada 2008. Ya, ya, saya tahu tidak semua orang bisa jadi seperti mereka. Seperti kata profesor ekonomi di kampus saya dulu, di hidup ini, selalu ada 5 persen yang hebat luar biasa, 90 persen yang biasa-biasa saja, dan 5 persen yang gagal total. Tapi, kalau kita harus jadi biasa-biasa saja, atau gagal total, bukankah akan lebih baik kalau mencapainya sambil melakukan apa yang kita sukai? Saya tahu, sekarang ada banyak orang tua mulai memusingkan kelanjutan sekolah atau masa depan anak-anaknya. Karena anak-anak saya masih kecil, saya belum sampai tahap situ pusingnya. Tapi saya tahu, saya akan berpikir seperti ayah saya dulu. Saya tidak akan memberi saran berlebihan, atau bahkan tidak ingin memberi saran sama sekali. ”Terserah aja dia nanti mau bagaimana nanti. Kalau jadi ya jadi, kalau hancur ya hancur…” Serius, itu kata ayah saya dulu. Wkwkwkwk… (*)

Tags :
Kategori :

Terkait