Dua Wanita Imigran Muslim di Kongres: Apa Yang Bisa Mereka Perbuat di Washington?

Kamis 30-08-2018,01:38 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

Rashida Tlaib adalah putri seorang imigran Palestina, sedangkan Ilhan Omar adalah seorang dari Somali. Keduanya adalah wanita, dan imigran Muslim. Mereka baru saja terpilih sebagai anggota Kongres Amerika Serikat. Kehadiran mereka di Capitol Hill saja sudah bisa dianggap sebagai suatu pernyataan, kata para ahli. Komunitas Arab dan Muslim di seluruh Amerika Serikat (AS) bergembira atas kemenangan Rashida Tlaib dan Ilhan Omar, yang pada bulan Januari lalu dipastikan akan memasuki Capitol AS sebagai dua wanita Muslim pertama di Kongres. Tlaib dari Michigan dan Omar of Minnesota terpilih di distrik-distrik Partai Demokrat pada bulan November, tetapi ada kemungkinan mereka akan menghadapi beberapa reaksi permusuhan dari pihak yang tidak menyukai imigran Muslim ketika mereka sampai ke Washington, di mana Presiden Donald Trump telah menyerukan kebijakan nasionalis “American First”. Kedua wanita itu telah merangkul basis sayap kiri yang progresif dari Partai Demokrat. Tlaib, yang merupakan putri imigran Palestina, akan mendapati dirinya berada di dalam Kongres yang sebagian besar mendukung Israel dan enggan mengkritik Israel. Tetapi di luar identitas dan retorika tersebut, apa pengaruh potensial yang mungkin dibentuk Tlaib dan Omar di pemerintahan AS? Dua anggota parlemen di ruang yang berisi 435 anggota itu sepertinya tidak mungkin memiliki pengaruh yang berbeda pada politik AS, tetapi mereka dapat memperkuat sudut pandang yang kurang terwakili. Kehadiran mereka di Capitol AS saja sudah bisa dianggap sebagai suatu pernyataan, kata para ahli. Sally Howell, seorang profesor studi Arab-Amerika di University of Michigan-Dearborn, mengatakan bahwa mengingat ketidakefektifan umum Kongres, dua wanita anggota kongres masa depan seharusnya tidak diharapkan untuk mengubah kebijakan nasional. Howell mencatat bahwa Tlaib menjalankan kampanye berdasarkan layanan konstituen untuk penduduk di distriknya, yang mayoritas bukan Arab atau Muslim. Visi Tlaib tentang perannya di Kongres adalah berjuang untuk kebutuhan orang-orang yang diwakilinya di Detroit, meskipun misi dan identitas politiknya telah secara signifikan dibentuk oleh latar belakang Muslim Palestina, kata Howell. Terlepas dari fokus lokalnya pada masalah ekonomi dan lingkungan, Tlaib telah berbicara berulang kali tentang masalah Palestina. Pada hari Jumat (24/8), kelompok Yahudi liberal, J Street, menarik dukungannya terhadap Tlaib setelah dia menyuarakan dukungan untuk solusi satu negara dengan hak yang setara untuk orang Yahudi dan Palestina, jauh berbeda dari sikap standar AS mengenai Timur Tengah yang selama ini mendukung solusi dua negara, yang menurut para kritikus adalah tidak lagi layak. “Masalah ini harus diatasi dengan solusi satu negara. Terpisah tetapi setara tidak akan berjalan dengan baik. Saya baru berusia 42 tahun, tetapi guru saya berasal dari generasi yang ikut berbaris bersama Martin Luther King. Ide keseluruhan dari solusi dua-negara itu tidak akan berjalan dengan baik,” kata Tlaib kepada majalah In The Times dalam wawancara awal bulan ini. Platform kampanye Omar menekankan keadilan sebagai pendahuluan untuk perdamaian di Timur Tengah, dan menyerukan untuk mengakhiri blokade di Gaza serta pendudukan Tepi Barat dan Yerusalem Timur. Howell mengatakan Tlaib bisa saja angkat bicara dan tidak setuju pada isu-isu kebijakan luar negeri AS, termasuk di Palestina, tetapi itu tidak berarti bahwa dia akan membawa perubahan, selain dengan mengartikulasikan perspektif Palestina di Washington. Namun, kemenangan dua wanita itu secara simbolis penting, kata Howell. “Kita berada dalam periode politik di mana imigran pada umumnya dan Muslim secara khusus sedang direndahkan oleh presiden, oleh pemerintahan presiden dan oleh partai politik presiden pada batas tertentu,” kata Howell. “Adanya dua wanita yang terpilih untuk duduk di kursi Kongres, salah satunya merupakan imigran dan yang lainnya merupakan putri imigran, dua-duanya Muslim, benar-benar memunculkan narasi bahwa orang Arab, Muslim dan imigran membenamkan narasi adalah bagian dari kita, bukan ancaman bagi kita.” Omar datang ke Amerika Serikat sebagai pengungsi dari Somalia. Tlaib dan Omar adalah bukti nyata bahwa imigran adalah bagian dari Amerika, tambah Howell. “Mengenai masalah kebijakan imigrasi, saya pikir mereka akan memiliki suara yang sangat kuat di pemerintahan karena mereka bukan orang dari luar politik untuk isu-isu itu; mereka berada dalam arus utama Partai Demokrat ketika menyangkut masalah-masalah seperti imigrasi. Mereka akan dapat membuat perbedaan pada isu itu.” George Bisharat, seorang profesor Palestina-Amerika di UC Hastings College of Law di San Francisco, menyoroti “perubahan citra” atas kemenangan Omar dan Tlaib. “Apa yang menurut saya sangat luar biasa adalah kedua wanita ini adalah Muslim dan mereka progresif,” kata Bisharat kepada MEE. Dia menambahkan: “Ini akan menyebabkan orang berpikir dua kali tentang beberapa stereotip yang saat ini tersebar tentang wanita di Timur Tengah, khususnya wanita Muslim.” Bisharat mengatakan terpilihnya mereka dapat mewakili “awal” dari sebuah wacana baru tentang isu-isu yang berkaitan dengan Timur Tengah. Bisharat mengatakan walaupun Tlaib mungkin tidak dapat mempengaruhi kebijakan luar negeri AS dalam waktu dekat, kemenangannya—terlepas dari identitas Palestina dan kritik Israelnya—mengungkapkan “pergeseran” mengenai isu Palestina dalam basis Partai Demokrat. Sebuah jajak pendapat oleh Pew Research Center yang dirilis awal tahun 2018 menunjukkan, hanya 27 persen dari Partai Demokrat yang lebih bersimpati pada Israel daripada Palestina, dibandingkan dengan 79 persen dari Partai Republik. Anggota Partai Demokrat yang progresif, termasuk Tlaib dan Omar, lebih mungkin untuk mengkritik Israel. Namun, perubahan nada pada Israel di kalangan anggota Partai Demokrat tidak akan diterjemahkan ke dalam kebijakan luar negeri AS yang baru mengenai Palestina dalam waktu dekat ini. “Kami membutuhkan kandidat yang lebih progresif di Partai Demokrat untuk Kongres,” kata Bisharat. “Indikator demografis menunjukkan hal itu mungkin terjadi. Tidak salah jika merasa optimis tentang ini, tetapi kalian mungkin akan kecewa jika kalian mengharapkan perubahan itu akan segera terjadi. (*)

Tags :
Kategori :

Terkait