JK Kritik Open House SBY

Senin 13-09-2010,07:00 WIB
Reporter : Dedi Darmawan
Editor : Dedi Darmawan

JAKARTA - Mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla mengkritik tata pelaksanaan open house di Istana Negara, saat hari pertama lebaran 10 September 2010 lalu. Meski demikian, dia menegaskan, insiden maut tewasnya Joni Malela (45) di tengah acara kegiatan itu, tidak boleh menjadi alasan untuk menghilangkan tradisi open house. Jusuf Kalla menyatakan, bahwa open house sangat penting karena merupakan salah satu momentum pemimpin bertemu langsung dengan rakyatnya. “Sudah ada sejak Pak Harto, sejak 40 tahun lalu, tapi tidak terjadi apa-apa, jadi bukan kegiatannya yang bermasalah,” ujar tokoh yang akrab di sapa JK tersebut, saat open house di kediamannya, Jl Brawijaya, Jakarta, kemarin (12/9). Dia juga menduga, bahwa bisa jadi kondisi Joni Malela yang tewas saat ikut berdesak-desakan dengan warga masyarakat lainnya, memang sudah lemah. “Karenanya nggak usah mencari siapa yang salah apalagi meminta open house dihapus,” katanya. JK menganologikan kecelakaan pada acara open house yang terjadi di Istana seperti pengendara motor. Menurut JK, jika salah seorang pengendara terkena kecelakaan, bukan berarti seluruh motor harus ditiadakan. “Kalau anda naik motor kemudian ada yang kecelakaan, apa semua motor harus ditiadakan? Coba diperbaiki lalu lintasnya saja,” papar mantan ketua umum Partai Golkar itu. Dia menegaskan, solusi mencegah agar kejadian serupa tidak terulang di kemudian hari adalah dengan memperbaiki prosedur open house. “Misalnya, kalau kepanasan ya dikasih tenda,” sebutnya. Atau, lanjut JK, bisa dengan tidak membagikan secara langsung bingkisan Hari Raya Idul Fitri saat pelaksanaan open house. Menurut dia, akan lebih baik kalau bingkisan itu dititipkan ke organisasi keagamaan, badan amal, atau semacamnya. Menurut dia, hal itu dirasa akan lebih aman karena tidak mengundang antrean warga yang berjejal. “Kalau jumlah yang dibagikan semakin besar, makin besar juga resikonya (terjadi rusuh) kan” ujarnya. Sejak menjabat menjadi presiden, SBY selalu menggelar open house di Istana Negara. Namun, tidak pernah terjadi insiden. Warga juga bisa dengan tertib bersalaman dengan presiden. Namun, biasanya, open house untuk masyarakat luas berlangsung cukup lama. Yakni, mulai pukul 11.00 hingga 18.00. Itu pun dibagi menjadi tiga sesi. Sedang tahun ini, SBY hanya menggelar open house selama tiga jam di Istana Negara, mulai 14.00-17.00. Open house hari kedua di Cikeas, yang menjadi tradisi tiap tahun, juga  dihilangkan. Hal ini diduga membuat konsentrasi massa menumpuk di waktu yang sangat terbatas. Setneg pun akhirnya juga harus membatasi jumlah warga yang ingin bersalaman dengan presiden. Setelah kuota dirasa cukup, gerbang ditutup. Pintu gerbang hanya dibuka sedikit saat terjadi aksi saling dorong yang mengakibatkan tewasnya seorang penyandang tunanetra, Joni Malela. Pengemisan Terbuka Kematian Joni Malela (45) penyandang tunanetra yang menghadiri acara silaturahim atau open house Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Istana Negara terus menuai kritik. Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) menilai kematian pria asal Manado yang bermukim di Banten itu menambah panjang korban pembagian sedekah kepada penyandang cacat. Istana negara dan lembga kepresidenan yang selama ini menjadi simbol identitas bangsa kini menjadi ajang pengemisan terbuka berkedok silaturrahmi “Alih-alih mendekatkan diri kepada kaum miskin, Istana negara justru mempraktikkan pembatasan, bentuknya dengan membagi-bagikan uang yang menandakan hubungan kaya-miskin, bukan pemerintah-rakyat,” kata Komisioner Komnas HAM Saharuddin Daming di Jakarta kemarin (12/9). Anggota Komnas HAM yang juga seorang tunanetra itu mengatakan, pembagian amplop kepada masyarakat miskin dan penyandang cacat mencederai nurani dan akal sehat. Saharuddin mengapresiasi niat baik yang dilakukan istana negara, namun menurut dia cara yang ditempuh tidak tepat. “Istana adalah simbol negara, harusnya itu tidak dilakukan dengan gegabah dan perlu dimodifikasi agar tidak jatuh korban,” ujar dia. Berdasarkan pengalaman pribadi, Saharuddin memandang pemberian sedekah kepada penyandang cacat sangat tidak mendidik. Walaupun, pemberian amplop berisi uang sebesar Rp100 ribu itu disebut sebagai pengganti transportasi. Menurut dia, tindakan itu seakan memberi sinyalemen bahwa tunanetra perlu mendapat belas kasihan. “Kalau presiden sungguh peduli kepada tunanetra dan panyandang cacat secara umum, maka presiden seharusnya meggunakan wewenang untuk menghapus diskriminasi dan mengalokasikan anggcran dari APBN/APBD dengan jumlah signifikan untuk memberdayakan mereka secara menyeluruh. Bukan setengah-setengah seperti ini,” kata dia. Berbicara mewakili Komnas HAM, dia mengingatkan kepada istana dan publik luas bahwa paradigma pmberdayaan penyandang cacat tidak lagi berorientasi pada charity based. Melainkan sudah harus berubah menjadi human right based.(zul)

Tags :
Kategori :

Terkait