Mau Jadi Musisi Besar, Harus Istiqamah Belajar

Jumat 09-02-2018,08:35 WIB
Reporter : Husain Ali
Editor : Husain Ali

Nasida Ria bertahan lebih dari empat dekade dengan lagu-lagu yang bicara tentang subjek yang luas. Saat ini tengah mempersiapkan para personel junior untuk pembibitan. TAUFIQURRAHMAN, Semarang Perdamaian perdamaian banyak yang cinta damai tapi perang makin ramai (Perdamaian, Nasida Ria) BIKIN film dokumenter sudah. Mengunggahnya di YouTube sudah pula. Begitu juga promosi melalui media sosial (medsos). Tapi, Nazla Zain tak hendak berpuas diri. Masih banyak yang ingin dilakukan perempuan 22 tahun itu agar Nasida Ria bisa terus bertahan mengarungi zaman. “Aku pengin lebih banyak lagi anggota anak-anak muda di Nasida Ria,” ujarnya kepada Jawa Pos (Radar Cirebon Group) yang menemuinya di Semarang, Jawa Tengah, Rabu (31/1). Nazla adalah anggota termuda dalam line-up terkini Nasida Ria, grup kasidah legendaris Indonesia. Dia putri Choliq Zain, pemegang kendali manajemen grup musik Islami yang telah melahirkan banyak hit tersebut. Dari generasi pertama grup yang telah melahirkan 34 album plus satu lainnya yang akan segera rilis itu, hanya Afuwah dan Rien Jamain yang masih aktif. Selebihnya telah digantikan anggota dari generasi kedua dan ketiga. Di luar tiga anggota itu, para personel lainnya adalah Nadhiroh, Mukaromah, Tantowiya, Hamidah, dan Nur Janah. Empat lainnya adalah Uswatun Hasanah, Sofi, Mutoharoh, dan Romna. Grup pelantun Perdamaian, lagu yang kemudian dipopulerkan kembali oleh band Gigi itu, lahir dari sebuah gang di Kauman, Semarang, bernama Mustaram. Di ujung gang tersebut ada rumah Haji Malik Zain, seorang muazin di Masjid Agung Kauman. Juga guru qiraah. Setiap Jumat pagi teras rumah Zain, ayahanda Choliq, selalu penuh orang mengaji. Pesertanya mulai penduduk Semarang hingga luar kota. “Meluber sampai ke mulut gang,” kenang Felasufah Zain, putri bungsu Malik Zain. Zain punya kemampuan mengagumkan dalam melafalkan ayat-ayat Alquran. Jiwanya penuh seni. Semarak dan penuh warna. Kalau sedang khusyuk berqiraah, tangan, leher, sampai dagunya pun ikut bergerak-gerak mengikuti naik turunnya nada. Karena ingin lebih memperdalam ilmu qiraah, ada beberapa siswi peserta pengajian yang ingin tinggal bersama sang guru. Lantai 2 rumah Zain pun dirombak dan dimodifikasi untuk ruang belajar, kamar, dapur, serta ruang makan. Ada sekitar 20 santri putri yang tinggal di asrama itu plus beberapa qari pria. Tapi, Zain tidak mau menyebut rumahnya sebagai pesantren. Jadi, sampai sekarang tidak ada nama untuk asrama yang telah melahirkan legenda musik Islami Indonesia itu. “Ya, sebutannya asrama Nasida Ria gitu aja,” tutur Fela. Zain juga senang bermusik. Beberapa kali dalam sebulan qari kondang Muammar Zainal Asyikin dan beberapa sejawat mengunjungi Zain di rumah. Mereka biasanya mengobrol di teras. Bermain rebana bersama, gambusan, dan salawat. Zain pun berpikir untuk menurunkan bakat bermusiknya itu kepada para santri putri. Musik, menurut Zain, bisa jadi strategi dakwah yang jitu. Mulailah Zain menyeleksi puluhan santri putri di asrama Nasida Ria. “Syaratnya perempuan, suaranya bagus, belum punya pacar, usianya 13 sampai 15 tahun,” cerita Rien Jamain. Akhirnya terpilihlah delapan santri putri sebagai anggota utama grup kasidah Nasida Ria. Satu orang anggota lagi adalah Mudrikah Zain, istri Zain. Angka 9 dipilih secara khusus. Nasida berarti lagu Islami, ria bermakna yang semarak dan mengundang kegembiraan. “N A S I D A R I A, sembilan huruf sama dengan kanjeng Wali Sanga (sembilan wali penyebar Islam di Jawa, red),” tutur Rien. Pada 1975, resmi berdirilah Nasida Ria. Personelnya Mudrikah Zain, Mutoharoh, Rien Jamain, Umi Kholifah, Musyarofah, Nunung, Alfiyah, Kudriyah, dan Nur Ain. Di tiap lagu, lead vocal atau vokalis utama berganti-ganti. Yang lain menjadi backing vocal sembari memainkan instrumen. Rien