Sejak Abad 17, Politik Candu VOC Pengaruhi Kerajaan Cirebon?

Sabtu 25-08-2018,09:53 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

Di era kolonial Belanda, candu sudah dikenal oleh orang Jawa sejak berabad-abad lalu, setidaknya pada abad 17 ketika Pemerintah Kolonial Belanda menjadikan candu sebagai komoditas perdagangan yang penting untuk dimonopoli serta menjadi obyek pajak. Opium menjadi komoditas resmi. Narkotika, yang dikenal dengan nama candu alias madat, beredar ke seluruh pelosok Jawa. Ratusan orang jatuh sengsara dalam cengkeraman opium. Satu dari 20 orang Jawa mengisap candu, tulis pakar candu Henri Louis Charles Te Mechelen tahun 1882, seperti yang tercantum dalam buku Opium To Java karya James R.Rush. Kebiasaan mengisap candu bukan hanya terjadi di tanah Jawa, tetapi juga di sejumlah wilayah koloni Eropa di Asia, tulis TeMechelen yang waktu itu menjabat sebagai Inspektur Kepala Regi Opium dan Asisten Residen Yuwana di wilayah Jawa Tengah masa kini. Sosok lelaki tua tergolek di atas balai-balai bambu. Badannya kurus kering, dimiringkan ke sisi kiri. Ia melepaskan ikat kepalanya. Rambutnya yang panjang tergerai di bantal dekil. Seorang wanita muda dengan kerling mata menggoda datang menghampirinya. Wanita pelayan madat itu membawa sebuah kotak kecil berisi opium alias candu. Ia mengambil secuil benda mirip dodol itu dari kotak dan mencampurnya dengan tembakau rajangan halus. Jemari wanita muda itu kemudian memilin campuran tadi menjadi bola-bola kecil seukuran biji kacang. Bola-bola candu itu dimasukkan ke mangkuk pipa pengisap opium, lalu dibakar dengan nyala api lampu minyak. Dengan sabar, wanita berparas manis itu melayani tamunya. Sang pecandu menyedot gumpalan asap opium dari ujung pipa, yang disebut bedutan. Pondok madat yang berdinding bambu, beratap daun nyiur, itu berdiri di jantung kota Semarang, awal abad ke-19, tak jauh dari alun-alun. Pondok itu memiliki belasan bilik kecil tempat mengisap opium, lengkap dengan peralatan sekaligus pelayannya. Pondok madat macam itu bertebaran di seluruh pelosok Jawa sejak 1800-an hingga 100 tahun kemudian. Setiap hari, pengunjung datang ke sana silih berganti, semata-mata untuk membius diri. Semuanya sah belaka. Demikian James R. Rush, sejarawan dari Universitas Yale, Amerika Serikat, memaparkan aktivitas perdagangan opium di Jawa pada periode 1860-1910 dalam bukunya, Opium to Java, yang diterbitkan Mata Bangsa, Yogyakarta, tahun 2000. Aritikel ini merupakan nukilan buku tersebut. Bunga opium (poppy), yang dalam bahasa Latin disebut Papaver somniferum, memang tidak ditanam di Pulau Jawa. Meski begitu, orang Jawa ditengarai menggunakan opium jauh sebelum kedatangan bangsa Belanda. Setelah orang Belanda mendarat di Pulau Jawa pada akhir adad ke-17, mereka bersaing keras dengan pedagang Inggris untuk merebut pasar opium di Jawa. Kompeni Hindia Timur Belanda (VOC) memenangkan persaingan ini pada 1677. Maskapai perdagangan Belanda itu berhasil memaksa Raja Mataram, Amangkurat II, menandatangani sebuah perjanjian yang menentukan. Isinya: Raja Mataram memberikan hak monopoli kepada kompeni untuk memperdagangkan opium di wilayah kerajaannya. Setahun kemudian, Kerajaan Cirebon juga menyepakati perjanjian serupa. Inilah tonggak awal monopoli opium Belanda di Pulau Jawa. Hanya dalam tempo dua tahun, lalu lintas perdagangan opium meningkat dua kali lipat. Rata-rata, setiap tahun 56 ton opium mentah masuk ke Jawa secara resmi. Tapi opium yang masuk sebagai barang selundupan bisa dua kali lipat dari jumlah impor resmi itu. Pada awal 1800, peredaran opium sudah menjamur di seluruh pesisir utara Jawa, dari Batavia hingga Tuban, Gresik, dan Surabaya di Jawa Timur, bahkan Pulau Madura. Di pedalaman Jawa, opium menyusup sampai ke desa-desa di seantero wilayah Kerajaan Surakarta dan Yogyakarta. Di Yogyakarta saja terdapat 372 tempat penjualan opium. Di kalangan bangsawan Jawa, opium bahkan memberikan corak tertentu pada gaya hidup yang sedang berkembang. Opium dipandang sebagai peranti keramah-tamahan dalam kehidupan bermasyarakat. Di pesta-pesta kalangan atas, jamak belaka jika tetamu pria disuguhi opium. Permukiman Cina, yang semula hanya terpusat di sepanjang pesisir utara, pada pertengahan abad ke-19 mulai menyebar ke kota-kota pedalaman Jawa. Bahkan, justru kawasan pedalaman inilah yang kemudian berkembang menjadi lahan subur bagi para bandar opium. Pasar opium paling ramai terletak di kawasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Bandar opium Surakarta, misalnya, bersama wilayah Keresidenan Kediri dan Madiun, Jawa Timur, selalu menghasilkan pajak opium tertinggi bila dibandingkan dengan wilayah lainnya. Sejak awal abad ke-19 hingga awal abad ke-20, kawasan itu juga mencatat rekor jumlah pengguna opium, dibandingkan dengan wilayah mana pun di Pulau Jawa. Peringkat kedua diduduki wilayah pesisir: Semarang, Rembang, hingga Surabaya. Tapi, di peringkat yang sama juga tercatat kawasan pedalaman Yogyakarta, dan wilayah Keresidenan Kedu. Kemudian disusul wilayah Batavia, hingga pantai utara bagian timur, Rembang, Tuban, Besuki, Pasuruan, Probolinggo, Madura, juga pedalaman Ponorogo.***

Tags :
Kategori :

Terkait