BDI Rp5,5 Miliar Bisa Tak Terserap dan Kawasan Kumuh Kota Cirebon Capai 343,4 Hektar

Kamis 30-08-2018,16:02 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

Bantuan Dana Investasi sebesar Rp5,5 miliar untuk penanganan kawasan kumuh bisa tak terserap. Kepala Bidang Pemukiman, Khaerul Bachtiar mengatakan, dana itu ada batas waktu yakni akhir Agustus. Sebagai informasi manakala dana BDI di DIPA itu sampai akhir Agustus tidak terserap, dana tersebut akan ditarik oleh pusat. \"Sekarang yang kemungkinan berjalan baru Kelurahan Pekalangan. Mereka sudah siap,\" ucap Khaerul, kepada Radar, Rabu (29/8). Ia meminta kerja ekstra semua pihak dari mulai masyarakat, BKM,  tim pendamping kotaku, tim pemda dan satauan kerjanya. Jangan sampai dana miliaran rupiah ini malah hangus dan tidak termanfaatkan, Menurutnya, kelurahan lain mungkin sudah mengonsep program kegiatan. Hanya saja belum terverifikasi oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Hal ini karena kurang lengkap baik dari sisi administrasi maupun dari sisi perencanaan yang belum matang. \"Ini kan perlu dikaji oleh tim teknis. Ya kalau tidak terserap ini, dana balik lagi  ke negara. Itu konsekuensinya,\" jelasnya. Dikatakan dia, selaku PPK menyayanngkan masukan itu baru dilakukan pada akhir menjelang daed line penutupan. Banyak yang baru diverifikasi satu kelurahan hanya menyerap Rp300 juta. Padahal dalam alokasinya bisa sampai Rp1 miliar. Adanya keterlambatan ini disebabkan banyak hal. Pihaknya tidak mau hanya menyalahkan BKM tidak proakif. Karena ada faktor lain seperti regulasi dan standar, karena belum maksimalnya peran pendamppingan kotaku. Imbasnya berkas tidak sesuai dengan perencanaanya. Sebagaimana diketahui, mulai sejak 2015, program penanaganan kawasan kumuh sudah dimulai. Itu juga menjadi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Pada waktu itu, penanganan kota kumuh berada di Dinas Pekerjaan Umum Penataan Ruang (DPUPR). Seiring perjalanan waktu, lahir DPRKP pada januari 2017.Hinggga kini program itu berada di bawah DPRKP. Sejauh ini andil yang diberikan, DPRKP baru berapa haktare dari 2017. \"Pengurangan kumuh kita baru berapa persen. Hitungan ini bukan dari 2015,\" jelasnya. Kawasan kumuh Kota Cirebon mencapai 343,4 haktare. Itu berdasarkan ketetapan Surat Keputusan (SK) Walikota terbaru tahun 2018. Dari total kawasan kumuh itu, baru 27,47 haktare yang teratasi hingga tahun 2018. Itu termasuk yang dikerjakan oleh Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Pemukiman (DPKRP) yang baru terlahir pada tahun 2017. Selama dua tahun itu, DPKRP sudah mengurangi kawasan kumuh sebsar 3,07 haktare. Kepala Seksi Data dan Evaluasi, Teguh Prihatna menjelaskan, berdasarkan SK Walikota terbaru mengenai kawasan kumuh. Ditetapkan menjadi tiga cluster. Kawasan Pesisir meliputi 20 RW pada enam kelurahan dalam dua kecamatan dengan luas 113,48 ha. Kawasan Heritage meliputi 39 RW pada empat kelurerahan pada satu kecamatan dengan luas 137,61 ha. Kawasan perbukitan meliputi 11 RW pada satu kelurahan dalam satu kecamatan dengan luyas 64,82 ha. Pada tahun 2017 itu, Pemkot menganggarkan Rp241 juta untuk penanganan kota kumuh. Dari anggaran itu yang diterima dua RT. Bisa mengurangai luasan kumuh