baru berusia 15 tahun saat itu. Dia mengenang bagaimana Zain menanamkan komitmen kepada sembilan personel, kalau ingin jadi musisi besar, harus istiqamah belajar. Zain pun mengajak mereka berziarah ke makam sembilan wali di seluruh Jawa. Lalu jalan-jalan. Sesekali menyantap kambing guling atau sate di rumah makan. Waktu itu para personel seakan memiliki semua definisi kebahagiaan seorang remaja putri. “Diajari nyanyi, dikasih ilmu, diajak makan, dibelikan kostum, dibedakin, dikasih panggung, pokoknya seneng. Ya, waktu itu belum kepikiran jodoh,” tutur Rien. Awalnya Nasida Ria hanya bernyanyi dan memainkan rebana. Tahun 1980 Nasida Ria diundang untuk tampil di Pendapa Kota Semarang. Walikota Semarang saat itu, Iman Soeparto Tjakrajoeda, jatuh cinta dengan lagu-lagu mereka. Dia pun menghadiahkan satu unit keyboard kepada Nasida Ria. Menyusul kemudian sebuah perusahaan rokok menghadiahkan gitar dan bas. Permainan Nasida Ria pun semakin bervariasi. Rebana disandingkan dengan tambolin, ditambah seruling dan mandolin. Juga dua biola. Awalnya mereka bahkan memakai satu set drum. “Tapi, kemudian dibatalkan karena merusak nada biola dan serulingnya,” kata Choliq. Gaya bermusik Nasida Ria dipengaruhi musik dari gambus Arab. Malik Zain berkolaborasi dengan sahabatnya, seorang ulama kondang Semarang KH Buchori Masruri alias Abu Ali Haidar. Sebagian besar lirik dan nada lagu Nasida Ria ditulis Buchori. Di bawah pimpinan Zain dan Buchori, Nasida Ria terus bersinar. Album pertama mereka, Alabaladil Mahbub, dirilis pada 1978. Nasida Ria mengikat kontrak dengan label ternama, Ira Puspita Record. Pada tahun-tahun kejayaan mereka, 1980-an sampai 1990-an, belum banyak grup kasidah sejenis. “Sebulan bisa manggung sampai 20 kali,” ujar Fela. Dalam film dokumenter The Legend of Qasida besutan Nazla, Anne K. Rasmussen, peneliti musik dari Amerika Serikat, menyebut Nasida Ria sebagai grup qasidah modern paling terkenal di Indonesia. Meski mereka grup musik Islami, menurut Rasmussen, lagu-lagu mereka bicara tentang subjek yang luas. “Ada tentang perdamaian, keadilan, juga hak-hak perempuan,” kata Rasmussen yang mengoleksi kaset Nasida Ria sejak 1995 itu. Dalam perjalanannya, Nasida Ria juga berhasil merebut perhatian pendengar luar negeri. Pada 1988, misalnya, Nasida Ria mewarnai perayaan tahun baru Islam di Kuala Lumpur, Malaysia. Lantas, mendapat undangan dari lembaga seni dan budaya Jerman untuk tampil pada festival budaya Islam, Die Garten des Islam, pada 1994. Bersama musisi Inggris Colin Bass, pencipta Denpasar Moon, mereka kembali ke Berlin dua tahun kemudian pada perhelatan Heimatklange Festival. Mereka tampil di tiga kota: Berlin, Mulheim, dan Dusseldorf. Seiring meninggalnya Zain karena kecelakaan lalu lintas pada 1992, Mudrikah pun mengambil alih kendali. Tiga tahun kemudian, Mudrikah menyusul sang suami. Choliq-lah yang ganti mengendalikan manajemen. Choliq menaruh perhatian besar kaderisasi dan regenerasi. Untuk itu pula, dia menempatkan Nazla, putri pertamanya, menjadi lead vocal. Bukan hanya itu. Chaliq juga gencar mencari anak-anak muda di seantero Semarang dan Jawa Tengah. Tujuannya, melakukan pembibitan generasi keempat Nasida Ria dengan membentuk tim junior. Beranggota anak-anak SMP. “Saya akan bikinkan asrama dan tempat latihan khusus buat mereka,” tuturnya. Fase terberat bagi Nasida Ria adalah saat kehilangan guru besar mereka. Zain meninggal dunia dalam kecelakaan mobil dalam perjalanan mengantar Nasida Ria yang akan tampil di Lamongan. Beberapa tahun setelah dia menciptakan album Tabrak Lari. Layaknya Tahun 2000, Perdamaian, dan Bom Nuklir, bagi Rien Jamain, lagu-lagu yang diciptakan Zain dan Buchori terasa seperti ramalan masa depan. Tidak terkecuali Tabrak Lari yang seperti jadi isyarat kepergian sang guru. “Rahasia Allah, siapa yang tahu,” gumamnya dengan mata berkaca-kaca. (*/c10/ttg)

Tags :
Kategori :

Terkait