Menyaksikan Novel Berteman dengan Kematian dalam Bentuk Visual

Jumat 18-01-2019,16:30 WIB
Reporter : Dedi Haryadi
Editor : Dedi Haryadi

CIREBON-Perjuangan untuk melawan penyakit lupus, membawa Shinta Ridwan untuk menuliskan sendiri kisah hidupnya dalam sebuah buku. Hingga kemudian, novel tersebut divisualisasikan menjadi sebuah film. Bagaimana kisahnya? Hidup Harus Hidup mengisahkan bagaimana seorang gadis penyandang  Lupus Eritematosus Sistemik berjuang memaknai hari-harinya. Senyum kematian di depan, justru membuatnya merasa detik demi detik kian berharga. Kisah nyata kehidupan Shinta Ridwan dalam novel tersebut menarik perhatian mahasiswa ISBI Bandung untuk mengangkatnya menjadi sebuah film. Diperankan berdasarkan kisah nyata, menjadi sebuah tantangan sendiri. Dalam film ini dikisahkan bagaimana jatuh bangun Shinta untuk bisa berdamai dengan kenyataannya. Hidup Harus Hidup artinya berusaha memberikan penghargaan pada hidup selama diberi waktu oleh Sang Maha Pemberi. Sugi Sutradara Film Hidup Harus Hidup mengakui, mengangkat kisah ini ke bentul visual menghadirkan tantangan tersendiri. Bagaimana meramu film biografi. Juga bagaimana memuaskan pembaca yang mengikuti kisah Shinta dalam novel. \"Tantangannya, bagaimana caranya teman-teman yang sudah baca ini ekspektasinya nggak jauh dari cerita buku dan filmnya ini. Selain itu, tantangan lainnya adalah bagaimana menghadirkan sosok Shinta Ridwan dalam sosok pemeran utamanya yang juga bernama Sinta,\" ujar Sugi, yang juga mahasiswa jurusan Film dan Pertelevisian ISBI Bandung ini. Aul yang merupakan Asisten Sutradara sekaligus Penulis Naskah Film Hidup Harus Hidup mengungkapkan, film ini berawal dari tugas akhir. Membaca kisah seorang Shinta Ridwan inilah yang membuat Aul, Sugi dan lainnya bertekad untuk membuat film biopik. Nonton bareng film Hidup Harus Hidup di CGV Transmart menjadi momen ketiga kalinya ia menonton. Masih sama. Air mata tetap jatuh di pelupuk mata. Bahkan melihat apresiasi penonton yang luar biasa membuatnya sama sekali tak menyangka. \"Ini udah ketiga kalinya saya nonton dan saya tetap nangis. Launching perdana filmnya ini perdana digelar di Bandung. Dan nggak nyangka sampai 200 orang datang. Dan sekarang di Cirebon pun begitu, terima kasih,\" terangnya. Dalam film ini, team Film Maker Epic Roll asal mahasiswa ISBI Bandung itu ingin menyampaikan sebuah pesan kehidupan dari sosok seorang Shinta Ridwan. Bagaimana menjalani hidup dan memanfaatkan waktu detik demi detik untuk membuat sesuatu yang bermakna. Tidak lagi terpuruk dalam kelamnya, namun bangkit dan mencoba untuk menerima. Bagaimana lupus akan selalu berada dalam tubuhnya, maka dari itu ia mencoba untuk menerima kenyataan tersebut dan menjalani hidup sesuai dengan apa yang diyakininya. Bahkan ia juga bercerita, obat kimia tidak melulu menjadi solusi soal penyakitnya. Kini ia lebih memilih untuk menjaga pola hidup sehat, pola makan dan pola tidurnya untuk \'berteman\' dengan si kelam (lupus). (myg)

Tags :
Kategori :

Terkait