Melihat Potret Kemiskinan Masyarakat Wilayah Timur Cirebon, Menyedihkan

Kamis 05-07-2018,14:15 WIB
Reporter : Husain Ali
Editor : Husain Ali

Tidak ada yang lebih disyukuri Didin Suryadi (70), selain masih diberikan nikmat bisa berkumpul dengan keluarga. Meskipun hidup serba kekurangan dan banyak keterbatasan tak jadi soal, yang penting bisa berkumpul bersama keluarga. ANDRI WIGUNA, Cirebon SUDAH tiga tahun terakhir, keluarga Didin tinggal di rumah bedeng di Blok Puhun, Desa Kempeng. Ruangannya hanya 3x4, atapnya dari seng bekas, dindingnya dari anyaman bambu yang sudah terlihat lapuk. Kayu-kayu yang digunakannya pun seluruhnya bekas bangunan. Tempat tidur, kamar, lemari, perabotan, tempat makan dan lain-lainnya jadi satu di dalam ruangan berukuran 3x4 tersebut. Hanya lokasi dapur saja yang terpisah berada di bagian depan bangunan yang sudah miring ke sisi kanan tersebut. “Saya tinggal bertiga, ada anak, isteri dan saya sendiri. Kasur pun saya punya satu. Ini juga bekas, pemberian dari tetangga yang iba. Saya asli Cianjur sudah lama merantau ke Cirebon, sejak muda,” ujar  Didin kepada Radar Cirebon.  Sudah lima tahun terakhir, Didin tidak bisa menjalankan kewajibannya. Kakinya sering terasa sakit, sedangkan kemampuan yang bisa dilakukan hanya buruh kasar seperti bangunan dan proyek. Sehingga, dengan usianya saat ini sudah tidak memungkinkan lagi untuk bekerja. “Untuk makan sehari-hari saja berat. Untungnya, banyak tetangga yang baik, yang suka ngasih, ada yang kirim makanan dan ada juga yang kasih uang,” imbuhnya. Saat ini, yang paling menguras pikirannya adalah masa depan anaknya yang saat ini masih berusia sembilan tahun. Untuk sekarang saja, anaknya membutuhkan biaya untuk sekolah seperti untuk membeli kelengkapan sekolah berupa buku dan lain-lainnya. “Anak minta dibelikan buku, tapi saya belum punya uang. Saya sudah tidak bisa bekerja. Isteri saya juga tidak punya pekerjaan. Kadang suka sedih kalau lihat kondisi sekarang, lemari saja ini pemberian tetangga,” jelasnya. Setiap kali musim hujan, bagian dalam rumah tersebut selalu basah kuyup. Air masuk dari sela-sela atap dan dinding. Ia pun selalu berharap ada keajaiban, di mana fisiknya bisa pulih kembali seperti sedia kala dan mampu meringankan beban keluarga. “Saya kena asam urat. Untuk jalan saja sakit. Setiap hari sudah pakai tongkat. Kondisi ini sudah lima tahun, penginnya sih bisa sembuh lagi dan kerja. Kerja apa saja asal bisa buat makan anak dan isteri,” paparnya. Terakhir, Didin berharap, ada sedikit bantuan dari pemerintah. Baik melalui program bedah rumah atau rutilahu, agar keluarganya bisa tinggal dan hidup sehat tidak seperti sekarang. “Dulu pernah difoto-foto, sampai sekarang belum tahu lagi kapan mau diperbaiki. Ini tanahnya punya sendiri, warisan dari orang tua. Saya belum pernah dapat bantuan apa pun. Mudah-mudahan bisa dibantu,” ungkapnya. (*)

Tags :
Kategori :

Terkait