Serbuan Semen di Pulau Jawa Hingga Tersungkur Saat Ramai Proyek Infrastruktur

Jumat 21-12-2018,15:56 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

Kemandirian. Kata itu merupakan salah satu kunci program prioritas pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Dikemas dalam istilah Nawacita, poin ketujuh program tersebut adalah “mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik.” Kita tahu, sektor-sektor strategis pendukung pergerakan ekonomi domestik semestinya berada di bawah kendali dan tanggungjawab BUMN. Tak terkecuali industri semen. Pada 2015, seiring gencarnya pembangunan infrastruktur oleh pemerintah Jokowi-JK, 10 pemain baru di industri semen, baik dari kalangan asing maupun swasta nasional, bermunculan, antara lain Siam Cement (Thailand), Semen Merah Putih (Wilmar Group, Singapura), Anhui Conch Cement (Cina), Ultratech (India), Semen Puger (Indonesia), Semen Barru (Fajar Group, Indonesia), Semen Panasia (Pan Asia Group, Singapura), Jui Shin Indonesia (Cina), Semen Gombong (Medco Group, Indonesia), dan Semen Grobogan (Gajah Tunggal Group, Indonesia). Kemunculan para pemain baru itu memaksa para pemain lama seperti Indocement dan Holcim berbagi pasar di Indonesia. Potensi dan Pasar Semen Domestik Kapasitas produksi terpasang nasional tahun 2017 adalah 107,4 juta ton, sedangkan kebutuhannya sebesar 66,3 juta ton, sehingga terjadi kelebihan pasokan hampir 38 juta ton. Namun, itu tidak serta-merta membuat para pelaku bisnis semen mengerem aktivitas bisnis. Potensi pasar semen dalam negeri senantiasa terbuka. Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Panjang periode 2015-2019, pemerintah menargetkan pembangunan jalan baru sepanjang 2.650 KM, jalan tol 1.000 KM, dan pemeliharaan jalan sepanjang 46.770 KM. Pada industri penerbangan, pemerintah pun berencana membangun 15 bandara baru serta mengembangkan bandara untuk pelayanan kargo udara di 6 titik. Selain itu, Rencana Strategis Kementerian Perindustrian 2015-2019 mencatat: pemerintah menargetkan pembangunan 14 kawasan industri baru di luar Pulau Jawa serta pembangunan kawasan-kawasan industri di Wilayah Pusat Pertumbuhan Industri (WPPI). Dari sektor properti, pemerintah juga mendorong penyediaan perumahan bagi masyarakat, terutama yang berpenghasilan rendah. Asosiasi Semen Indonesia (ASI) menyatakan 65 persen permintaan semen nasional sepanjang 2017 berasal dari sektor properti. Kebutuhan besar semen di Pulau Jawa mendorong pabrik-pabrik semen berlomba menancapkan kukunya di pulau terpadat di Indonesia ini. Saat pemerintah Belanda membangun pabrik semen pertama di Indarung, Sumatera Barat, lebih dari seabad lalu, mereka belum berpikir mengeruk Pulau Jawa sebagai tambang semen. Baru setelah republik berdiri, pabrik semen pertama di Jawa pun muncul pada 7 Agustus 1957 yang diresmikan langsung oleh Presiden Sukarno. Jawa memang paling menjanjikan untuk mengais ceruk pasar semen. Penduduk yang besar dan pembangunan infrastruktur yang masif menopang permintaan semen yang porsinya 70 persen untuk perumahan dan 30 persen untuk infrastruktur. Pegunungan kapur utara membentang dari Kabupaten Pati, Jawa Tengah, hingga Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Lebar rangkaian pegunungan ini sekitar 30-50 km dengan ketinggian kurang dari 800 meter dari permukaan laut. Daerah di sepanjang pegunungan ini termasuk selatan Pati, utara Grobogan, Rembang, Blora, Tuban, utara Bojonegoro, dan barat Lamongan. Ia memikat banyak pabrik semen untuk mengguyurkan investasi penambangan. Di Grobogan, yang berbatasan dengan Pati di Jawa Tengah, pabrik PT Semen Grobogan mulai dibangun pada akhir 2016. Investasinya sebesar Rp7 triliun, dengan izin lahan di Sugihmanik, Tanggungharjo. Rencananya pembangunan pabrik rampung pada akhir tahun 2017. Ia akan melakukan eksplorasi selama 40 tahun dan memproduksi 2 juta ton semen/ tahun. Skala eksplorasi pabrik Semen Grobogan masih tergolong kecil jika dibandingkan pabrik semen di Tuban, Jawa Timur. Di Tuban, PT Semen Indonesia dan Semen Holcim jauh lebih dulu melakukan eksplorasi. PT Semen Indonesia mampu memproduksi semen hingga 14 juta ton/ tahun pada 2016. Sedangkan kapasitas produksi Holcim mencapai 3,4 juta ton/ tahun. Selain dua pemain besar, saat ini ada calon dua pabrik baru di kabupaten yang berbatasan dengan Rembang itu. Mereka adalah PT Abadi Cement dan PT Unimine Indonesia. Keduanya sedang dalam proses mengurus izin. Jika di tempat lain sudah banyak investor berdatangan, di Blora—yang ibukotanya terletak di cekungan Pegunungan Kapur Utara—belum ada industri semen meski Pemda Blora sudah menawarkan investasi kepada Semen Padang sejak awal 2016. 

