Kasus Gedung Setda, Kontraktor Merasa Belum Ditagih

Rabu 29-08-2018,13:31 WIB
Reporter : Dedi Haryadi
Editor : Dedi Haryadi

CIREBON–Kontraktor Gedung Sekretariat Daerah (Setda), menyangkal terkait klaim penagihan denda keterlambatan proyek oleh Dinas Pekerjaan Umum Penataan Ruang (DPUPR). Pelaksana manejer proyek Taryanto menegaskan, selama dirinya menjabat tidak pernah menerima pemberitahuan ataupun surat penagihan dari DPUPR. Baik di lokasi proyek maupun di kantor pusatnya. \"Saya sudah mengkonfirmasi langsung Tajudin maupun pejabat yang sebelumnya, tidak ada penagihan denda,\" ujar Taryanto kepada Radar Cirebon. Taryanto merasa bosan kontraktor selalu ditekan dan ditanyakan progres terus. Padahal hasil pekerjaan sudah jelas dan riil. Malahan sekarang sudah pada masa pemeliharaan. Yang aneh, sebut Taryanto, sudah tahu proyek selesai, tetapi Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan (PPHP) tidak mau menandatangani serah terima hasil pekerjaan. Bahkan beberapa kali dirinya mendesak tapi mereka selalu menolaknya. “Ini ada apa sebetulnya?” tanya dia. Denda yang ditagih juga dipertanyakan kontraktor. Apakah nilai itu sesuai dokumen kontrak senilai Rp86 miliar atau Rp94 miliar. Sebab banyak pekerjaan tambahan di luar dokumen kontrak yang menyebabkan nilai proyek jadi membengkak. Pembayaran di luar dokumen kontrak ini juga jadi pertanyaan. Bagaimana mekanisme pencairannya? Sebab, nilainya mencapai Rp8 miliar. Sebelumnya, Pelaksana tugas (Plt) DPUPR Kota Cirebon Ir Yudi Wahono DESS mengungkapkan, penagihan atas denda menjadi amanat dari BPK. \"Kami sudah berupaya menagih ke kontraktor, minta denda keterlambatan dibayar atau dilunasi,\" ujar Yudi. Meski sudah menagih, tetapi Yudi juga membenarkan bahwa Inspektorat telah mengeluarkan surat peringatan sebanyak dua kali. Inspektorat mengeluarkan peringatan sebagai bentuk tindak lanjut atas rekomendasi BPK. Kontraktor pun diminta melunasi pembayaran denda keterlambatan 131 hari itu. \"Kami juga nggak tau, sampai sekarang kejapa kontraktor belum membayarkannya. Mungkin belum ada uangnya,\" ungkapnya. Bila sampai akhir tahun belum membayar, pihaknya akan segera menindaklanjuti langkah berikutnya. Sebab, masalah denda ini sudah jadi temuan BPK dan harus ditindaklanjuti. Apa yang menjadi temuan BPK sendiri berbeda dengan persoalan yang ditindaklanjuti Kejaksaan Agung (Kejagung) maupun Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Cirebon. Yudi mempersilakan lembaga-lembaga tersebut menjalankan prosesnya masing-masing. Sementara DPUPR sendiri, kata Yudi, tetap berusaha menjalankan kewajibannya. Salah satunya menagih kepada kontraktor untuk pembayaran dendanya. Seperti diketahui, dalam perhitungan denda ini ada perbedaan antara PT Rivomas Pentasurya dan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK. Dari hitungan kontraktor, keterlambatan hanya 55 hari. Bila diuangkan sekitar Rp4,7 miliar. Sementara BPK menghitung 131 hari, atau bila diuangkan mencapai Rp11,3 miliar. Perhitungan dilakukan pada periode berakhirnya dokumen kontrak awal 24 Desember 2017 sampai berakhirnya masa audit BPK pada 4 Mei 2018. Semua transaksi, dokumen dan kontrak berakhir pada tahun 2017 dan mana yang belum selesai. Bilamana pihak kontraktor menyangkal nilai denda yang harus dibayar, atau bahkan menolak membayar, tetap akan menjadi catatan. Tidak terbayarkan tahun ini akan jadi temuan tahun berikutnya dan akan ditagih terus. (gus)

Tags :
Kategori :

Terkait