Menelisik Utang Pemerintahan Jokowi

Rabu 23-01-2019,09:40 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

“Ini meme tidak benar, dibuat seakan-akan naik terus, padahal tahun 2014 laba Rp159 triliun kemudian turun, dan data yang lain tidak sesuai fakta. Laba 2018 juga tidak masuk akal, dan memang sampai saat ini belum diumumkan.” Cuitan Mantan Sekretaris Kementerian BUMN Muhammad Said Didu di media sosial pada 16 Januari 2019, mengkritisi sebuah infografik yang diunggah @KerjaDuaPeriode terkait prestasi Pemerintahan Presiden Jokowi dalam mengembangkan BUMN. Laba bersih para BUMN dari 2014 hingga 2018 tergambar terus meningkat. Pada 2014, laba para BUMN bersih tercatat Rp148 triliun—jumlah BUMN pada 2014 sempat mencapai 119 BUMN, pada 2017 menyusut jadi 115 BUMN karena kebijakan holding. Tahun-tahun berikutnya, meningkat menjadi Rp150 triliun (2015), Rp164 triliun (2016), Rp185 triliun (2017) dan Rp218 triliun (2018). Kritik Said terhadap pemerintah Jokowi di media sosial memang bukan kali ini saja. Isu-isu terkait BUMN mulai dari utang, pemilihan direksi/komisaris dan lain sebagainya pernah jadi sorotannya. Data Kementerian BUMN, berdasarkan Statistik Kinerja BUMN, laba bersih BUMN setelah 2014 memang menurun. Pada 2014, laba bersih BUMN tercatat Rp154 triliun. Tahun berikutnya, pada 2015 laba bersih BUMN turun 6 persen menjadi Rp149 triliun. Namun, penurunan laba bersih kala itu sifatnya hanya sementara. Pada 2016, laba bersih BUMN naik 17 persen menjadi Rp174 triliun. Tahun berikutnya, laba bersih BUMN tumbuh 7 persen menjadi Rp186 triliun. Bila dilihat secara tren, laba bersih BUMN di era Jokowi memang terus meningkat, atau naik rata-rata 7 persen setiap tahun. Capaian pertumbuhan laba ini lebih rendah ketimbang era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) khususnya pada periode II, laba bersih BUMN tumbuh rata-rata 12 persen per tahun. Melambatnya pertumbuhan laba bersih BUMN di era Jokowi juga membuat sumbangan dividen dan setoran pajak dari BUMN terhadap penerimaan negara. Pada 2015, sumbangan dividen dan pajak BUMN mencapai Rp202 triliun, turun 4 persen dari 2014 sebesar Rp211 triliun. Namun, pada 2017 sumbangan BUMN dari dividen dan pajak naik menjadi Rp254 triliun. Kontribusi BUMN terhadap dividen dan pajak memang dalam tren positif. Namun, seolah menjadi kebalikan saat dihadapkan dengan beban utang BUMN yang semakin membengkak. Pada 2014, total nilai utang BUMN hanya Rp3.448 triliun. Utang makin membengkak menjadi Rp3.769 triliun (2015), Rp4.216 triliun (2016), dan Rp4.825 triliun (2017). Dalam tiga tahun kepemimpinan Jokowi, utang rata-rata naik 12 persen per tahun.

Beban utang ini tak terpisahkan dari penugasan yang kian gencar diberikan pemerintah kepada BUMN. Percepatan proyek infrastruktur, kebijakan BBM satu harga, tarif listrik yang tidak naik, akuisisi saham Freeport, pembangunan kereta api cepat Jakarta-Bandung dan lain sebagainya. Capres nomor urut 2 Prabowo Subianto sempat menilai pemerintah membiarkan BUMN bangkrut lantaran utang membengkak, dan laba bersih yang tidak seberapa. “Negara yang membiarkan BUMN-BUMN kita, yang kita banggakan... sekarang dalam keadaan yang bisa dibilang, yah bangkrut,” tutur Prabowo pada 15 Januari 2019. Pengalaman Said Didu yang pernah menjabat Sekretaris Kementerian BUMN 2005-2010, tentu sangat paham dengan jeroan BUMN-BUMN, sehingga menentukan sikapnya dalam merespons kinerja BUMN masa kini. Apakah BUMN jadi alat kekuasaan penguasa atau benar-benar untuk kepentingan negara, seperti yang jadi anggapannya? Cuitan Mantan Sekretaris Kementerian BUMN Muhammad Said Didu di media sosial tanggal 28 Desember 2018. mencuitkan soal kepemilikan BUMN. \"BUMN itu badan usaha milik negara bukan milik penguasa,\" katanya, merespons cuitan @alextom71. BUMN yang kerap mendapatkan penugasan di antaranya BUMN Karya. PT Waskita Karya Tbk misalnya, selain membangun LRT, Waskita juga mengerjakan proyek strategis nasional seperti jalan tol di Sumatera dan Jawa. Banyaknya proyek yang dikerjakan, membuat perseroan terpaksa mencari utang agar proyek tersebut dapat berjalan. Dampaknya, utang Waskita sepanjang 2015-2017 naik hingga 265 persen dari Rp20,60 triliun menjadi Rp75,14 triliun. Proyek yang bejibun dibarengi dengan kinerja Waskita yang mengalami banyak kasus kecelakaan kerja. Dari Agustus 2017 hingga Maret 2018, terdapat tujuh kecelakaan kerja, dimana menimbulkan korban jiwa yang terjadi pada proyek Waskita. Saat utang naik, kinerja pendapatan dan laba bersih Waskita sangat positif. Pendapatan Waskita pada 2015 tercatat Rp14,15 triliun dengan laba bersih Rp1,04 triliun. Selang dua tahun, pendapatan naik 219 persen menjadi Rp45,21 triliun, dan laba bersih naik 300 persen menjadi Rp4,2 triliun. Berbeda dengan BUMN Karya yang meraup kenaikan laba bersih yang ciamik, PT Pertamina justru mencatatkan penurunan laba bersih seiring dengan dimulainya kebijakan BBM Satu Harga pada Januari 2017. Sepanjang 2017, Pertamina mencatatkan penjualan sebesar US$42,95 miliar, naik 18 persen dari 2016 sebesar US$36,48 miliar. Sayangnya, kinerja laba bersih justru menurun 19 persen menjadi US$2,55 miliar. Turunnya laba bersih Pertamina disebabkan pertumbuhan beban pokok penjualan dan usaha yang lebih besar ketimbang penjualan, naik 26 persen menjadi US$38,19 miliar dari sebelumnya sebesar US$30,29 miliar. Namun, kondisi keuangan BUMN di bawah kepemimpinan Jokowi tidak hanya disebabkan oleh kebijakan saja, namun juga turut dipengaruhi faktor eksternal. Garuda misalnya, menjadi BUMN yang merugi lantaran peningkatan harga avtur. Ada juga PLN yang merugi karena fluktuasi nilai kurs, di mana utang PLN untuk belanja modal berupa valuta asing (valas), namun produk yang dijual berupa rupiah. (*)
Tags :
Kategori :

Terkait