Di Pati, PT Sahabat Mulya Sejati, anak perusahaan Indocement, ancang-ancang membangun pabrik semen sejak 2014 sesudah melengkapi sejumlah izin. Bila beroperasi, pabrik ini bisa berproduksi hingga 4,4 juta ton semen/ tahun. Total investasinya Rp7 triliun. Sementara di Rembang, PT Semen Indonesia sudah membangun pabrik baru di kecamatan Gunem. Pabrik ini diproyeksikan bisa menambah produksi perusahaan hingga 3 juta ton/ tahun. Nilai investasinya Rp5 triliun. Di Citeureup, kenamaan “Tiga Roda”  “Tiga Roda” dan merek baru “Rajawali”, sejarah PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. (“Perseroan” atau “Indocement”) diawali pada 1975 dengan rampungnya pendirian pabrik Indocement yang pertama di Citeureup, Bogor, Jawa Barat. Pada Agustus 1975, pabrik yang didirikan PT Distinct Indonesia Cement Enterprise (DICE) dan memiliki kapasitas produksi terpasang tahunan 500.000 ton ini mulai beroperasi. Dalam kurun waktu sepuluh tahun setelah beroperasinya pabrik pertama, Perseroan membangun tujuh pabrik tambahan sehingga kapasitas produksi terpasangnya meningkat menjadi sebesar 7,7 juta ton per tahun. Peningkatan tersebut turut membantu penyediaan pasokan semen bagi pembangunan di Indonesia yang semula merupakan negara importir semen, berubah menjadi Negara yang mampu mengekspor semen. Kedelapan pabrik tersebut dikelola dan dioperasikan oleh enam perusahaan berbeda, yaitu: 1. PT Distinct Indonesia Cement Enterprise (DICE); 2. PT Perkasa Indonesia Cement Enterprise (PICE); 3. PT Perkasa Indah Indonesia Cement PutihEnterprise (PIICPE); 4. PT Perkasa Agung Utama Indonesia Cement Enterprise (PAUICE); 5. PT Perkasa Inti Abadi Indonesia Cement Enterprise (PIAICE); 6. PT Perkasa Abadi Mulia Indonesia Cement Enterprise. Kedelapan pabrik yang dikelola keenam perusahaan ini terletak di Kompleks Pabrik Citeureup dan memroduksi semen Portland, kecuali pabrik PIICPE yang memroduksi semen putih dan semen sumur minyak (OWC). Melalui laman resminya, PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. guna mengantisipasi pertumbuhan pasar yang semakin kuat, Indocement terus berupaya menambah jumlah pabriknya untuk meningkatkan kapasitas produksi. Perseroan mengakuisisi Plant 9 pada 1991 dan menyelesaikan pembangunan Plant 10 di Palimanan, Cirebon, Jawa Barat pada 1996. Selanjutnya pada 1997, Plant 11 selesai dibangun di Citeureup, Bogor, Jawa Barat. Pada 29 Desember 2000, dari hasil merger antara Perseroan dengan PT Indo Kodeco Cement (IKC), maka Perseroan menjadi pemilik pabrik semen di Tarjun, Kotabaru, Kalimantan Selatan. Pabrik tersebut menjadi pabrik Perseroan keduabelas Plant 12. Pada Oktober 2016, Perseroan mulai mengoperasikan pabrik ketigabelas yang disebut “Plant 14” di Kompleks Pabrik Citeureup, yang merupakan pabrik semen terintegrasi terbesar milik Indocement dengan kapasitas desain terpasang mencapai 4,4 juta ton semen per tahun dan juga merupakan pabrik semen terbesar yang pernah dibangun oleh Indocement dan HeildelbergCement Group. Dengan rampungnya Plant 14, saat ini Perseroan telah mempunyai 13 pabrik dengan total kapasitas produksi tahunan sebesar 24,9 juta ton semen. Sepuluh pabrik berlokasi di Kompleks Pabrik Citeureup, Bogor, Jawa Barat; dua