Versi Cina Bing (cn.bing.com), layanan mesin pencari dari Microsoft, diblokir Pemerintah Cina pada Rabu (23/1). Namun, sehari berselang, akses pada salah satu penantang Baidu itu kembali dibuka.
Sebagaimana diwartakan The New York Times, penutupan akses sementara pada Bing di Cina diduga kuat merupakan bagian dari kebijakan sensor yang populer disebut “The Great Firewall of China,” yang telah memakan korban Google pada 2002 serta Facebook dan Twitter pada 2009.
Pasca-masuknya internet ke Cina pada 1996, Negeri Tirai Bambu membangun \"tembok\" sensor internet. Tembok maya yang dibangun untuk membendung berbagai hal, termasuk pembicaraan, konten, hingga ruang-gerak perusahaan internet asing, yang merugikan kepentingan Cina. Sebagaimana dilaporkan Business Insider, terdapat 1,3 juta situsweb yang diblokir otoritas Cina pada 2010. Kini, jumlahnya diperkirakan terus bertambah.
Brad Smith, President Microsoft, dalam pernyataannya menyebut bahwa pemblokiran Bing oleh Pemerintah Cina memang sementara tapi cukup menyulitkan mereka. Microsoft, menurut Smith, “masih menunggu untuk mencari tahu tentang situasi apa sebenarnya yang terjadi.”
Dalam paparannya lebih lanjut, aksi pemblokiran sementara yang menimpa Bing tak hanya sekali. “Pemblokiran terjadi secara periodik,” tegasnya.
Pemblokiran akses pada Bing terbilang unik. Pertama, Bing termasuk layanan internet yang tunduk pada Pemerintah Cina, misalnya untuk menyensor beberapa pencarian. Warga Cina tidak akan memperoleh hasil pencarian yang relevan apabila mereka melakukan pencarian dengan kata kunci “Dalai Lama,” “Tiananmen Square,” atau “Falun Gong” menggunakan Bing.
Alasan terakhir, Bing bukanlah pemain yang berarti dalam percaturan mesin pencari Cina. Data yang dipaparkan Statista, hingga Juli 2018, Baidu atau “yang tak terhitung jumlahnya” jadi raja mesin pencari di Cina dengan penguasaan 73,8 persen pangsa pasar. Di posisi kedua dan ketiga, ada Shenma dan Haosu yang menguasai 15 dan 4,1 persen pangsa pasar. Bing, dalam data tersebut, masuk dalam kelompok “lainnya.”
Di akhir tahun 2010, Google resmi keluar dari Negeri Tirai Bambu. Versi permisif mereka, google.cn alias Google China, yang menyembunyikan beberapa hasil pencarian guna memenuhi permintaan Cina, dianggap gagal.
Kegagalan Google untuk mengikuti \"permainan\" otoritas Cina cukup mengherankan. Merujuk data yang diungkap StatCounter, di akhir 2009 Google memperoleh pangsa pasar sebesar 43 persen di Cina, menempatkannya di posisi kedua selepas Baidu. Lalu, sebagaimana tertulis dalam “Why Google Cannot Beat Baidu in China Search Engine Market,” paper yang ditulis Zhaoli Meng, pengguna Google di Cina menunjukkan bahwa mereka memperoleh hasil pencarian lebih baik daripada Baidu dalam hal relevansi dan kepuasan keseluruhan.
Kegagalan Google di Cina terjadi dalam dua aspek. Pertama, merujuk paper Meng, Google dianggap tak paham budaya Cina. Di Cina, “I” yang Google berikan pada penggunanya hanya memiliki satu makna. Baidu sendiri memiliki 38 makna yang berbeda-beda, sesuai dengan kebudayaan Cina untuk pemaknaan “I.” Selain itu, untuk menjembatani offline-online, Baidu menghadirkan tempat nongkrong virtual dan nyata sebagai tempat membangun komunitas.
Kedua, kegagalan Google di Cina lebih merupakan tekanan politik. Pada 2006, Google sempat dituduh sebagai “pejabat dari Cina” karena kebijakannya yang permisif atas tingkah-laku Pemerintah Cina melakukan penyensoran. Ini, kata Chris Smith, politikus asal Partai Republik Amerika, Google dianggap “melanggar kebijakan ‘don’t be evil’ sebagai slogan perusahaan Google.
Selain itu, tekanan pun datang dari pendiri Google, Sergey Brin. Sebagai seorang yang lahir di Uni Soviet, Brin tidak menginginkan berkembangnya suatu negara yang mengekang warganya sendiri.
Merasa bahwa menciptakan versi permisif adalah kesalahan, Google akhirnya memilih hengkang dari Cina. Sayangnya, tak sampai satu dekade habis selepas keputusan diambil, Google berbalik arah. Melalui tangan Sundar Pichai, Google hendak kembali ke Cina dengan bendera “Dragonfly”
“Saya sangat peduli untuk bisa melayani tiap orang di tiap penjuru dunia ini,” kata Sundar Pichai, Kepala Eksekutif Google. “Kami ingin berada di Cina, melayani pengguna kami di sana,” kata Pichai.
Selepas memutuskan hengkang dari Cina, Google nampaknya akan segera kembali ke negeri itu. Dalam laporan khusus The Intercept Agustus 2018, Google berencana merilis “Dragonfly,” proyek kembalinya si raksasa mesin pencari ke Cina. Pichai pernah bilang bahwa kehadiran Google di Cina akan “membawa manfaat luar-dalam,” baik bagi Cina sendiri maupun bagi masyarakat global.
Rencananya, masuk kembalinya Google ke Cina akan hadir dalam bentuk aplikasi, yang bernama sandi “Maotai” dan Longfei.” Sebagaimana yang pernah dilakukan, Google akan permisif pada Pemerintah Cina, seperti menghilangkan berbagai hasil pencarian yang mengarah pada “Tiananmen Square,” “Anticommunism,” “Dissindents,” hingga kata-kunci apapun yang bisa mengusik pemerintah.
Menariknya, seakan-akan menghindar dari sikap yang berkebalikan dengan apa yang telah mereka lakukan ketika memutuskan keluar dari Cina, Google akan beroperasi secara “joint venture” di Cina, beroperasi dengan perusahaan lokal sana.
Bila program \"Dragonfly\" benar-benar hadir, Google, sebagaimana perkataan Smith, Google justru malah “menjadi iblis.” berkebalikan dari slogannya. (*)