Tahun 1979 menjadi tahun terakhir perjalanan haji melalui jalur laut. Setelah tahun itu, para jemaah calon haji hanya dilayani dengan angkutan udara. Bagaimana nasib kapal-kapal yang pernah digunakan sebagai kapal pengangkut jemaah haji? Satu di antaranya, Kapal Gunung Djati.
Pada mulanya, tahun 1960-an, Indonesia pernah memiliki kapal laut penumpang bernama Sunan Gunung Djati, wali dari Cirebon. Kapal itu menjadi angkutan jemaah haji selama 21 tahun, membawa sekitar 42.000 jemaah haji asal Indonesia.
Di buku Naik Haji di Masa Silam: Kisah-kisah Orang Indonesia Naik Haji 1482-1964 oleh Henri Chambert-Loir diceritakan Kapal Gunung Djati awalnya adalah kapal uap bemama TS Pretoria. Kapal itu merupakan kapal logistik Angkatan Laut Nazi Jerman (Kriegsmarine) selama Perang Dunia II (1939-1945).
Kapal TS Pretoria berfungsi sebagai pendukung logistik bagi armada kapal selam Nazi Jerman (u-boat). Namun, menjelang berakhirnya perang, kapal itu digunakan untuk mengangkut pengungsi sipil dari kawasan timur Jerman.
TS Pretoria diluncurkan pembuatnya, Blohm & Voss dari galangan kapal di Pelabuhan Hamburg, Jerman, pada 10 Juli 1936. Pretoria saat itu berfungsi sebagai kapal penumpang dan kargo berkapasitas 470 penumpang dan 300 awak, bersama satu unit kapal kembarannya, Windhuk. Dua kapal kembar tersebut digunakan oleh perusahaan pelayaran Deutsche Ost-Afrika Linie hingga pecah Perang Dunia II dl Eropa tahun 1939.
Saat Nazi Jerman menyerah kalah dalam perang pada Mei 1945, TS Pretoria tengah berada di Pelabuhan Kopenhagen, Denmark. Kapal tersebut kemudian disita pasukan Inggris sebagai rampasan perang, hingga kemudian digunakan lagi sebagai kapal angkut tentara.
Di bawah penguasaan Inggris 1945-1958, TS Pretoria kemudian diganti namanya menjadi HMT Empire Doon, lalu diganti lagi menjadi HMT Empire Orwell. Kapal tersebut dioperasikan untuk kepentingan militer Inggris, di Mesir, Libya, konflik di terusan Suez, Mesir, dan Samudra Atlantik.
Tahun 1958 HMT Empire Orwell mengalami kerusakan akibat serangan badai di Samudra Atlantik, lalu ditarik kapal tunda Jerman ke Pelabuhan Lisabon, Portugal. Kapal itu kemudian diketahui tak cocok untuk kapal angkut militer, karena banyak tentara kabur untuk mengunjungi keluarganya.
Inggris kemudian menghentikan penggunaan Empire Orwell lalu disewa perusahaan perkapalan Pan-Islamic di Karachi, Pakistan, untuk angkutan jemaah haji. Tak lama kemudian kapal tadi dibeli perusahaan kapal Inggris lain, Alfred Holt & Co di Pelabuhan Liverpool yang kemudian mengganti namanya dengan nama Gunung Djati.
Masih pada tahun yang sama, Gunung Djati ditingkatkan tonasenya menjadi 17.851 GRT oleh perusahaan Barclay Curle & Co Ltd. di Glasgow, Skotlandia. Dekorasi Kapal Gunung Djati dirombak untuk memanjakan para jamaah haji. Misalnya, di geladaknya dilengkapi menara masjid dan penunjuk arah kiblat ke Mekah. Kemampuan membawa penumpang sebanyak 2.106 orang, terdiri atas 106 penumpang kelas satu dan 2.000 jemaah haji.
Pada 7 Maret 1959, Kapal Gunung Djati berlayar ke Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta untuk mengangkut sekitar 2.000-an jemaah haji. Pengoperasian angkutan haji Kapal Gunung Djati oleh Alfred Holt & Co berakhir tahun 1962, akibat konflik antara Indonesia dengan Malaysia yang didukung Inggris.
Tahun 1962 Kapal Sunan Gunung Djati itu dibeli Indonesia untuk kepentingan angkutan jemaah haji. Dua tahun kemudian kapal itu dibeli dan dikelola oleh PT Maskapai Pelayaran Sang Saka. Hingga pada tahun 1973 perusahaan pelayaran Arafat Jakarta membeli dan mengganti mesinnya dengan diesel yang kemudian diperbaiki di Hong Kong pada 1975.
Dua tahun kemudian, pemerintah Indonesia membeli kembali Kapal Gunung Djati dan menyerahkannya kepada TNI-AL. Kapal itu pun bersalin nama menjadi KRI Tanjung Pandan bernomor lambung 971. Kapal tersebut difungsikan sebagai kapal angkut pasukan dan logistik sampai tahun 1981. Saat umur kapal itu mencapai 48 tahun pada 1984, TNI-AL mengakhiri pengoperasiannya dan menjual Kapal Gunung Djati ke Hong Kong pada 1987, hingga dibesituakan di negara itu.***