pabrik di Kompleks Pabrik Palimanan, Cirebon, Jawa Barat; dan satu pabrik di Kompleks Pabrik Tarjun, Kotabaru, Kalimantan Selatan. Di atas kertas volume penjualan semen memang mengalami kenaikan, tapi bila mengacu dari kondisi harga di lapangan yang mengalami tren penurunan harga, maka dampaknya pada penjualan masing-masing produsen. Kondisi ini bisa dilihat dari emiten semen yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI). Saat ini sebanyak empat emiten, dua emiten merupakan perusahaan pelat merah yaitu PT Semen Indonesia Tbk. (SMGR) dan PT Semen Baturaja Tbk. (SMBR). Dua lagi swasta yaitu PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. (INTP) dan PT Holcim Indonesia Tbk. (SMCB).
Secara umum,  kinerja pendapatan para emiten semen pada periode Januari-September 2017 masih terpuruk. Hanya Semen Indonesia saja yang mencatatkan kenaikan pendapatan, yakni sebesar 7,69 persen menjadi Rp20,55 triliun. Holcim masih belum mempublikasikan laporan keuangan terbaru. Hingga 30 September 2017, penyumbang terbesar pendapatan Semen Indonesia masih didominasi penjualan semen, senilai Rp17,55 triliun, atau 85 persen dari total pendapatan. Kenaikan pendapatan tidak didorong dari penjualan semen, karena penjualan semen dari Semen Indonesia justru turun 2 persen dari periode yang sama tahun lalu senilai Rp17,86 triliun. Saat pendapatan naik, laba bersih perseroan malah menurun, hanya Rp1,45 triliun, turun 50 persen. Tergerusnya laba bersih karena beban usaha yang melonjak 26 persen menjadi Rp14,5 triliun. Berdasarkan grafik saham dari Bloomberg, per 16 November 2017, harga saham Semen Indonesia senilai Rp2.750 per saham, naik 14 persen dari awal 2017 senilai Rp2.410 per saham. Kenaikan harga saham tertinggi terjadi pada kuartal II-2017 senilai Rp3.550 per lembar saham. Kinerja saham yang positif juga ditorehkan Semen Baturaja, per 16 November 2017, saham Semen Baturaja senilai Rp9.900 per saham, naik 5,3 persen dari harga saham awal tahun ini sebesar Rp9.400 per saham. Nilai saham tertinggi tercatat menyentuh Rp10.875 per saham pada kuartal III-2017. Saham Indocement juga bergerak naik. Pada 16 November 2017, harga saham Indocement tercatat Rp19.900 per saham, naik 25 persen dari harga saham pada 5 Januari 2017 senilai Rp15.900 per saham. Harga tertinggi yang pernah ditorehkan terjadi pada 2 November 2017 yang menembus Rp23.300 per saham. Analis Recapital Sekuritas Kiswoyo Adi Joe punya analisa soal kinerja keuangan emiten semen yang terpuruk disebabkan penjualan semen yang tidak sesuai harapan seiring dengan permintaan properti yang masih lesu. Bank Indonesia (BI) mencatat perkembangan harga properti komersial dan kredit konsumsi pada triwulan III-2017 menurun dibandingkan triwulan sebelumnya. “Daya dorong penjualan semen itu dari properti sebenarnya. Kalau dari infrastruktur itu kecil, tidak banyak. Karena permintaan semen sedikit, harga jual semen juga terkoreksi. Apalagi, kondisi saat ini masih over supply,” katanya. Apa yang dikatakan Adi klop dengan catatan Asosiasi Semen Indonesia (ASI). Pasar semen di Indonesia, sebanyak 70 persen umumnya didorong oleh perumahan dan sisanya 30 persen oleh infrastruktur. (*)  
Tags :
Kategori :

Terkait