Apa Kabar Kawasan Mangrove Kota Cirebon?

Senin 27-08-2018,01:51 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

Kota Cirebon terletak di Jalur Pantura Provinsi Jawa Barat, bentang alamnya sebagian besar merupakan dataran rendah dibagian Utara hingga Tengah Kota, dan daerah perbukitan terletak di bagian Selatan kota. Sejak dilakukan perhitungan awal sampai dengan tahun 2005 telah terjadi penambahan luas daratan seluas ±90,8 hektar, sedangkan berdasarkan hasil survey dan perhitungan peta hasil survey tahun 2009 luas wilayah administrasi Kota Cirebon ±3.900,8 hektar. Kondisi ini sangat dimungkinkan, karena telah terjadi penambahan luas daratan akibat tanah-tanah timbul yang tersebar di 6 (enam) kelurahan, yaitu Kelurahan Kesenden, Kebon Baru, Panjunan, Kesepuhan, Lemahwungkuk, dan Pegambiran. Terlebih, Kota Cirebon memiliki kawasan sempadan pantai terbentang  sepanjang ± 7.000 m, dengan lebar sesuai karakteristiknya. Presiden Joko Widodo pada tanggal 14 Juni 2016 telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 51 Tahun 2016 tentang Batas Sempadan Pantai. Penerapan Peraturan Presiden (Perpres) No. 51 tahun 2016 tentang Batas Sempadan Pantai (BSP), adalah keharusan untuk memajukan sektor kepariwisataan sekaligus mencegah ulah nakal investor yang memanfaatkan kekosongan aturan tentang BSP itu. Dalam Perpres ini dijelaskan, Sempadan Pantai adalah daratan sepanjang tepian pantai, yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 (seratus) meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat. Menurut Perpres ini, Pemerintah Kota yang mempunyai sempadan pantai, wajib  menetapkan batas sempadan pantainya dalam Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota. Penetapan batas sempadan pantai ini dilakukan untuk melindungi dan menjaga: a. Kelestarian fungsi ekosistem dan segenap sumber daya di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; b. Kehidupan masyarakat di wilayah pesisir dan wilayah-wilayah kecil dari ancaman bencana alam; c. Alokasi ruang untuk akses publik melewati pantai; dan d. Alokasi ruang untuk saluran air dan limbah. Perpres ini menegaskan, penetapan batas sempadan pantai oleh Pemerintah Daerah itu dilakukan berdasarkan perhitungan batas sempadan pantai, yang harus disesuaikan dengan karakteristik topografi, biofisik, hidro-oseanografi pesisir, kebutuhan ekonomi dan budaya, serta ketentuan lain yang terkait. Perpres ini juga menegaskan, pengaturan mengenai pemanfaatan sempadan pantai diatur lebih lanjut oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang penataan ruang setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan dan menteri/kepala lembaga terkait. “Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan,” bunyi Pasal 27 Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2016 tentang Batas Sempadan Pantai, yang telah diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly pada tanggal 19 Juni 2016 itu. Pertanyaannya, sejauhmana Kota Cirebon menerapkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 51 tahun 2016? Perpres Nomor 51 Tahun 2016 Jika Kota Cirebon mengandalkan sektor pariwisata sebagaimana fungsi Peraturan Presiden (Perpres) No. 51 tahun 2016. Tentunya, persebaran mangrove di Pesisir Kota Cirebon layak diperhitungkan. Sebuah kajian bertajuk Analisis Kerusakan Mangrove Akibat Aktivitas Penduduk di Pesisir Kota Cirebon  luas kawasan mangrove di Jawa Barat bagian utara ini, tidak diimbangi oleh pengelolaan kawasan mengrove secara berkelanjutan akibatnya kondisi mangrove di Kota Cirebon mengalami kerusakan. Aktivitas penduduk setempat seperti konversi lahan mangrove untuk pemukiman, konversi lahan mangrove untuk tambak, pengambilan kayu, penangkapan fauna, pencemaran. Kerusakan mangrove akibat konversi untuk pemukiman dan tambak dalam persebaran mangrove di Pesisir Kota Cirebon tidak terdapat di semua garis pantai atau 62,5% dari garis pantai Kota Cirebon sudah beralih fungsi untuk aktivitas masyarakat seperti pemukiman, jalan, dan tambak. Faktor penangkapan fauna dan pengambilan kayu salah satu penyumbang kerusakan mangrove akibat kegiatan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat dan keamanan dari binatang buas yang berada di dekat lahan mangrove, serta penebangan kayu untuk urug-urug/penimbunan dalam membuka lahan pemukiman atau tambak. Faktor pencemaran hasil kegiatan masyarakat seperti limbah perkotaan, limbah cair pemukiman dan indrustri yang terbawa oleh sungai yang berada di Kota Cirebon. Berdasarkan catatan radarcirebon.com, Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (DPRKP) Kota Cirebon telah melakukan pengembangan kawasan hutan mangrove yang berada di RW 09 Kesunean Selatan, Kelurahan Lemahwungkuk, Kecamatan Lemahwungkuk. Hal itu dilakukan untuk mengentaskan kawasan kumuh yang berada di Kota Cirebon. Hanya saja, konsep blue print yang saat ini sudah ada di tangan konsultan itu tidak memakan anggaran yang sedikit, anggaran yang dibutuhkan antara Rp 20 sampai Rp 30 miliar. Ironinya, beberapa warga saat ditemui radarcirebon.com, masyarakat pesisir pantai Kota Cirebon lebih suka pantainya bersih dari mangrove karena menganggap mangrove sebagai sarang nyamuk, sarang ular bahkan tempat bersembunyi penjarah ikan. Sementara, hutan mangrove mempunyai peranan yang sangat besar di bidang perikanan. Berbagai spesies udang dan ikan komersial menggunakan mangrove, akar nafas mangrove dapat menstabilkan pantai berlumpur, menangkap berbagai bahan yang berasal dari darat maupun laut sehingga menjadi ekosistem yang sangat subur. Berbagai organisme mulai dari jasad renik hingga organisme besar berkumpul di ekosistem ini sebagai mata rantai kehidupan. Sementara, di kawasan mangrove Kota Cirebon telah ditemukan dua jenis spesies mangrove, Avicennia marina dan Rhizoporamucronata. Spesies Avicennia marina tumbuh dan menyebar secara alami di kelurahan Kasepuhan dan Pergambiran, sedangkan spesies Rhizoporamucronata tumbuh di Kelurahan Kesenden dan Kelurahan Kebonbaru.***    

Tags :
Kategori :

Terkait