Ketua MPR: Istilah Mahar untuk Menyudutkan Islam

Rabu 17-01-2018,05:05 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

JAKARTA - Stop penggunaan istilah mahar politik. Karena mahar memiliki makna yang sangat sakral dalam agama Islam. Demikian disampaikan Ketua MPR-RI, Zulkifli Hasan, kemarin. \"Istilah mahar itu hati-hati dalam penggunaannya. Mahar itu kalimat sakral. Itu seolah-olah menyudutkan Islam. Mahar itu syarat pernikahan. Jadi sesuatu yang suci. Kenapa enggak dikatakan suap politik saja. Kenapa mesti menyudutkan Islam. Pakai istilah mahar,\" ujar Ketum PAN ini di Komplek Parlemen, Nusantara III, Senayan Jakarta Pusat, Selasa (16/1). Zulhas, begitu pria ini biasa disapa, memastikan partainya tidak meminta uang kepada kandidat sebagai prasyarat diusung dalam Pilkada. Karena hal itu tidak diperbolehkan dalam aturan dan Undang-Undang. Namun, dia tidak menampik bila dalam Pilkada atau Pemilu membutuhkan biaya sebagai operasional pemenangan kandidat. \"Saya kira, itu biaya operasional atau biaya untuk kemenangan di lapangan. Kalau biaya untuk pemenangan, kita oke. Tapi kalau minta uang suap, tidak,\" jelasnya. Secara terpisah, Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, Agus Hermanto menegaskan, pihaknya tidak pernah meminta uang politik terhadap calon yang diusung di Pilkada Serentak 2018. \"Partai Demokrat tidak ada mahar politik. Karena saya melihat, yang disebut mahar itu pasti konotasinya negatif. Seolah-olah masuk kemudian harus dengan mahar,\" ujar Agus di Jakarta, Selasa (16/1). Wakil Ketua DPR RI itu pun mengakui, dalam mengikuti kontestasi yang besar seperti Pilkada memang dibutuhkan dana besar. Dana itu digunakan antara lain, untuk biaya kampanye dan uang saksi. Terkait besarnya dana, sambung Agus, semua diserahkan sepenuhnya pada calon. Dana tersebut bisa besar, jika calon kurang terkenal dan elektabilitasnya sangat rendah. \"Saya mempunyai pemikiran bahwa untuk kemenangan memang harus menggunakan biaya. Besar kecilnya tengantung pribadinya masing-masing,\" ungkapnya. Meski demikian, Agus menegaskan, Demokrat tidak pernah mematok biaya tertentu. Sebab, lebih mengedepankan elektabilitas dan popularitas tokoh yang akan diusung di Pilkada. \"Kita harus mengetahui, apakah calon ini mampu dan tidak. Tidak harus dimintai uang. Tapi kita bisa lihat dari performa,\" tukasnya. (bis)

Tags :
Kategori :

Terkait