OTT-OTT-an

Senin 29-10-2018,20:32 WIB
Reporter : Husain Ali
Editor : Husain Ali

OPERASI Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selalu mengingatkan saya pada pertengahan abad 19 di Amerika. Negara adidaya yang sejak era Bush Junior telah memporak-porandakan sejumlah kawasan di Timur Tengah itu—juga dalam setengah abad terakhir berhasil mengeruk kekayaan bumi Indonesia, pernah digawatkan oleh candu opium. Setiap saat ada yang sekarat. Setiap hari ada yang mati bunuh diri. Solusi pertama: para pecandu opium diberi zat pengganti yang dianggap berkadar lebih rendah dan tidak adiktif. Obat itu bernama morfin. Sayangnya, morfin kemudian  menjadi problem adiktif lebih besar dari opium. Solusi kedua: menjejali para pecandu morfin dengan obat lainnya yang dianggap lebih aman. Obat itu bernama heroin. Sialnya, candu heroin terbukti lebih mematikan dari morfin. Hari itu, percayalah, Abraham Lincoln tak hanya dipusingkan oleh perang saudara dan perbudakan yang merajalela. Sampai saat di tahun 1947 methadone dari Jerman diekspor ke Amerika. Namun tak putus dirundung malang, metadhone yang telah digunakan luas untuk menyembuhkan kecanduan heroin, menjadi jenis narkoba baru yang lebih nyandu dari heroin. Hingga dalam rentang satu setengah abad, angka kematian pecandu di Amerika mencapai dua puluh kali lipat dari jumlah populasi di sana. Konstelasi sistem politik Indonesia atas korupsi, serupa itu. Saat one man one vote publik menggantikan otoritas parlemen dalam menentukan pimpinan eksekutif, kemungkinan politik uang yang sebelumnya hanya terjadi di sekotak ruang justru jadi merata di tiap lapisan. Konsultan politik, survei, mahar, kampanye, saksi TPS, kompensasi timses dan relawan, serangan fajar, juga barangkali dana cadangan jika kelak terjadi sengketa di MK, semua biaya tak akan tertebus oleh akumulasi gaji. Jangankan satu periode, gaji seumur hidup jadi bupati pun belum tentu menutupi. Kita tahu, korupsi dari hal-hal terbaik, sebagaimana David Hume dalam The Natural History of Religion, akan menimbulkan yang terburuk. Tapi, dengan cara apa para pemenang kontestasi tidak korupsi? Di atas kertas, etos dan sistem kontestasi meniscayakan para pelakunya menjadi pencuri. Itulah mengapa saya tidak begitu tertarik dengan OTT-OTT KPK. Semua sudah 2+2=4. Jika ada sedikit drama paling jadi 1+3=4, atau 6-2=4. Lebih njlimet dari itu bisa √16=4. Sedikit lebih njlimet lagi 2x(cos(0)-cos(π) yang juga hasilnya adalah 4. Terlebih OTT KPK umumnya hanya menyangkut korupsi kelas teri. Bukankah kita juga sama-sama tahu bahwa sepanjang pasca reformasi, ada banyak mega korupsi yang seolah KPK enggan menyentuhnya? Dana talangan bank Century (kerugian negara Rp 7,4 triliun), BLBI (Rp 4,58 triliun), reklamasi teluk Jakarta, Sumber Waras—untuk sekadar menyebut beberapa, semua adem ayem. Bahkan KPK tampak cuek-bebek dengan rilis BPK tentang PT Freeport Indonesia yang telah merugikan negara hingga Rp 185 triliun itu. Bukankah BPK adalah lembaga sah negara yang berhak menentukan kerugian negara dan selama ini menjadi dasar tuntutan Jaksa? Bukankah BPK dan KPK mestinya seiring sejalan, saling sinergi, saling mengisi? Alih-alih begitu, kita lihat BPK dan KPK malah berseteru. Akhirnya, OTT-OTT KPK tak cukup menjadi pelipur lara. Semua serba basi dan terkesan guyonan. Hanya karena aksi KPK digelar di kampung sendiri lah saya sekali ini menyimak berita-berita OTT. Dan selamat, Sunjaya tepat menjadi yang ke-100 setelah 99 nama kepala daerah yang diciduk KPK. Ia ternyata tak belajar apa-apa. Ia tak belajar dari 99 nama sebelumnya. Ia juga tidak pernah berpikir—sebagaimana Budayawan Sujiwo Tejo, misalnya, pada 99 nama Tuhannya yang kini masih terpancang di sebagian badan jalan pantura, siapa saja bisa menjadi yang ke-100 di sana. Namun bukan sebagai koruptor, melainkan serupa pantulan atas segala yang bisa diidentifikasi sebagai keindahan Tuhan. Sebab operasi berlangsung di kampung sendiri, saya pun membaca berita-berita. Saya mendapati banyak kalangan merasa lega. Tapi di antara gegap-gempita dan sukacita massa, boleh jadi yang diam-diam paling bahagia adalah wakilnya: ia yang hanya bercita-cita jadi wakil bupati, ternyata malah bakal jadi bupati.

Tags :
Kategori :

Terkait