Kunjungan Paus Fransiskus ke Uni Emirat Arab: Kristenitas di Timur Tengah

Kamis 31-01-2019,18:54 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

Mengambil nama Fransiskus berarti meneladani serta mencerminkan \"kemiskinan dan perdamaian\"—sesuatu yang coba ia lakukan selama masa kepausannya. Ia juga banyak menunjuk kardinal dari negara-negara berkembang yang sejauh ini didominasi orang-orang Eropa. Gebrakan awal Paus Fransiskus adalah pada saat masa pekan pra-Paskah yang bertepatan dengan hari sesudah pelantikannya. Ada sebuah tradisi turun temurun yaitu membasuh 12 kaki orang yang dilakukan oleh paus. Ritual ini meneladani tindakan Yesus yang membasuh kaki 12 muridnya. Paus Fransiskus kemudian memilih membasuh dan mencium 12 kaki para penghuni penjara yang rata-rata masih muda dalam misa pembasuhan Kamis Putih. Di antara 12 orang tersebut ada seorang Muslim dari Serbia. Tindakan paus itu menjadi semacam agenda rutin tahunan dan dianggap mendobrak nilai-nilai lama. Dalam tradisi sebelumnya, kaki yang dibasuh lazimnya adalah hanya milik para lelaki, bukan perempuan seperti yang dilakukan Paus Fransiskus sekarang. Kalangan Katolik konservatif, yang belum atau tidak bisa menerima perubahan nilai, banyak mengkritik tindakannya. Ucapan paus juga tak kalah kontroversial. Seperti pada akhir 2013 silam, ia pernah mengatakan kepada La Civiltà Cattolica, sebuah majalah bulanan terbitan Ordo Yesuit, bahwa gereja kini tak perlu bicara terus menerus mengenai masalah aborsi, kontrasepsi buatan, dan homoseksualitas. Paus Fransiskus berpikir bahwa isu-isu lain, terutama tugas untuk membantu mereka yang miskin dan terpinggirkan, selama ini justru telah diabaikan. Saat ISIS kian menguat dan terornya merembet sampai ke Eropa, termasuk pembunuhan seorang pastur tua bernama Jacques Hamel pada 26 Juli 2016 dengan cara digorok ketika memimpin misa di Gereja, Paus memberikan pandangan objektif dan tidak melimpahkan kesalahan kepada Islam. Ia melihat hampir semua agama selalu memiliki kelompok kecil fundamentalis, tidak terkecuali di kalangan Katolik. \"Jika saya harus berbicara tentang kekerasan dalam Islam, saya pun harus berbicara tentang kekerasan dalam Kristen,\" tutur Paus, merujuk pada beberapa individu Katolik yang melakukan pembunuhan. Paus Fransiskus mengatakan, dia segera membuka halaman baru dalam sejarah relasi antaragama dengan kunjungannya ke Uni Emirat Arab (UEA), Minggu (3/2/2019). \"Saya amat gembira...bisa menulis halaman baru relasi antaragama di negara Anda, menegaskan bahwa kita semua bersaudara meski berbeda,\" kata Paus Fransiskus dalam pesan video untuk rakyat UEA, Kamis (31/1/2019). Dalam pesan yang disampaikan dalam bahasa Italia tetapi diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, Paus mengucapkan terima kasih kepada putra mahkota Abu Dhabi Sheikh Mohammed bin Zayed al-Nahyan. Sheikh Mohammed mengundang Paus Fransiskus dalam sebuah pertemuan lintas agama untuk membahas persaudaraan manusia pada 3-5 Februari mendatang. Pertemuan ini mengisyaratkan kristenitas di Timur Tengah. Selama ini, hanya karena berbahasa Arab, orang Indonesia cepat menilai semua negara di Arab itu pastilah beragama Islam. Realitasnya lain. Sebagaimana ada banyak