sebesar 2,52 ha di dua RT di Kelurahan pekalangan. Kemudian pada tahun 2018 pemkot kembali memberikan anggaran sebesar Rp 261 juta bisa mengurangi kumuh 0,45 ha di empat RT di keluarahan pekalangan dan pekalipan. \"Kenapa lebih sedikit, karena pekerjaan tidak menyentuh langsung sasaran poin dasar baseline. Kami ada penghitungan poin pengurangan kumuh dan itu dari luasan RT termasuk kecil walaupun 4 rt pekalipan dan pekalangan,\" ujar Teguh, kepada Radar, Rabu (29/8). Dari luas lahan kumuh dari SK terbaru seluas 343,4 ha itu kini tersisa 315,9 ha lagi. Menurutnya, dalam pengananan kawasan kumuh dengan membagi tiga cluster itu menjadi prioritas. Hanya saja prioritas sudah di-plot dengan memakai garis merah yang terdapat di kawasan padat pemukiman. \"Kita pakai sistem terpadu juga. Jadi ada penanganan juga daerah di sekitar kawasan kumuh. Bisa jadi nanti yang diluar itu bisa jadi kumuh,” katanya. Kepala Bidang Kawasan Pemukiman Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Pemukiman, Khaerul Bachtiar mengungkapkan, program pengentasan kawasan kumuh, semestinya sudah tuntas hingga akhir tahun 2019. Hal itu sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).  Namun sepertinya jauh dari selesai. Dari pelaksanaan yang dilakukan DPRKP, ia menarik kesimpulan. Program ini bisa berhasil dengan dua komitmen. Pertama, pemerintah pusat, pemerintah daerah memberikan dukungan anggaran. Kedua, masyarakat siap mensukseskan program itu. Dari sisi pemerintah misalnya mendukung pendanaan yang memadai. Sedangkan dari masyarakat siap menerima dan mau merubah prilaku supaya hidupnya lebih sehat dan bersih. \"Kalau masyarakat nggak berubah, pemerintah ngasih dana juga nggak berjalalan,” tuturnya. Sejauh ini kedua sisi itu belum bisa optimal. Misalkan dari sisi pendanaan. Program pengentasan pemukiman kumuh juga dialokasikan dari APBD dan APBN. Dari APBD yang dialokasikan untuk kawasan kumuh masih minim. Dalam setahun, pihaknya hanya mendapatkan alokasi sebesar Rp250 juta. Tepatnya, pada tahun 2017 sebesar Rp241 juta dan pada tahun 2018 Rp261,5 juta. Pada tahun 2017 dengan anggaran itu bisa mengurangi kawasan kumuh seluas 2,52 ha. Dan pada tahun 2018 bisa mengurangi 0,55 ha. Dengan dukungan anggaran pemerintah daerah, pengurangan kawasan kumuh ini bisa signifikan. Sebagai contoh, misalnya pada tahun ini ada dana Bantuan Dana Investasi (BDI) dari Kementerian PUPR untuk lima kelurahan. Total anggaran Rp5,5 miliar. Pemerintah daerah bisa ambil bagian di kelurahan yang tidak tersentuh bantuan itu. “Tinggal nanti kita tunggu kemampuan dari pemerintah daerah. Selama ini masih minim,\" jelasnya. Permasalahan kota kumuh, kata dia, sangat kompleks. Setidaknya ada 7 indikator plus satu mengenai kekumuhan di sebuah kawasan. Yakni dari indikator, jalan, saluran, keteraturan bangunan, air bersih, limbah rumah tangga, persampahan, proteksi kebakaran dan satu lagi ketersedian ruang terbuka hijau. Yang sangat disayangkan, usulan masyarakat melaluii Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) dan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) banyak mendominasi adalah jalan dan saluran. Padahal, parameter kekumuhan itu ada 7 indaktor plus 1. (jml)  

Tags :
Kategori :

Terkait