Razia terakhir terjadi di sebuah toku buku di Padang, Sumatra Barat dan melibatkan aparat gabungan TNI, Polri dan Kejaksaan Negeri. Aparat menyita enam eksemplar dari tiga buku yang disinyalir isinya mengandung paham komunisme dalam razia pada Selasa (08/01).
Kadispen TNI Angkatan Darat Brigjen Candra Wijaya mengungkapkan alasan dibalik aksi razia ini adalah larangan ajaran komunisme yang berlaku berdasarkan peraturan 1966.
\"Alasannya yang pertama adalah penyebaran ajaran komunisme ini masih dilarang karena ada TAP MPRS Nomor XXV tahun 1966, rujukannya itu,\" ujar Candra kepada BBC Indonesia, Kamis (09/01)
Dua pekan sebelumnya, ratusan buku yang diduga berisi ajaran paham komunis juga dirazia di Kediri, Jawa Timur, pada Rabu (26/12). Razia dilakukan setelah Kodim 0809 Kediri mendapat laporan dari warga.
79 Tahun lalu, 15 Januari 1939, di Spanyol, tentara pendukung diktator Jenderal Franco membakar perpustakaan Pompeu Fabra. Kata sejumlah sejarawan, mereka melakukannya sambil berteriak: “¡Abajo la inteligencia!” atau \"Mampuslah Para Pemikir!\"
Setiap Oktober, dunia merayakan Pekan Buku Terlarang (PBT), sebuah acara penting untuk merayakan dan menjaga kebebasan membaca. Secara khusus, PBT mengajak orang-orang membaca dan mempromosikan buku-buku yang dianggap berbahaya oleh negara, komunitas agama, dan kelompok-kelompok masyarakat.
Ia mula-mula digelar di Amerika serikat pada 1982 untuk merespons pelarangan peredaran buku di sekolah, toko buku, dan perpustakaan. Menurut American Library Association, hingga kini, di negara tersebut ada lebih dari 11.300 buku yang masuk atau terancam masuk daftar hitam.
Pelarangan buku tidak hanya terjadi di Amerika Serikat, tapi juga di seluruh dunia. Alasan-alasan yang digunakan untuk melarang peredaran buku antara lain ialah \"bahasa yang kasar\", \"deskripsi seks yang jelas\", \"penyerangan terhadap satu kelompok ras\", \"perilaku seks menyimpang\", \"kebencian terhadap perempuan\", \"perbedaan ideologi politik\", dan \"ajakan untuk memberontak terhadap negara.\"
Namun, apa pun alasan resminya, kita tahu, pelarangan buku adalah perbuatan keblinger yang cuma dilandasi paranoia dan seringkali salah alamat.
Misalnya pelarangan novel Animal Farm karya George Orwell di Uni Arab Emirat sejak 2002. Pemerintah negara itu menyatakan bahwa Animal Farm bertentangan dengan nilai-nilai Islam karena, salah satunya, menampilkan babi yang bisa bicara. Apakah benar? Belum tentu. Bisa jadi, mereka hanya takut rakyat punya kesadaran kelas, sebagaimana binatang-binatang dalam fabel politik tersebut.
Contoh lainnya: The Curious Incident of the Dog in the Night-Time karya Mark Haddon dilarang beredar di beberapa sekolah di Amerika Serikat karena karakter utamanya, seorang anak yang banyak bertanya dan senang \"bicara kasar\", dianggap menyebarkan ateisme dan ketidaksopanan.
Agama, sebagai lembaga yang paling berkepentingan menjaga teisme, dan buku memang punya catatan hubungan yang kurang baik. Katolik, misalnya, pernah punya Index Librorum Prohibitorum (dikeluarkan oleh Paus Paulus IV pada 1559). Daftar itu membuat buku-buku yang terlarang bagi umat Katolik karena dianggap dapat merusak iman. Di dalamnya, ada karya-karya kanon baik dalam bidang sastra, sains maupun filsafat, termasuk karya-karya Martin Luther, Jean-Paul Sartre, Voltaire, dan John Milton.
Razia Buku, Abajo la inteligencia!” atau “Mampuslah Para Pemikir” ?
Kamis 10-01-2019,10:31 WIB
Editor : Dian Arief Setiawan
Kategori :