Melobi Tarif Cukai Tembakau

Minggu 18-11-2018,21:10 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

Rapat kabinet beruntun digelar di Istana Bogor, Jumat tiga pekan lalu. Dimulai pada pukul 08.30 Waktu Indonesia Barat, rapat membahas penganggaran dana desa dan dana kelurahan dipimpin Presiden Joko Widodo. Satu jam berikutnya, topik rapat beralih ke tarif cukai hasil tembakau. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mendapat kesempatan pertama menyampaikan presentasi, disusul paparan Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto.

Seorang pejabat yang mengetahui pertemuan tersebut bercerita, Kementerian Keuangan mengusulkan kenaikan tarif cukai rokok pada tahun depan. “Kenaikannya cukup signifikan,” ujarnya, Kamis pekan lalu. Ia menyebutkan besaran perubahan tarif bermacam-macam berdasarkan jenis dan jumlah produksi rokok. “Yang paling rendah di bawah 10 persen dan tertinggi 30-40 persen.”

Alasan kenaikan tidak semata mengejar pendapatan negara, tapi lebih pada pengendalian konsumsi. Kementerian Kesehatan sepakat dengan prinsip pengendalian untuk menekan dampak negatif penggunaan produk tembakau oleh masyarakat.

Baca: PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA B-Pro NOMOR 146/PMK.010/2017 TENTANG TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU

Adapun Menteri Airlangga memaparkan kondisi industri rokok yang belakangan mengalami penurunan. Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Bahan Penyegar Direktorat Jenderal Industri Agro Abdul Rochim menjelaskan, total produksi rokok pada 2014 sebanyak 351,67 miliar batang. Jumlah itu terus menyusut hingga menjadi 336,2 miliar pada 2017. Demikian pula perusahaan yang mampu bertahan: dari sekitar 700 pada 2014 menjadi 490 per 2017.

Menurut Rochim, salah satu penyebabnya adalah tarif cukai yang tinggi membuat harga rokok terkerek naik. “Hampir setiap tahun cukai industri hasil tembakau naik rata-rata dua kali dari inflasi,” ucapnya. -Rochim mengatakan masalah lain yang juga mempengaruhi penurunan sektor rokok adalah aturan tentang pembatasan rokok. Regulasi tersebut tidak hanya berlaku di kota-kota, tapi telah masuk ke daerah-daerah.

Karena itu, Kementerian Perindustrian mengusulkan agar rencana kenaikan tarif cukai rokok pada tahun depan ditunda. “Ada banyak pertimbangan dari sisi industri, rantai pasokan, dan lain-lain. Kita harus melihat secara keseluruhan bahwa industri ini menurun,” kata Airlangga di sela acara Tempo Economic Briefing “Meningkatkan Daya Saing Indonesia dengan Revolusi Industri 4.0” di The Ritz-Carlton, Jakarta, Kamis pekan lalu.

Baca: Tarif Cukai Tembakau yang Mulai Berlaku 1 Januari 2017

Setelah paparan itu, draf usul revisi tarif cukai rokok yang telah disusun matang oleh Kementerian Keuangan sejak setahun lalu rontok. Rapat kabinet memutuskan rencana kenaikan tarif cukai produk hasil tembakau batal. “Mendengar seluruh evaluasi dan masukan dari sidang kabinet, kami memutuskan cukai tahun 2019 tidak akan berubah,” tutur Sri Mulyani seusai rapat.

Keputusan itu, Sri Mulyani melanjutkan, dibuat setelah dia berkonsultasi dengan Presiden Jokowi dan jajaran Kabinet Kerja. Dengan demikian, tarif cukai hasil tembakau yang berlaku tahun depan sama dengan yang diterapkan saat ini.

Padahal Direktur Jenderal Bea dan Cukai Heru Pambudi hingga bulan lalu masih optimistis regulasi tarif baru cukai rokok akan terbit pada Oktober. Ia mengatakan lembaganya intens berkomunikasi dengan Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian, serta pemerhati lingkungan, kesehatan, dan pertanian.

