Jawa Barat Darurat Neraca Air, Pengamat: Pemprov Abai dan Lalai

Rabu 06-06-2018,23:14 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

BANDUNG - Sudah dapat dipastikan sekarang ini, Provinsi Jawa Barat berada dalam kategori darurat kerusakan neraca air. Hal itu disampaikan pemerhati dan pegiat lingkungan dari DPKLTS (Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda), Taufan Suranto. Taufan memaparkan fakta yang menjelaskan kondisi itu di hulu dan di hilir berdasarkan data-data berikut. Kerusakan di hulu, berdasarkan data Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) 2017, sisa lahan resapan air hanya 15 persen saja dari 38.000 hektare yang tersedia. Persoalan ini berawal dari perubahan penanganan lingkungan yang semula hutan berubah menjadi lahan produksi. Perubahan dan alihfungsi lahan menurut Taufan terjadi karena faktor ekonomi. \"Jika lahan untuk pertanian bisa dikecilkan dan kemudian dimaksimalkan, lahan bisa dialihfungsikan kembali menjadi hutan,” ungkapnya. Karena itu, Taufan menilai, penguatan ekonomi para petani dan peladang di Jawa Barat sebenarnya dapat dioptimalkan. Penguatannya dalam bentuk peningkatan produktivitas lahan yang didukung teknologi. \"Tidak masalah sebuah kawasan menjadi sentra sayur. Tapi penggunaan lahannya kecil. Bisa juga dilakukan penggantian komoditas dari sayur-mayur dalam proses penanamannya yang tidak ramah lingkungan menjadi tanaman yang lebih kuat seperti kopi dan murbei, misalnya, atau bisa sekalian alih lokasi,” jelasnya. Sementara itu, contoh yang paling jelas dan nyata dari kerusakan lingkungan di hilir, menurut Taufan, sampah yang menumpuk di sungai yang diketahui berasal dari daerah-daerah di kawasan Bandung raya dan sekitarnya. Untuk mengatasi banjir, di kawasan Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung, sekarang sudah ada rencana pembangunan danau retensi sedalam sembilan meter luas dengan 9.000 meter2. Namun menurut Taufan, kondisi danau retensi tersebut belum jadi tapi sudah ada banjir. ”Ini karena kolam retensi ternyata tidak muat. Sehebat apapun teknologi, yang digunakan tidak bisa mengatasi persoalan alam. Harus pendekatan natural (ekohidraulik) seperti menanam pohon, membangun balong-balong natural, dan pembangunan eco drainase,” tegasnya. Taufan menjelaskan, siklus banjir di Jawa Barat awalnya berlangsung lima tahunan. Namun dalam beberapa waktu terakhir sudah meningkat menjadi satu tahun sekali. Taufan menilai, kondisi itu terjadi karena pemerintah provinsi Jawa Barat abai dan lalai dalam urusan lingkungan. ”Sepertinya sudah tidak ada solusi dalam hal infrastruktur. Normalisasi daerah aliran sungai (DAS) boleh saja saat genting, tapi habis itu mau diapakan lagi. Kuncinya hanya satu. seluruh sungai di Jawa Barat harus dikembalikan fungsinya. Direnaturalisasi dengan pendekatan ekohidrolik,” pungkasnya. (rie)

Tags :
Kategori :

Terkait