CIREBON - Pemerintah Kabupaten Cirebon diminta untuk menjelaskan dan menyosialisasikan rencana pengembangan kawasan industri di Kecamatan Losari. Termasuk meminimalisasi dampak negatif persoalan sosial dan lingkungan yang mungkin timbul akibat investasi tersebut. Hal itu disampaikan aktivis lingkungan Cirebon Timur, Rian Jaelani saat ditemui Radar Cirebon, Rabu (19/12). Menurutnya, selalu ada dua hal yang dibawa oleh investasi, yakni dampak baik dan dampak buruk. Namun yang seringkali digembar-gemborkan dari investasi adalah dampak positifnya saja. “Kalau investasi membawa dampak positif itu pasti. Saya sepakat. Tapi apakah tidak ada dampak buruknya, ini yang harus dijawab pemerintah. Sampaikan hasil kajiannya, sosialisasikan hasil kajian Bapelitbangda seperti apa? Ada naskah akademik pembandingnya juga seperti apa? Masyarakat sejatinya butuh penjelasan dan kepastian. Karena investasi semasif apapun, kalau dampak buruknya tidak diminimalisasi, akan berpengaruh buruk bagi kondisi sosial di wilayah tersebut,” ujarnya. Dikatakannya, ada beberapa hal yang sampai saat ini belum tersosialisasi dan tersampaikan dengan baik. Terkait berapa ribu hektare lahan tambak yang akan dialihfungsikan. Berapa kepala keluarga akan kehilangan mata pencaharian. Berapa persen tenaga kerja lokal yang akan terserap industri. Tingkat SDM seperti apa yang bisa terserap dan yang paling penting adalah bagaimana penanganan terhadap masyarakat yang tidak terserap industri. “Hal-hal seperti ini harus berani disampaikan. Bapelitbangda harus membuat seminar dan diskusi. Serta membeberkan naskah kajian akademiknya. Apakah maksud, tujuan dan hasil pengembangan kawasan Losari terhadap masyarakat sekitar khususnya dan umumnya di Cirebon?” imbuhnya. Sementara itu, proses rencana pengembangan Kawasan Industri Terpadu Cirebon (KITC) saat ini menuai polemik. Pro kontra muncul di masyarakat terkait rencana pengembangan kawasan tersebut. Tokoh masyarakat Tawangsari, Abdul Qodir saat ditemui Radar mengatakan, pro-kontra dalam masyarakat adalah hal biasa yang bisa muncul kapan saja. Terlebih, diakuinya sosialisasi yang dilakukan pemerintah masih kurang maksimal. “Saya lihat pro dan kontra adalah hal yang wajar. Mungkin karena sosialisasinya saja yang tidak sampai dan tidak mengena. Ini yang kemudian harus dilakukan oleh pemerintah dalam memberikan edukasi dan pengetahuan untuk masyarakat,” jelasnya. Namun demikian, dia menyayangkan suara-suara sumbang yang muncul terkait rencana pengembangan kawasan tersebut. Justru keluar dari pihak-pihak yang tidak mempunyai hubungan langsung seperti bukan pemilik lahan. “Saya ini salah satu pemilik lahan yang tanahnya dibeli. Tanah saya ada di Desa Tawangsari. Saya setuju tanah saya dibeli karena tanah saya dibeli di atas NJOP. Untuk NJOP di Tawangsari itu 10 ribu permeter. Tanah saya dibeli Rp20 ribu, itu sudah di atas NJOP. Yang sudah dibebaskan informasinya sebanyak 500 hektare,” paparnya. Ia pun kemudian meluruskan persepsi tentang ribuan lahan tambak yang hilang. Menurutnya, persepsi tersebut adalah persepsi keliru. Karena lahan tersebut tidak hilang dan hanya berganti atau dialihfungsikan sebagai kawasan industri. “Situasi saat ini harus kondusif. Apalagi, ini menjelang hajatan tahun politik. Sebentar lagi Pilpres dan Pileg akan dilaksanakan, jangan sampai karena perilaku oknum di tingkat desa kemudian mengganggu rencana pengembangan kawasan ini. Yang jelas, tak ada lahan tambak yang hilang, hanya dialihfungsikan saja,” ungkapnya. (dri)
Soal Pengembangan Kawasan Industri, Yang Menolak Orang Tidak Punya Lahan
Kamis 20-12-2018,11:31 WIB
Editor : Husain Ali
Kategori :