Lembaga Bahtsul Masail—semacam komisi fatwa di bawah naungan Nahdlatul Ulama—tiba-tiba menggelar diskusi mengenai kebijakan tarif cukai rokok, 11 Oktober lalu. Sejumlah pemimpin lembaga yang membuat kebijakan di sektor ini diundang menjadi pembicara. Di antaranya Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian, serta Direktorat Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian.

Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail Sarmidi Husna menjelaskan, institusinya mengadakan kajian sebelum mengeluarkan rekomendasi mengenai aturan cukai rokok. Ia mengaku ada sejumlah pihak yang “curhat” tentang regulasi cukai produk tembakau. “Kami punya tamu beberapa kalangan yang minta PBNU mengkaji hal itu. Maka kami melakukan kajian bulan lalu,” ujarnya. Ia tak bersedia mengungkap “tamu” yang dimaksudkan dan hanya tersenyum saat ditanyai apakah tamu tersebut berasal dari kalangan industri rokok. 

Regulasi yang dikeluhkan adalah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 146/PMK.010/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. Aturan itu antara lain memuat peta jalan penyederhanaan kelompok tarif cukai. Saat ini terdapat 10 golongan tarif. Pemerintah berencana meringkasnya menjadi 8 kelompok pada 2019, 6 kelompok pada 2020, dan 5 kelompok pada 2021.

Dari penyederhanaan itu, beberapa kelompok tarif akan digabungkan menjadi satu. Artinya, ada segmen yang selama ini membayar tarif cukai lebih rendah yang naik ke kelas tarif di atasnya. Peneliti dari Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Indonesia, Abdillah Ahsan, menyebutkan penyederhanaan struktur tarif itu bertujuan mempersempit gap antara harga rokok yang mahal dan murah. Ia malah mengusulkan penyederhanaan menjadi dua atau tiga kelompok saja, bukan lima seperti yang dirancang pemerintah.

Sarmidi menambahkan, diskusi dengan para pemangku kepentingan dan pakar digelar karena lembaganya tidak memiliki data mengenai hal itu. Berdasarkan kajian, ia menjelaskan, bila tarif cukai rokok dinaikkan, akan timbul sederet dampak buruk, antara lain terhadap industri rokok kretek tangan, tenaga kerja di industri rokok kretek tangan, dan petani tembakau. Ia mengatakan mayoritas pekerja industri rokok kretek tangan dan petani tembakau adalah warga NU. “Mana ada petani tembakau di Madura yang bukan NU, buruh di pabrik-pabrik rokok di Malang yang bukan NU. Setidaknya 90 persen NU.”

Ia menyebutkan jumlah pekerja di sektor tembakau lebih dari 6 juta orang. Karena itu, dia melanjutkan, NU berkepentingan mendorong regulasi agar memperhatikan dampak sosial yang berpotensi muncul. Ia menilai kenaikan tarif cukai akan menutup peluang hidup industri hasil tembakau. “Apalagi beban pajak, termasuk pajak rokok dan PPN hasil tembakau, sudah mencapai 60 persen dari harga rokok,” kata Sarmidi.

BERBEDA dengan Lembaga Bahtsul Masail, yang baru mengkaji ketentuan cukai rokok pada Oktober lalu, Kementerian Keuangan telah membahasnya sejak tahun lalu. Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan merancangnya dengan mengundang berbagai kementerian dan lembaga terkait serta para pemangku kepentingan, seperti pelaku industri rokok.

Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Muhaimin Moefti mengaku tiga kali diundang rapat oleh BKF, yakni pada 23 April, 9 Juli, dan 17 Oktober 2018. Dalam pertemuan-pertemuan itu, ia memaparkan kondisi industri rokok, terutama rokok putih, yang sedang lesu. Pangsa pasar rokok jenis ini yang sebesar 40 persen ketika berjaya pada era 1980-an kini tersisa 6-7 persen saja. “Image bahwa rokok putih lebih ’sehat’ tak bisa dijual lagi sekarang,” ujarnya.

