Hujan Telah Tiba, Produksi Garam Cirebon pun Berakhir

Senin 04-12-2017,08:35 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

Perlahan-lahan lahan tambak garam di sejumlah wilayah di Kabupaten Cirebon mulai ditinggalkan penggarapnya. Intensitas hujan yang sudah semakin sering, membuat musim garap tahun ini hanya berlangsung sekitar lima bulan.  Andri Wiguna, Cirebon UNTUK memenuhi kebutuhan hidup, para penggarap lahan mulai putar otak. Sebagian penggarap lebih menunggu musim garap garam tahun berikutnya, namun ada beberapa yang kini tetap eksis dan membudidayakan ikan bandeng dan udang vaname di lahan bekas tambak garam. Ikan bandeng dan udang vaname dinilai mempunyai risiko yang sangat kecil untuk merugi. Selain itu harga dua komoditas tersebut cenderung stabil sehingga meminimalisasi potensi kerugian. Salah satu eks penggarap lahan, Idi (49), warga Desa Rawaurip, mengatakan sudah 28 hari terakhir tambak garamnya berubah menjadi tambak udang vaname. Hal itu terpaksa ia lakukan karena hampir sebulan terakhir lahan-lahan tambak garam di Cirebon sudah tidak bisa digunakan untuk memproses garam. “Sudah hampir sebulan terakhir kita tidak bisa proses garam. Saya sekarang beralih budidaya udang vaname. Tapi kalau disuruh milih ya tetap enak tambak garam, panennya bisa setiap hari. Kalau udang kan paling cepat 3 bulan baru panen, bandeng lebih lama lagi, bisa 4 sampai 5 bulan,” ujarnya. Dijelaskan, untuk 4 petak arel tambak, dia harus membeli sedikitnya 30 ribu ekor benih udang vaname yang ia dapat dari salah seorang bandar atau pengepul udang vaname di Tegal. “Harga per 10 ribu ekornya itu sekitar Rp320 ribu. Jadi beli 30 ribu ya lumayan murah, sekitar Rp1 juta kurang. Paling yang berat ya di pakannya. Kalau beli pakan per karung sekitar Rp140 ribu kalau eceran ya Rp14 ribu perkilo,” imbuhnya. Menurut Idi, di Desa Rawaurip ada sekitar 10 sampai15 eks penggarap lahan garam yang kini memilih budidaya udang vaname dan ikan bandeng. Jumlah tersebut dipastikan akan terus bertambah karena musim hujan baru saja dimulai sehingga akan semakin banyak tambak yang nganggur, dan satu-satunya upaya yang bisa dilakukan adalah alih fungsi tambak garam menjadi tambak udang atau ikan. Sementara itu, harga garam di tingkat petani mulai meroket seiring dengan sudah berhentinya proses pembuatan garam di lahan tambak garam karena sudah masuk musim hujan. Saat ini harga garam ditingkat petani meenyentuh angka Rp2.500 sampai dengan Rp2.700 tergantung dari kualitas garam. Harga tersebut masih bisa naik lagi terlebih saat ini masih banyak para petani yang menahan garamnya untuk keluar menunggu situasi pasar. “Kalau saya pribadi, garam akan saya tahan sampai bulan Februari, baisanya harga di bulan Februari dikala musim hujan sedang puncak-puncaknya maka harga garam akan ikut naik drastis juga,”ujar Rohman (45) salah seorang petani penggarap lahan garam di Desa Pangenan. Menurutnya, harga di tingkat petani yang saat ini sudah termasukmahal, masih kalah jauh dengan harga jual garam ditingkat pengepul yang bisa menyentuh angka Rp3.500 sampai Rp4.000 kepada pembeli yang rata-rata berasal dari luar kota. “Kalau kita kan pemasarannya terbatas, biasanya jual ke pengepul, yang untung banyak ya pengepulnya. Kalau ke petani garam saja berani Rp2.500, berarti jual ke pembelinya jauh lebih mahal, bisa selisih Rp1.000 sampai Rp.2000,” imbuhnya. Namun, hal yang paling mengkhawatirkan para petani garam saat ini adalah ancaman datangnya garam impor yang bisa merusak harga garam di pasaran. “Garam yang kita simpan saat ini tidak akan berguna kalau pemerintah tiba-tiba menyetujui impor garam. Harga garam bisa berantakan dan tak terkendali,” bebernya. (*)

Tags :
Kategori :

Terkait