Pekerjaannya tampak sederhana. Tapi di tangannya, tergenggam nyawa ribuan penumpang kereta api dan pengguna jalan. Lengah sedikit bisa fatal. Itulah tugas penjaga palang pintu perlintasan kereta api. Salah satunya, Triyoga Sanjaya. NURHIDAYAT, Cirebon BUNYI sirine tanda kereta akan lewat menggema di ruangan berukuran 2x3 meter itu. Seorang petugas di dalamnya tampak cekatan. Ia sigap memencet beberapa tombol, lalu keluar pos memastikan pintu perlintasan kereta api sudah tertutup sempurna. Tidak lupa ia menyapa awak kereta api yang melintas. Kemudian memastikan lampu berwarna merah di belakang kereta berfungsi optimal. Itulah rutinitas Triyoga Sanjaya (26). Sejak 6 tahun terakhir ia menjadi petugas penjaga palang pintu perlintasan kereta api. Menjadi penentu keselamatan perjalanan kereta api, sekaligus pengguna jalan. Setiap hari, selama 8 jam, bersama 3 orang rekannya, secara bergantian mereka membuka tutup palang pintu perlintasan kereta api di Jl Slamet Riadi, Kecamatan Kejaksan, Kota Cirebon. Tak peduli panas terik, hujan lebat, tanggungjawab besar harus tetap dilaksanakan. Wajib fokus. Sebab, lengah sedikit bisa fatal akibatnya. Ketika Radar menemui pria asal Desa Sukajati, Haurgeulis, Kabupaten Indramayu itu, kesibukan di dalam pos tengah memuncak. Hampir tiap tiga meni, kereta lewat dan palang pintu harus tertutup. Sesegera mungkin, setelah sinyal yang dikirimkan petugas di Stasiun Cirebon tiba ditandai dengan bunyi sirine. Sangat keras. “Jam 11 sampe jam 12 (siang, red) itu lagi sibuk-sibuknya. Tiap 5 menit ada kereta lewat,” ujarnya. “Baru kalau sudah jam 12.10 WIB kereta agak sepi, sekitar 15 menit baru datang,” tambah alumnus SMK Muhammadiyah Haurgeulis itu. Menjadi pegawai kereta api, diakuinya merupakan keinginan yang lama. Tepatnya saat masih duduk di bangku SMP. Saat itu, ia ingin mengikuti jejak sang ayah yang juga pegawai di perusahaan jasa transportasi itu. “Saya dari sekolah dulu, memang cita-citanya menjadi pegawai di PT KAI, seperti bapak saya. Kebetulan dari atasan saya ditugaskan di sini (penjaga palang pintu perlintasan, red),” ujarnya. Kini, 6 tahun sudah pria kelahiran 7 Oktober 1992 itu menjadi ‘pemegang’ nyawa ribuan penumpang kereta api dan pengguna jalan. “Permisi ya Pak, saya pencet tombol ini dulu,” katanya, di tengah pembicaraan. Maklum, wawancara dilakukan sekitar pukul 11.15. Saat intensitas perjalanan kereta sedang padat. Saat wawancara, ia berulang kali mengangkat telepon. Berulang kali pula jeda untuk menjalankan tugasnya. Ia kemudian memencet tombol ACK. Tombol itulah yang mengirimkan sinyal tanda kereta hendak lewat. Ia pencet, sekaligus mengirimkan sinyal balasan. Artinya, kereta boleh melintas. Setelah itu, ia nyalakan tombol untuk bunyi sirine di jalan raya. Setelah dirasa cukup aman, perlahan palang pintu perlintasan ditutup perlahan. Tak jarang ia menghentikan sebentar penurunan palang pintu ketika ada pengendara yang nekat meneronbos. Ia rem sambil menghela napas panjang. “Pintu perlintasan tertutup sempurna,” ucapnya sambil menunjuk kedua sisi lajur jalan raya yang telah tertutup palang pintu. Tak lama kereta melintas. Ia kemudian menyapa awak kereta api dan menunjukkan Semboyan 21. Yakni menunjuk tanda atau lampu berwarna merah pada kedua sisi kanan dan kiri pada akhir rangkaian kereta api. “Itu memang SOP-nya. Jadi walaupun tidak ada orang, kita tetap mengucapkan semboyan-semboyan tadi. Karena kalau tidak diucapkan, khawatir kita lalai,” terang suami dari Septiani Nugraha itu. Seperti saat dua tahun lalu, ketika seorang pengendara mobil mendatangi pos tempat ia bekerja. Penyebabnya, palang pintu perlintasan mengenai kaca mobil yang mereka tumpangi. Ia dituntut bertanggungjawab. Si pemilik mobil memintanya mengganti rugi atas kerusakan mobilnya. “Padahal dia yang salah. Jadi waktu itu, kondisi lalu lintas lagi macet. Nah, sirine sudah dibunyikan. Tetapi, orang itu nekat menerobos. Karena kereta sudah dekat, makanya saya tutup langsung. Nggak taunya mengenai kaca belakang mobilnya,” kenangnya. Sempat terjadi adu mulut di antara pengendara mobil dan dirinya. Tidak menemukan titik temu, perdebatan pun berlanjut di kantor Stasiun Cirebon. Di situ, ia kembali disalahkan. Tidak ada kompromi. Harus ganti rugi. “Akhirnya kita ngalah ganti rugi, padahal dia yang salah. Tapi ya sudahlah. Itu yang sampai sekarang masih susah dilupakan dan bikin saya jengkel,” jelas bapak satu anak itu, lalu tersenyum. Meski begitu, ia tetap memegang prinsip, tidak boleh marah saat bertugas. Apapun kondisinya. Meskipun dia melihat para pengguna jalan nekat menerobos saat pintu sudah tertutup. Memang, kesadaran tertib berlalu lintas masih minim di negeri ini. Ia pun menyadari itu. “Kalau masih jauh keretanya, kita biarkan saja, tapi kalau sudah dekat ya kita peringatkan dengan peluit. Kita kasih tau baik-baik. Nggak boleh jengkel,” tegasnya. Kini, ia tengah menunggu janji dari perusahaan. Yakni janji akan mengangkatnya sebagai pegawai tetap jika sudah bekerja selama 5 tahun. Apalagi kini ia sudah 6 tahun menjadi bagian dari PT KAI. Janji lainnya yang ia tunggu adalah kepastian tunjangan sebesar Rp500 ribu yang akan dibayarkan setiap bulan di tahun ke 6 waktu kerja. “Kalau saya pasrah saja. Bersyukur sudah bisa bekerja seperti ini,” tandasnya, lalu tertawa. (*/habis)
Triyoga Sanjaya Pernah Diamuk Pemilik Mobil dan Bayar Ganti Rugi
Kamis 11-10-2018,11:00 WIB
Editor : Dedi Haryadi
Kategori :