Aduan Kekerasan Anak melalui Call Center 112 Naik

Jumat 14-12-2018,13:30 WIB
Reporter : Dedi Haryadi
Editor : Dedi Haryadi

CIREBON–Kekerasan terhadap anak seperti fenomena gunung es. Yang terlihat hanya puncaknya. Tetapi masalah sesungguhnya, susah terdeteksi. Karena faktor kurangnya kesadaran melapor. Juga keterbatasan dalam aspek penanganan. Indikasi ini juga terlihat dalam jumlah kasus kekerasan pada anak. Sebelum ada layanan pengaduan call center 112, tercatat hanya 27 kasus. Itu adalah angka yang ditangani Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Dinsos-P3A). Untuk tahun ini, terhitung sampai pekan pertama Desember, sudah 35 kasus. Pekerja Sosial Perlindungan Anak, Siti Fatimah AKS tidak menampik angka kekerasan anak naik karena adanya faktor pengaduan. Sementara diyakini, secara kuantitas relatif tetap. “Ini sekarang ada 112 atau 119. Jadi masyarakat cepat lapor,” ujar Siti kepada Radar Cirebon. Setelah ada call center 112, banyak yang berani melaporkan. Unit reaksi cepat ini menjadi pembeda. Dulu, kata Siti, kasus kekerasan anak tertutup karena banyak yang tidak berani melaporkan. Sekarang, banyak media untuk melaporkan. Banyak saluran yang bisa dimanfaatkan. Sehingga masyarakat jadi lebih berani. Implikasinya, angka kekerasan pada anak terkesan naik. Dari 35 kasus yang ditangani, 70 persennya adalah kekerasan seksual. Dengan pelakunya orang-orang terdekat dari anak. Selebihnya kasus kekerasan fisik, dan psikologis, baik berupa pemukulan maupun perkataan kasar. Kasus ini sudah ditangani baik di tingkatan penyidikan, pengadilan, proses diversi atau musyawarah, hingga ke pendampingan. Ada juga anak yang terlibat kasus hukum. Hal itu juga menjadi bagian dari pendampingan baik hukum, maupun mental. Terkait penyelesaian anak yang bermasalah dengan hukum ini, sebetulnya sudah ada Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Untuk kasus yang tuntutan hukumannya kurang dari tujuh tahun, hukumannya bisa dialihkan dari kurungan.  Penyelesaiannya dengan restoratif justice. Yakni pengalihan pengadilan ke musyawarah. “Diversi ini yang kita dorong, baik di tingkat kepolisian, kejaksaan maupun pengadlian,” jelasnya. Bagaimana pun, kata Siti, anak bermasalah dengan hukum tidak boleh dipenjarakan seperti orang dewasa. Anak harus diutamakan mendapatkan pembinaan yang lebih baik. DIDOMINASI USIA SD DAN SMP Kekerasan seksual terhadap anak, menjadi keprihatinan banyak pihak. Jumlah korbannya, tidak bisa dibilang sedikit. Pusat Pelayanan Terpadu (PTT) Rumah Sakit Daerah (RSD) Gunung Jati, sudah menangani sedikitnya 124 kasus. Yang paling kecil, usianya 2,5 tahun. Psikolog Klinis RSD Gunung Jati Srini Piyanti Psi menyebutkan, usia rentan kekerasan ada di rentang 0-18 tahun. Dari yang ditangani, korban kekerasan didominasi usia sekolah SD dan SMP. Sri yang juga menjabat Koordinator Advokasi dan Pendampingan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) menjelaskan, melihat tingginya jumlah kekerasan anak, klinik khusus didirikan. Sekaligus melengkapi pusat kegiatan terpadu yang didirikan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Fasilitas ini menyediakan pelayanan bagi masyarakat terutama perempuan dan anak korban tindak kekerasan. “Pasien bisa leluasa konsultasi. Mereka aman, karena tidak bersinggungan langsung dengan masyarakat umum,” katanya. Pelayanan P2TP2A sendiri diberikan pada masyarakat secara gratis. Alur pelayananya korban datang ke Instalasi Gawat Darurat (IGD), kemudian kasus akan dipilah dalam skala kritis atau nonkritis. Bila dinyatakan kritis, korban atau pasien akan dirawat inap. Adapun kasus nonkritis dilanjutkan dengan pemeriksaan psikologi secara terjadwal. “Kalau pasien atau korban sudah membawa surat visum biasanya akan langsung ditangani,” tuturnya. Dalam pemeriksaan psikologi ini, P2TP2A tidak memberikan akses pada pengunjung atau pada pasien lain, sehingga pasien merasa aman. Dari mulai medikoleghal visum, psiko sosial, dan bantuan hukum semua dilakukan dalam penanganan pasien tanpa biaya sepeser pun. Usai penanganan tersebut, pendampingan pun terus dilakukan dalam ketentuannya pendampingan dilakukan selama 6 bulan. Namun pasien masih harus didampingi, pihaknya akan terus memberikan pendampingan sampai keadaan membaik. (jml/apr)

Tags :
Kategori :

Terkait