MAJALENGKA - Saat ini persepsi masyarakat awam terhadap politik di Indonesia sampai kepada titik nadir yang mengkhawatirkan. Masyarakat cenderung memandang negatif kepada para politisi terutama mengenai penyakit menular kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN). Masyarakat menjadi cenderung pragmatis dalam menyikapi sesuatu hal terkait politik karena terlalu sering menyaksikan operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kepada oknum-oknum politisi. Tak heran atas hasil survey Global Corruption Barometer (GCB) yang disusun Transparency International tahun lalu, masyarakat memosisikan DPR menjadi lembaga paling korup diikuti dengan lembaga pemerintah dan DPRD. Namun persepsi negatif masyarakat tersebut justru memancing aktivis buruh ini maju mencalonkan diri menjadi calon anggota legislatif untuk memperbaiki citra negatif masyarakat tersebut. Aktivis buruh ini berkeinginan untuk membentuk circle of Influence kepada seluruh anggota dewan untuk bekerja berdasarkan kinerja yang terukur sesuai prinsip meritocracy dan menjauhkan diri dari praktik-praktik korupsi. Prana Rifsana, pria kelahiran Jakarta 29 Oktober 1973 ini sejak kuliah di UPN Veteran Jakarta aktif di berbagai kegiatan mahasiswa. Mulai dari Lembaga Pers Mahasiswa, Kelompok Ilmiah Mahasiswa hingga Senat Mahasiswa, ini yang membuat kecintaannya berorganisasi. Ketika krisis ekonomi terjadi, Prana turun bergerak bersama mahasiswa-mahasiswa di Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta (FKSMJ) mewakili UPN Jakarta dalam menuntut reformasi dan menurunkan Presiden Soeharto. FKSMJ-lah yang saat itu terlebih dahulu mengambil inisiatif untuk melakukan pendudukan Gedung MPR/DPR hingga terjadi pengunduran diri penguasa Orde Baru. “Setelah melalui masa reformasi bersama mahasiswa, saya bermaksud membentuk wadah karyawan di tempat saya bekerja di salah satu bank swasta nasional untuk meningkatkan kesejahteraan, melindungi dan membela karyawan,” ujarnya. Gayung bersambut dengan keinginan yang sama dari beberapa rekan kerjanya, akhirnya keinginannya terwujud. Tepat 14 Agustus 1999 di rumahnya dahulu di kawasan Fatmawati Cilandak Jakarta Selatan didirikan Serikat Karyawan Bank Bali (SKBB), sekarang SKBB berubah nama menjadi Serikat Pekerja Bank Permata (SP Bank Permata). Sepak terjang Prana di dunia perburuhan membawa harum nama SP Bank Permata, karena menjadi inisiator dan motor penggerak para Serikat pekerja perbankan untuk keluar dari “kandangnya” membentuk Indonesian Banking Union (IBU) tahun 2010 dan Jaringan Komunikasi Serikat Pekerja Perbankan (Jarkom SP Perbankan) di tahun 2017. Ayah dua anak ini juga menjadi motor penggerak dan inisiator agar serikat pekerja perbankan keluar dari zona nyamannya. Berjuang bersama-sama dengan buruh, tani, dan mahasiswa serta aktivis pro demokrasi lainnya dalam menyikapi persoalan rakyat dan turun aksi solidaritas bersama Gerakan Buruh Untuk Rakyat (GEBRAK) bersama-sama dengan konfederasi-konfederasi besar yang progesif seperti KASBI, KPBI, KSN dan lainnya. “Saya selalu mengingatkan kepada semua pekerja perbankan bahwa semua pekerja perbankan adalah buruh, buruh sektor perbankan. Dikotomi kelas buruh antara buruh kerah putih dan buruh kerah biru justru adalah upaya pecah belah kaum kapitalis sehingga buruh tidak bisa bersatu. Semakin banyak Serikat pekerja dalam satu perusahaan, semakin sering federasi dan konfederasi yang pecah hanya memajukan egoisme kepentingan masing-masing tanpa tersadar semakin lemahnya perjuangan buruh, semakin marginalnya kaum buruh Indonesia,” tandasnya. Upaya pengotakan tersebut berusaha dilawan suami dari Sri Widiyawati ini dengan senantiasa memimpin pengurus dan anggotanya memberikan aksi-aksi solidaritas kepada buruh-buruh di seluruh pelosok negeri. Mulai buruh awak tangki Pertamina hingga solidaritas terhadap perjuangan para petani Kendeng yang lahan pertaniannya dijadikan pabrik semen di pegunungan Kendeng Jawa Tengah. Prana yang tinggal di Bandung dan telah 19 tahun menjadi aktivis buruh, pada tahun politik saat ini merasa terpanggil untuk maju ke proses pencalonan menjadi anggota legislatif untuk memajukan bangsa. Prana geram dengan semakin banyaknya anggota dewan dan pejabat daerah dan pemerintah yang terlibat korupsi. Karena menurutnya penyakit korupsi yang menjadi kendala bangsa untuk maju. Korupsilah yang membuat rakyat Indonesia jauh dari sejahtera, baik itu buruh, tani, nelayan, para ulama, guru honorer, atlit, musisi, budayawan dan anak-anak muda, kesejahteraan saat ini hanya dinikmati segelintir orang. Bersama dengan partainya anak-anak muda yang masih memiliki idealisme yang tinggi dan belum terkontaminasi hegemoni para elite politik saat ini, Prana ingin mengulang kembali keberhasilan bangsa Indonesia saat merdeka dengan dorongan anak-anak muda atas peristiwa Rengasdengklok. Prana juga ingin mengulang kembali kesuksesan para mahasiswa dalam menumbangkan Orde Baru, menghapus dwi fungsi ABRI dan menghilangkan praktik kolusi, korupsi dan nepotisme. Saat ini Prana sudah tidak menjadi pengurus SP Bank Permata. Pertengahan Agustus 2018 lalu di hadapan 120 peserta Musyawarah Nasional yang mewakili hampir 5.000 anggota SP Bank Permata di Tawangmangu Jawa Tengah Prana tidak bersedia dicalonkan kembali menjadi Ketua Umum atau Sekretaris Jenderal. Karena menurutnya banyak kader muda yang siap menggantinya. Hanya jabatan sebagai Koordinator Jarkom SP Perbankan yang terdiri dari 20 SP Perbankan yang belum dilepasnya untuk mendaki level pengabdian berikutnya. Anak ketiga dari pasangan Munzir Zainuddin (alm) dan Pia Sedjati ini sekarang siap maju bersama calon-calon anggota legislatif lainnya melalui salah satu partai untuk bersama memajukan bangsa. “Saya yakin keberhasilan bukan berasal dari kerja keras sendiri, tapi karena ada kontribusi kepercayaan dari orang lain. Saling percaya yang dibangun bersama merupakan simpul yang kuat dalam mencapai satu tujuan bersama,” pungkasnya. (iim)
Buruh Nyaleg Hapus Korupsi
Selasa 04-09-2018,02:02 WIB
Editor : Husain Ali
Kategori :