DPR RI Segera Panggil Ketua MA, Bahas soal Korupsi dan RUU Jabatan Hakim

Sabtu 01-12-2018,14:30 WIB
Reporter : Dedi Haryadi
Editor : Dedi Haryadi

JAKARTA-Ditangkapnya hakim, panitera, pegawai Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan dan pengacara oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lewat Operasi Tangkap Tangan (OTT) atas tindakan suap kasus perdata pada, Selasa (27/11) malam menghebohkan publik. Pasalnya, enam orang yang ditangkap adalah aparat penegak keadilan di bangsa ini. Dengan ditangkapnya hakim, panitera dan pegawai pengadilan ini mamaksa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mempercepat pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) terkait jabatan hakim. Pasalnya, pengusulan RUU jabatan hakim hingga kini belum dibahas dalam sidang paripurna. Ketua DPRRI Bambang Soesatyo mengaku, pesimis terkait pembahasan RUU jabatan hakim akan diselesai dalam waktu dekat. Karena masa sidang nanti sangat pendek. Meski begitu, Bambang Soesatyo mengaku, RUU jabatan hakim ini akan diselesaikan dalam tahun ini. “Jadi UU soal jabatan hakim sedang dibahas di Komisi III DPRRI. Sebenarnya dengan Ketua Komisi III sudah ada pembicaraan untuk segera menyelesaikan pembahasan UU jabatan hakim itu sekurang-kurangnya sebelum masa jabatan berakhir sudah selesai. Tapi kalau masa sidang ini kan pendek sekali, jadi saya pesimis bisa selesai sidang ini, tapi masa sidang depan saya yakin UU jabatan hakim bisa selesai, sekaligus juga UU kewirausahaan,” kata politisi yang akrab disapa Bamsoet ini. Dikatakan politisi Partai Golkar itu, RUU jabatan hakim tidak menjadi jaminan sikap korupsi akan hilang, karena hal-hal itu lebih pada perilaku individu. Lebih lanjut, dikatakan Ketua DPR, Komisi III dalam waktu dekat akan memanggil Ketua Mahkamah Agung (MA) Hatta Ali untuk mencari jalan keluar atas masalah korupsi di tubuh institusi Pengadilan. “Sebetulnya tergantung perilaku indivudu masing-masing. Ini kan soal perilaku individu jadi tidak bisa juga digeneralisasi terhadap hakim-hakim yang banyak, tergantung amal perbuatan juga. Nanti kita serahkan ke Komisi III untuk lakukan rapat konsultasi dengab MA guna cari solusi terhadap para hakim nakal yang kena OTT. Itu kan tentu jadi wajah perwakilan kita,” ucapnya. Dalam kasus suap yang melibatkan hakim, panitera, pegawai pengadilan dan pengacara ini disarankan melibatkan Komisi Yudisial (KY) untuk menindak dan mengurangi hakim-hakim yang melakukan perbuatan tidak terpuji itu. “Justru DPR mendorong KY berperan dalam mengurangi hal-hal yang lakukan hakim atau perbuatan tidak terpuji. Menurut saya apa yang sudah dilakukan negara pada KY kewenangannya cukup bagus, tinggal KY-nya yang harus terus menerus melaksanakan tugas-tugas pokoknya, lakukan pendampingan dan pengawasan,” jelas Ketua DPR. Menurut mantan Ketua Komisi III DPR RI itu, untuk mengurangi tindakan suap dan korupsi di bangsa ini, setiap pimpinan lembaga punya jiwa kenegaraan, agar perilaku-perilaku tidak terpuji hilang di Indonesia. “Seharusnya masing-masing pimpinan lembaga punya jiwa negarawan. Sehingga paham posisi dan tugasnya untuk bagaimana menyelamatkan masa depan bangsa jadi lebih baik,” tegasnya. Berbeda dengan Ketua DPR, Anggota Komisi III DPRRI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Nasir Djamil menyalahkan KPK terkait maraknya kasus korupsi dan suap di bangsa ini. KPK, kata Nasir Djamil, sudah seharusnya melempar handuk tanda menyerah, dan meminta Presiden membuat Peraturan Pemerintah (Perppu). Lanjut Nasir Djamil, jelang Pilpres 2019 ini, setiap calon presiden siapkan strategi dalam 100 hari pertama untuk memberantas korupsi. “Jadi gini ya, KPK sudah salah jalan, KPK itu sudah salah langkah, sebaiknya dan sekarang KPK sudah lempar handuk dengan mengatakan minta Presiden bikin Perppu. Sebenarnya KPK itu sudah menyerah. Makanya ada dua langkah menurut saya, kalau bisa dua capres ini siapkan strategi dalam 100 hari pertam. Yaitu bagaimana strategi pemberantasan korupsi, 100 hari pertama waktu mereka berkuasa dan dilantik 20 Oktober 2019 dan di tahun ini sudah disiapin,” kata Nasir Djamil. “Nah bagi Pak Jokowi karena permintaan yang sekarang. Kalau saya Perppu mau dibuat oleh Pak Jokowi, buatlah Perppu yang mengintegrasikan banyak lembaga ke dalam satu payung. Kalau saya stateginya gitu. Jadi KPK, komnas HAM, Ombudsman, LPSK, itu di Komnas Perempuan dan anak-anak digabung dalam satu menjadi lembaga,” tambahnya. Menurut politisi asal Aceh ini, cara OTT yang sering dilakukan oleh KPK adalah bagian dari sikap frustasi terhadap maraknya korupsi dan suap. Untuk itu, sudah saatnya Presiden mengeluarkan Perppu. “Karena sekarang KPK-nya minta Perppu aja, karena kalau cara-cara OTT gitu, cara-cara yang sebenarnya menunjukkan KPK frustasi, masak Ketua KPK bilang kalau KPK mau, bisa OTT setiap hari. Kalau KPK dikasih aparat lebih banyak dia bisa OTT setiap hari, itu kan frustasi,” ujarnya. (rba/fin)

Tags :
Kategori :

Terkait