Muhaimin mengatakan pertemuan berlangsung kondusif. Ia mengapresiasi BKF, yang mau mendengar keluhan industri sebelum merumuskan kebijakan. Secara prinsip, kata dia, Gaprindo bisa menerima rencana kenaikan tarif itu asalkan tidak terlalu tinggi, yakni sekitar angka inflasi.

Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Heru Pambudi juga mengundang berbagai institusi untuk merumuskan tarif cukai rokok pada 23 Juli lalu. Ia meyakinkan pemerintah akan mempertimbangkan semua kepentingan, termasuk dari aspek kesehatan dan industri tembakau serta petani.

Ia menjelaskan, kenaikan tarif cukai adalah salah satu upaya mengendalikan konsumsi produk hasil tembakau. Upaya lain adalah menyederhanakan struktur tarif. Ia meyakinkan peta jalan tentang simplifikasi strata tarif akan sangat membantu upaya memerangi peredaran rokok ilegal.

Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) punya pendapat berbeda. Ketua Gappri Ismanu Soemiran tak menampik kabar bahwa asosiasinya melakukan lobi-lobi untuk menahan rencana kenaikan cukai rokok. Ia mengatakan asosiasi melayangkan surat kepada Menteri Keuangan pada 23 April lalu yang berisi usul kebijakan tarif cukai hasil tembakau 2019. Lembaga ini juga menyurati Presiden Joko Widodo pada 22 Oktober lalu untuk menerangkan bahwa rencana kebijakan cukai hasil tembakau membuat gelisah industri kretek. Saat ini, rokok kretek menguasai pangsa pasar Tanah Air, menggusur dominasi rokok putih. “Tahun lalu, tahun ini, dan tahun depan produksi bisa turun karena ekonomi sedang lesu,” ucapnya, awal November lalu.

Sarmidi Husna tak membenarkan sekaligus tak menampik informasi bahwa “tamu” yang merapat ke Lembaga Bahtsul Masail adalah Gappri. Yang jelas, pada 17 Oktober lalu Gappri dan Bahtsul Masail datang ke Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) untuk membicarakan hal yang sama. Dalam pertemuan yang dipimpin Ketua Wantimpres Sri Adiningsih itu, perwakilan dari Kementerian Keuangan, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Pertanian juga hadir. “Kami mengusulkan ke Wantimpres dan mengirim surat ke Kemenkeu supaya pelaksanaan PMK ditunda,” kata Sarmidi.

Dalam pertemuan di kantor Wantimpres, Sarmidi bercerita, pemerintah terbelah. Kementerian Keuangan satu kubu dengan Kementerian Koordinator Perekonomian. Adapun Kementerian Perindustrian sepaham dengan Kementerian Pertanian, yakni mendukung kenaikan cukai ditunda. Diskusi tidak menghasilkan kesimpulan. “Wantimpres bilang ini semua ditampung, nanti akan disampaikan kepada Presiden.”

Anggota Wantimpres, Sidarto Danusubroto, membenarkan ada pertemuan itu. Tapi ia menolak menjelaskan materi rapat. Ia juga menampik kabar bahwa pertemuan itu adalah lobi-lobi industri kepada pemerintah, apalagi ke Istana. “Kami tidak mencampuri kewenangan mereka (para pengambil kebijakan),” ujarnya, Kamis pekan lalu.

Menurut Wakil Presiden Jusuf Kalla, pembatalan rencana kenaikan tarif cukai rokok 2019 diputuskan untuk menjaga stabilitas menjelang pemilihan umum. Kebijakan seperti ini, kata Kalla, lazim diambil pemerintah, siapa pun pemimpinnya. Pemerintah biasanya tidak akan menaikkan harga komoditas seperti bahan bakar minyak dan listrik atau pajak dalam enam bulan menjelang pemilu. “Demi stabilitas dan supaya masyarakat jangan ribut,” ujarnya. (*)

Tags :
Kategori :

Terkait