SAYA selalu diajari untuk tidak pernah mengharapkan keberuntungan. Tapi, saya hanya bisa geleng kepala melihat orang tidak ngapa-ngapain bisa beruntung… *** Saya punya teman yang selalu putar-putar cari inspirasi dan peluang. Memikirkan akan mengerjakan apa lagi, kemudian menghasilkan seperti apa. Apalagi di saat ekonomi seperti sekarang ini. Suatu waktu dia nyeletuk: ”Sepintar apa pun orang, akhirnya kalahnya hanya sama orang hoki.” Dan dia terus menegaskan itu. Ada begitu banyak orang pintar (bukan hanya sok pintar dan banyak bicara lho ya), ada begitu banyak orang rajin bekerja, tapi pada akhirnya tetap tidak berhasil. Dia memberi contoh sebuah proyek perumahan. Yang dikerjakan seseorang yang banyak dianggap tidak pintar. Bahkan ngawur. ”Bertahun-tahun yang lalu dia mulai mengelolanya. Karena tidak pintar, akhirnya banyak tidak laku. Dasar nasibnya beruntung. Sekarang nilai perumahannya justru jadi berlipat-lipat. Seandainya dulu dia pintar dan rumahnya laku semua, dia tidak akan sekaya sekarang,” ceritanya. ”Di mana-mana, orang pintar tetap tidak bisa mengalahkan orang hoki,” tandasnya lantas tertawa. Saya pun mencoba memikirkan contoh-contoh lain, dari orang-orang lain yang saya kenal, tentang konsep tersebut. Bahwa orang hoki tetap paling menang. Berikut ini kisah nyata. Ada anggota tim saya. Dia termasuk pintar, tapi karena terus bekerja, kuliahnya dulu tertatih-tatih menuju kelulusan. Ketika tiba saatnya ujian skripsi, ada kejadian seru. Hujan petir sedang berlangsung. Ada bunyi petir keras, disusul bunyi pohon tumbang. Disusul lagi dengan bunyi alarm mobil melengking keras. Ternyata, itu bunyi alarm mobil sang dosen penguji. Panik, sang dosen langsung memutuskan menghentikan ujian, menyatakan muridnya itu lulus! Bayangkan. Berbulan-bulan mengerjakan riset dan skripsi, belajar bersiap menghadapi segala pertanyaan penguji, jadi ”sia-sia”. Andai dia mengerjakan skripsi asal-asalan. Andai dia ketiduran dan tidak belajar menghadapi sidang. Hasilnya akan sama saja! Dia lulus karena petir. Dan tidak perlu protes minta ujian ulang, bukan? Wkwkwkwk… Waktu itu kami bercanda, doa orang tuanya sangat manjur… Tentu saja, tidak mungkin ribuan pelajar perguruan tinggi lantas mengharapkan petir menghantam mobil dosennya saat ujian. Sebaliknya, belajar mati-matian juga belum tentu menghasilkan apa yang diharapkan. Mantan pacar saya dulu waktu kuliah rajin belajarnya minta ampun. Semua tugas dikerjakan. Tidak pernah bolos. Kalau ada tugas penting, dia akan berjam-jam di library menuntaskannya. Hasilnya: Dia lulus dengan GPA 3,48. Bagus? Iya. Tapi, nilai itu membuat dia menangis. Karena setelah bertahun-tahun berjuang, dia gagal meraih predikat cum laude, alias minimum 3,5. Ya, dia gagal cum laude hanya terpaut nilai 0,02! Dia sempat mengomel-ngomel ke saya dulu. Karena menurut dia saya belajarnya tidak pernah serajin dia, tapi justru bisa lulus cum laude. Wkwkwkwk… Saya membalas santai. Saya bilang, cum laude itu tidak cukup hanya belajar. Harus menghadapi kuliah dengan berstrategi, lalu ada elemen nyontek dan hokinya wkwkwk... Kembali ke masalah hoki. Walau pada akhirnya hoki bisa mengalahkan segalanya, tetap tidak bisa mengandalkannya begitu saja, bukan? Belakangan saya beberapa kali berbicara di kampus-kampus atau SMA. Membawa tema Connecting the Dots, sama dengan yang saya bawakan saat acara peluncuran buku Happy Wednesday Top 40 beberapa bulan lalu (sudah beli bukunya?). Judul tema itu terinspirasi dari pidato Steve Jobs, salah satu tokoh idola saya, saat berbicara di acara wisuda Stanford. Dia mengatakan bahwa hidup ini adalah rangkaian dari titik-titik. Tapi, kita baru menyadari titik-titik itu setelah umur kita terus bertambah. Saat menoleh belakang ke masa lalu, ternyata titik-titiknya saling menyambung. Andai tidak ke sini, kita tidak bertemu ini, kita tidak bisa jadi seperti ini. Andai tidak melakukan itu, kita tidak merasakan itu, dan kemudian tidak bisa melompat ke yang selanjutnya. Ada elemen-elemen ”hoki” terlibat di dalamnya. Tapi, elemen-elemen hoki itu mungkin tidak terjadi kalau kita tidak bergerak atau berbuat. Kalau contoh konkret saya: Ketika SMA saya dapat beasiswa di sebuah kota kecil di Kansas. Entah kenapa dikirim ke sana secara acak. Tapi, kalau tidak ke sana, saya mungkin tidak pernah belajar detail soal koran, belajar bikin liga basket, dan lain sebagainya. Dan selama bertahun-tahun bekerja, memang tidak pernah ada yang instan jadi. Harus ke sana, ke sini, menabrak ini, salah ini, salah itu, mengomeli ini, mengomeli itu, dan lain sebagainya. Saya berkali-kali mengutip Michael Schumacher, yang selalu bilang ”The harder you work, the luckier you get”. Yang bisa diartikan: Kalau kita terus ngotot, maka akan ada pintu-pintu peluang terbuka. Atau, terus ngotot itu membuat kita semakin aware (melek/sadar) terhadap peluang-peluang yang sebenarnya selama ini sudah ada di dekat kita. Saat masih aktif di redaksi koran dulu, saya sering sekali mengomeli wartawan (he he he…). Biasanya begini: ”Kalau kalian pasif dan diam saja, gajah lewat pun kalian tidak akan menyadarinya.” Sebaliknya, kalau kita terus aktif dan membuka indra, maka hal-hal paling kecil pun bisa menjadi karya yang indah dan menarik. Jadi, intinya saya ingin terus menolak kenyataan bahwa orang hoki bisa mengalahkan orang pintar atau orang yang terus kerja keras. Tapi, kalau memang itu terjadi, ya apa boleh buat. Namanya juga hoki! Saat aktif baca-baca soal hoki ini, saya menemukan satu kutipan yang mungkin bisa merangkum dengan baik. ”Brilliance and luck is God gifted, which is only 1% of success, rest of the 99% of the success, comes from hard work.” Artinya: ”Kepintaran dan keberuntungan adalah hadiah Tuhan, dan itu hanya 1 persen dari sukses. Sebanyak 99 persen sukses yang lain datang dari kerja keras.” (*)
Orang Hoki vs Orang Pintar
Rabu 01-11-2017,07:55 WIB
Editor : Harry Hidayat
Kategori :