Kasus Suami Bunuh Istri di Klangenan, Hasil Kajian Psikolog: Selingkuh dan Cemburu

Kamis 10-01-2019,11:40 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

Saniah (45) meregang nyawa. Di tangan suaminya sendiri Arkati (48). Rabu (9/1) sekitar pukul 18.30, keduanya cekcok. Awalnya sekadar adu mulut. Di dalam rumah mereka di Blok Karangjambe Lor, Desa Pekantingan, Kecamatan Klangenan, Kabupaten Cirebon. Ribut-ribut keduanya diduga terkait isu perselingkuhan. Arkati menuduh sang istri telah jatuh hati pada pria lain. Rabu sore (9/1) itu, Arkati disebut-sebut hendak menasihati Saniah agar kembali menata rumah tangga mereka. Agar hidup bersama dengan baik lagi. Baca: Kasus Suami Bunuh Istri di Klangenan, Diduga Ribut soal Perselingkuhan Aksi-aksi penganiayaan dengan kekerasan dan mengakibatkan kematian macam ini tentunya didasari oleh emosi-emosi negatif seperti marah, kecewa, sedih, juga cemburu. Dari perspektif psikologi evolusi, David M. Buss, profesor psikologi di University of Texas, Austin, menilai bahwa laki-laki cenderung lebih cemburu bila pasangannya selingkuh secara seksual. Sementara itu, perempuan dinilainya lebih cemburu bila sang pasangan selingkuh secara emosional.  Mengapa demikian? Laki-laki butuh memastikan pasangannya setia secara seksual karena mereka tidak mau membesarkan anak-anak yang bukan miliknya. Di lain sisi, perempuan bergantung pada laki-laki karena pasangannyalah yang mencari sumber-sumber daya untuk meneruskan hidup mereka. Begitu si laki-laki selingkuh hati, akan timbul kekhawatiran perempuan jika sumber-sumber daya yang mulanya diperuntukkan kepadanya seorang, dialihkan ke perempuan lain. Zaman berubah dan generalisasi bahwa perempuan melulu bergantung secara ekonomi kepada laki-laki tak bisa diberlakukan. Menengok pandangan seperti ini saja merupakan cara simplistis dalam menelaah isu kecemburuan. Bagaimana menjelaskan perempuan-perempuan mapan yang masih merasa cemburu bila mendapati suaminya tidur dengan perempuan lain? Atau laki-laki yang tidak terima melihat pasangannya mengobrol mesra di aplikasi pesan dengan laki-laki lain sekalipun mereka berdua tidak pernah berkontak fisik? Dalam artikel bertajuk “The 3 Reasons We Can Get Jealous” yang dimuat di Psychology Todaypsikolog klinis Seth Meyers Psy.D. menyatakanseseorang menjadi cemburu karena merasa relasinya romantisnya terancam dengan kehadiran pihak ketiga. Lebih lanjut dari pengamatan Meyer, ia menyimpulkan ada tiga masalah internal yang ditemukan dalam diri orang-orang pencemburu. Pertama, isu insecurity. Hal ini berhubungan dengan perasaan inferior atau penilaian diri yang rendah. Meyer mendapati orang-orang pencemburu merasa dirinya tidak cukup baik atau berharga di mata pasangan. Kedua, pikiran-pikiran obsesif. Salah satu klien Meyer mengatakan dirinya merasa cemburu hampir di setiap relasi yang ia jalani. Lantas, psikolog itu menilai si klien memenuhi sebagian gejala gangguan obsesif-kompulsif. Hal inilah yang memicu si klien untuk terus cemas, berpikir yang tidak-tidak, dan terobsesi terhadap sesuatu. Sering kali si klien menyangka pasangannya tidak setia begitu ada hal-hal kecil yang mengindikasikan ketidakpastian. Terakhir, Meyer mengaitkan kecemburuan dengan masalah paranoia dalam diri seseorang. Dalam studi Ramachandran dan Jalal (2017) berjudul The Evolutionary Psychology of Envy and Jealousy dinyatakan, cemburu merupakan emosi kompleks yang dipengaruhi oleh interaksi sosial, konteks, penilaian diri dan orang-orang sekitar. Terkait konteks, dalam lingkungan pergaulan yang menormalisasi rangkulan atau pelukan dengan lawan jenis, rasa cemburu berlebihan tidak akan muncul. Baca: The Evolutionary Psychology of Envy and Jealousy Lain cerita bila hal itu jarang ditemui seseorang dalam pergaulannya. Kontak-kontak fisik kecil bisa dianggap sebagai ancaman olehnya, terlebih jika yang melakukannya kepada pasangan adalah orang yang dianggap serba-lebih dari dia. Kecemburuan dikatakan oleh Ramachandran dan Jalal terkait pula dengan perasaan ingin memiliki. “Aku ingin memiliki apa yang dipunyai orang lain dan mengklaimnya milikku.” Ini dipandang sebagai emosi negatif menurut kedua peneliti. Kalimat “aku milikmu dan kau milikku” bisa terdengar begitu romantis bagi sebagian orang. Namun, di baliknya, tersirat makna negatif. Psikolog Leon F. Seltzer Ph.D.berpendapat bahwa saat seseorang mempunyai perasaan ingin memiliki orang lain, ia sebenarnya tengah memperlakukan orang lain tidak ubahnya dengan suatu obyek. Efek menganggap orang lain sebagai obyek adalah perilaku mendominasi, bahkan mendehumanisasinya. Seltzer bahkan menyebut upaya mendominasi ini terkait dengan karakter narsisistik dan eksploitatif. Sherah Wells dalam esai bertajuk “The Power to Love Without Desiring to Possess: Feminine Becoming Through Silence in the Text of Antonia White” (2008) turut mengkaji soal keinginan memiliki diri pasangan. Mengutip pemikiran filsuf Perancis Luce Irigaray, Wells menyatakan ada kesalahan dalam pandangan bahwa keintiman berarti kepemilikan. Berkaca dari tulisan-tulisan Antonia White yang mencerminkan bagian dari persona si penulis, Wells melihat kegilaan timbul dari ketidakmampuan untuk mencintai tanpa hasrat ingin memiliki. Cemburu boleh jadi diwajarkan dalam hubungan pasangan, tetapi bakal jadi petaka bila muncul berlebihan, apalagi jika diiringi hasrat memiliki yang terlalu besar. Pada akhirnya, seseorang memang bisa memutuskan berpacaran atau menikah dengan seseorang dan berikrar untuk selalu bersama sampai mati, tapi siapa bisa menjamin perkara hati dan pengisi imajinasi? (*)    

Tags :
Kategori :

Terkait