Surat dari Nanjing

Jumat 20-04-2018,05:05 WIB
Reporter : Husain Ali
Editor : Husain Ali

SETELAH diskusi dengan mahasiswa seperti Khairul Anwar saya kepikiran. Sepanjang malam. Akan jadi apakah anak seperti itu kelak? Penampilannya sederhana. Tapi begitu bicara terlihat sangat antusias. Matanya berbinar. Jalan pikirannya runtut. Keinginanya jelas: jadi pengusaha. Dan karena itu memilih kuliah di jurusan bisnis. Di Nanjing, Tiongkok. Latar belakangnya pondok pesantren: alumni Darul Hijrah Martapura, Kalsel (Kalimantan Selatan). Bisa bahasa Arab, Inggris dan sekarang bisa Mandarin. Pembawaannya supel. Mudah bergaul. Dia suka menyanyi. Bisa main gitar. Mendirikan grup band di negeri orang. Berani tampil di acara-acara kawinan. Di negara yang dulunya dianggap begitu haram. Sebagai modal hidup sosok seperti itu harusnya cukup. Seperti jadi jaminan masa depannya cerah. Dengan sekolah di pondok pesantren seperti Darul Hijrah pembentukan karakternya kuat: disiplin tinggi, tawadhuk, rendah hati, militan dan peduli akan hal-hal detil. Hal-hal kecil. Dengan penguasaan tiga bahasa asing jendela dunianya lebar. Apalagi bisa bahasa Mandarin yang  begitu sulit. Yang kelak ketika Khairul berumur 32 tahun, Tiongkok sudah jadi kekuatan ekonomi terbesar di dunia. Dia tinggal memerlukan satu lagi. Kali ini bukan pendidikan. Tapi pengalaman hidup. Khususnya hidup menderita. Dia baru lulus  penderitaan tingkat pertama: disiplinnya hidup di pondok pesantren. Harus bangun malam. Tidur sebentar harus bangun lagi. Salat subuh. Ketahuan berbahasa Indonesia dihukum. Harus selalu bicara bahasa Arab atau Inggris di lingkungan pondok. Kini Khairul hidup menderita lagi. Kali ini tidak ada pengurus pondok yang mengawasi. Tidak ada orang tua yang menegur. Semua disiplinnya datang dari dirinya sendiri.

Tags :
Kategori :

Terkait