Sepuluh tahun lalu Lehman Brothers menjadi korban paling terkenal dari krisis keuangan, menyebarkan gelombang yang mengejutkan ekonomi dunia.
Kasus kebangkrutan terbesar di Amerika Serikat ini mengungkapkan seberapa besar pasar keuangan bergantung kepada aset \'busuk\'- apa yang disebut sebagai hipotek subprime dan turunannya - saat terjadi lonjakan beberapa tahun sebelumnya. Masalah ini terjadi karena industri hipotek memberikan dana kepada para peminjam yang sebenarnya tidak mampu membayar. Sehingga terjadi peningkatan kebangkrutan yang memicu ambruknya sejumlah lembaga peminjaman. Bagi dunia, hal ini menandakan berakhirnya pertumbuhan. Setelah enam tahun terjadi pertumbuhan tinggi, ekonomi berkembang melambat di tahun 2009 ke tingkat pertumbuhan yang lebih menengah, 2,8% per tahun, menurut Dana Moneter Internasional (IMF) - sementara negara industri menciut menjadi -3,4%. Di AS dan Eropa, pemerintah segera menyelamatkan lembaga keuangan - dengan menggunakan pajak yang dibayarkan masyarakat. Pada pertemuan G20, ekonomi terbesar dunia menyadari perlunya mendukung ekonomi dunia, dan menyepakati serangkaian kebijakan untuk membangkitkan pertumbuhan. Sepuluh tahun kemudian, bagaimana hasilnya? Kami mengunjungi kembali sejumlah negara. Amerika Serikat Ekonomi kami memerlukan tindakan yang berani dan segera,\" kata Barack Obama pada hari pengangkatannya menjadi Presiden AS di bulan Februari 2009. Dengan menguapnya aset badan keuangan AS, karena dikhawatirkan terlalu bergantung kepada pinjaman busuk, Lehman Brothers sebenarnya bukanlah satu-satunya lembaga peminjaman yang menghadapi kesulitan. Pemerintah mengambil alih Fannie Mae dan Freddie Mac, menyelamatkan AIG lewat pengucuran dana US$182 miliar atau Rp2.685 triliun dan Kongres menyediakan US$700 miliar atau Rp10.368 triliun untuk menyelamatkan bank-bank bermasalah. Henry Paulson, menteri keuangan saat itu, dijuluki \'Mr Bailout\' atau si penyelamat. Bank sentral mulai membeli obligasi untuk memompa dana ke ekonomi - menghimpun dana sebesar US$4,5 triliun atau Rp66 juta triliun dalam enam tahun. Tidak lama setelah berkuasa, Obama menandatangani Recovery Act, di mana lebih dari US$800 miliar atau Rp11.850 triliun digunakan untuk membiayai program bantuan dan ditanamkan pada prasarana umum, pendidikan, kesehatan dan energi terbarukan. \"Saya tahu seberapa tidak populernya (kebijakan ini) sekarang karena dianggap membantu bank,\" katanya. \"Saya bermaksud membuat bank-bank ini bertanggung jawab penuh atas bantuan yang mereka terima. Saat ini, para pimpinan tidak dapat menggunakan uang pembayar pajak untuk gaji mereka, membeli barang mewah atau menghilang dengan menggunakan pesawat pribadi. Masa-masa itu sudah berakhir.\" Perjalanan Amerika untuk menjadi sembuh berlangsung lama: pada masa sepuluh tahun sampai 2017, hampir 7,8 juta rumah hilang karena diambil alih, menurut perusahaan data Corelogic. Lebih dari 7,3 juta pekerjaan hilang dari bulan Januari 2008 sampai Februari 2010, ketika tingkat pengangguran berada di kisaran 10%. Dorongan fiskal meningkatkan defisit anggaran federal menjadi hampir 12% dari PDB pada tahun 2009, menurut IMF, tetapi kemudian turun menjadi 2,5% dari PDB di 2015. Pengangguran juga kembali ke tingkat sebelum krisis. Di tahun 2012, Obama mengatakan pemerintah telah mengembalikan \"semua dana \" yang digunakan untuk membantu bank. Badan penegakan hukum khusus yang didirikan untuk menangani badan keuangan menyatakan 251 orang telah dibui - termasuk 59 bankir - tetapi tidak satu pun pimpinan perusahaan Wall Street dipenjara. Ekonomi Cina melambatEkonomi AS masih \'tidak pasti\'KTT Uni Eropa bahas krisis ekonomiHak atas fotoAFPImage captionSejumlah negara Eropa mengikuti jejak AS, mengumumkan dana penstabilan bank. Uni Eropa Sama seperti di AS, pemerintahan di Eropa mengumumkan sejumlah paket penyelamatan pada bulan Oktober 2008 senilai hampir US$700 miliar atau Rp10.368 triliun di Inggris dan lebih dari US$2,5 triliun atau Rp37 ribu triliun di eurozone. Di tahun berikutnya, EU mengumumkan rencana perbaikan lewat langkah stimulus sebesar lebih dari 1,5% PDB kelompok tersebut. Pengaruh negatifnya, ditambah dengan langkah penyelamatan yang mahal, membuat semakin rumit keadaan negara-negara eurozone yang tingkat utangnya memang sebenarnya sudah tidak berkelanjutan, seperti di Yunani, Irlandia, Portugal, Italia, Spanyol dan Siprus. Sebagai imbalan dukungan keuangan, pemerintah di negara-negara itu (kecuali Italia) harus menerapkan langkah pengetatan yang tidak disukai banyak pihak. Ketegangan meningkat terutama di Yunani, dimana terjadi bentrokan yang diwarnai kekerasan saat unjuk rasa anti-pengetatan, sementara tingkat pengangguran generasi muda menjadi 60%. Meskipun hampir menghancurkan Uni Eropa, Yunani tetap dapat mempertahankan stabilitas politik dan bulan lalu menjadi negara eurozone terakhir yang keluar dari keadaan bahaya. IMF menyatakan sektor perbankan eurozone tetap lemah dan memperkirakan pertumbuhan akan melemah secara bertahap di kawasan dalam beberapa tahun ke depan. Cina Bagi ekonomi Cina yang bergantung kepada ekspor, penurunan permintaan dunia berarti risiko perlambatan di masa depan. Karena itulah pemerintah mengumumkan paket stimulus senilai US$585 miliar atau Rp8.665 triliun -sama dengan 12% PDB di tahun 2008 - yang bertujuan untuk meningkatkan proyek prasarana umum, disamping perluasan moneter guna menggenjot konsumsi swasta. Di antara tahun 2007 dan 2014, Cina berhasil mengendalikan perubahan ekonomi, ketika tingkat pertumbuhan turun dari 14% menjadi 7%. Di sisi lain, dengan utang yang melonjak menjadi lebih 250% PDB, beberapa pengamat dan organisasi memperingatkan negara itu akan berisiko negatif terhadap keuangan ekonomi dunia. Bank Cina lebih besar dan menguntungkan dibandingkan saingannya di Barat, menurut bank data The Banker. Di tahun 2008, hanya dua bank Cina yang berada di peringkat 10 atas, dan tidak satupun di posisi terakhir, kata The Banker. Tetapi di tahun 2018, empat peringkat teratas didominasi Cina.Era Krisis Ekonomi Gelombang Kejut Dunia, Bagaimana Indonesia?
Senin 17-09-2018,08:49 WIB
Editor : Dian Arief Setiawan
Kategori :