Berwisata Sambil Menyusuri Sejarah Stasiun Kota Cirebon Peninggalan Pieter Adriaan Jacobus Moojen

Minggu 02-09-2018,13:36 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

Siapa duga, tak jauh dari hotel yang terbakar kemarin, sebagaimana telah diberitakan Hotel Aurora Cirebon Terbakar, di era Hindia Belanda merupakan kawasan Staatsspoorwegen, sebuah perusahaan kereta api di Hindia Belanda. Perusahaan ini sepenuhnya dimiliki oleh Pemerintah Hindia Belanda. Perusahaan ini juga merupakan salah satu perusahaan Belanda yang diserahterimakan, yakni menjadi Djawatan Kereta Api Republik Indonesia (DKARI), pendahulu PT Kereta Api Indonesia. Pesaingnya adalah Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij. Mengutip Staatsspoorwegen (1920–1931). Verslag der Staatsspoor-en-Tramwegen in Nederlandsch-Indië 1920-1931. Batavia: Burgerlijke Openbare Werken. Diungkapkan, Staatsspoorwegen mulai menanamkan pengaruhnya di Cirebon sejak akhir dekade 1900-an. Pada tanggal 3 Juni 1912, jalur kereta api Cikampek menuju Cirebon selesai dibangun serta merupakan bagian dari pembangunan jalur kereta api menuju Purwokerto dan Kroya. Jalur yang ke Cirebon difungsikan untuk menghubungkan jalur SS dengan jalur Semarang–Cheribon Stoomtram Maatschappij (SCS). Pembangunan jalur kereta api ini dilakukan untuk mempercepat lalu lintas barang dan penumpang. Perintisannya dimulai sejak tahun 1893 untuk jalur SCS. Pada tanggal 1 November 1914, kedua stasiun tersebut berhasil terhubung.   Foto diatas menunjukkan Stasiun Kejaksan, Kota Cirebon, sekisar tahun 1913-1916. Gedung Stasiun Cirebon yang sekarang ini dibangun pada tahun 1920 berdasarkan karya arsitek Pieter Adriaan Jacobus Moojen (1879–1955) dalam gaya arsitektur campuran art nouveau dengan art deco. Dua menaranya yang sekarang ada tulisan \"Cirebon\" dulu ada tulisan \"kaartjes\" (karcis) di sebelah kiri dan \"bagage\" (bagasi) di sebelah kanan. Pada tahun 1984, gedung stasiun ini dicat putih. Melansir laman Kereta Api Indonesia, pada bagian muka sebelah atas menara dan bangunan utama dibuat deretan jendela kaca persegi terbuat dari kaca patri berwarna-warni dilengkapi sejumlah roster atau lubang ventilasi. Selain untuk keindahan, kaca patri juga berfungsi sebagai penerangan alami ketika cahaya matahari masuk ke dalam. Sedangkan pada malam hari pencahayaan bersumber dari lampu gantung antik yang terletak di tengah ruangan. Gaya ukiran Art Deco tampak terlihat di bagian ujung puncak dinding atap bagian depan yang dihiasi dengan ornamen mahkota. Pada saat diresmikan, pintu masuknya berupa empat lubang pintu melengkung (busur panah). Untuk memberikan karakter kuat dari ciri hiasan yang sedang tren pada masa itu diberi semacam tonjolan garis yang membingkai lubang pintu dan dinding pembatas antar ruang. Loket penjualan karcis terletak di dalam bangunan utama yang terhubung langsung dengan gerbang depan. Ruangan di depan loket berupa ruang dengan plafon tinggi sehingga berkesan luas. Jalur 1 dan 2 beserta emplasemennya dinaungi kanopi lebar yang menggunakan rangka atap baja.   Foto diatas menunjukkan aktivitas Stasiun Cirebon tahun 1915. Sejak pabrik pengolahan tebu pertama kali didirikan pada 1813 di Tegal, industri gula yang berkembang terus menyebar hingga ke wilayah Cirebon. Sebelum politik Tanam Paksa diterapkan pada 1830, wilayah Cirebon sudah menjadi salah satu sentra perkebunan gula di Jawa. Walaupun saat itu kereta api belum diperkenalkan, jalan rel bertenaga hewan ternak sudah dipasang dari pelosok-pelosok perkebunan tebu untuk mengangkut hasil panen menuju pabrik gula. Sampai akhir abad ke-19 di wilayah Cirebon saja sudah lebih dari sepuluh pabrik gula berdiri yang membuka peluang bisnis angkutan gula lewat kereta api. Meski demikian perusahaan kereta api negara Staatspoorwegen (SS) baru mengembangkan eksploitasi rel kereta apinya di Cirebon pada 1911. Peristiwa itu diawali dengan peletakan batu pertama pembangunan Stasiun Cirebon Kejaksan pada lintas Batavia-Cikampek-Cirebon-Purwokerto-Kroya. Dan, selama zaman Revolusi Kemerdekaan 1945-1949, Stasiun Cirebon selalu menjadi tempat transit untuk semua jenis Kereta Luar Biasa (KLB) mulai dari Presiden Soekarno yang memberikan pidato di depan masyarakat, pidato Panglima Besar Jenderal Soedirman, sampai Perdana Menteri Sjahrir untuk menjemput rekannya sebelum meneruskan perjalanan.(*)  

Tags :
Kategori :

Terkait