penganut Kristen berbasis etnis di Indonesia. Januari 2015, Uskup Agung dari Kristen Ortodoks di Palestina, Sebastia Theodosios mengungkapkan kepada wartawan senior Nadezhda Kevorkova mengenai bagaimana penderitaan orang-orang Kristen Palestina serta persatuan mereka dengan umat muslim dalam perjuangan kebangsaan Palestina. Apa yang menjadi menarik adalah sang Uskup ini ditempatkan di Yerusalem, sementara uskup lain dari Patriarkat Yerusalem adalah orang Yunani. Lebih lagi ia orang Palestina kedua yang memegang jabatan Uskup Agung dalam sejarah keuskupan Gereja Ortodoks. Karena ia orang Palestina, ia menjadi tidak istimewa di hadapan pemerintah Israel. Pihak berwenang Israel telah menahan beberapa kali, atau menghentikannya di perbatasan, dan bahkan membawa pergi paspornya. Jika di bandara, para pendeta-pendeta di Yerusalem yang bukan orang Palestina boleh memasuki gerbang privilese super penting, ia sampai kehilangan kesempatan tersebut hanya karena identitas kebangsaannya. “Bagi pemerintah Israel, saya dipandang bukan Uskup, melainkan Palestina” ujarnya. Kata-kata yang umumnya didengar dari seorang muslim seperti “Alhamdulillah, Insya Allah, Masya Allah” dan banyak lagi, tentu amat fasih terucap, karena ia berbicara dalam bahasa Arab; dan bahasa Arab untuk Tuhan adalah Allah, tidak peduli apakah kita seorang Kristen maupun Islam. Satu kenyataan: di tanah Palestina, yang didominasi Arab-muslim, bermukim pula penduduk yang tak hanya Kristen tapi juga loyal terhadap kebangsaan Palestina. Orang-orang Kristen bukan hanya di Palestina. Negara-negara Timur Tengah lain juga memiliki komunitas Kristen yang bahkan berakar dari kemunculan Kristenitas awal hingga penyebarannya. Dalam catatan Walid Phares tentang Pengantar Kristen Arab menulis bahwa jejak kekristenan sebelum invasi Islam dapat dilihat dari eksistensi kaum Kristen seperti Koptik di Mesir, Asyur-Kasdim di Mesopotamia, Nubian Afrika di Sudan, Armenia di Asia Kecil, Fenisia (Aram, Kanaan, Amori) di Suriah, dan Lebanon. Perubahan lanskap geopolitik dan menyentuh ranah keagamaan berubah secara dramatis pada abad ke -7 ketika para tentara Islam Arab menerapkan standar “Arabisasi dan Islamisasi” terhadap masyarakat yang ditaklukkan. Mayoritas penduduk Mesopotamia, Suriah, Mesir, dan Nubia bergeser menjadi Arab-muslim. Angka-angka bangsa pra-Arab asli praktis menjadi berkurang dan ditekan secara politik. Menurut data yang dihimpun BBC mengenai penduduk Kristen di Timur Tengah pada 2011, diurutkan dari persentase terbesar, Lebanon memuncaki jumlah penduduk Kristen terbanyak dengan rentang 31- 35 persen dari keseluruhan total populasi, atau 1,35-1,5 juta orang. Dari rilis pemerintah Lebanon, penganut Katolik Maronit sebesar 21 persen, disusul Ortodoks Yunani (8 persen), Katolik Yunani (5 persen), dan denominasi Kristen lain (6,5 persen). Mesir memiliki persentase umat Kristen tertinggi kedua berikutnya, yakni 10,5 persen dari total populasi (sekira 8,9 juta), masing-masing Ortodoks Koptik (95 persen), Ortodoks Yunani (0,5 persen), Katolik Koptik (0,3 persen), dan denominasi kecil serta komunitas Kristen Protestan lain. Jumlah ketiga ditempati Suriah, yang mengalami situasi perang sejak Maret 2011. Umat Kristen di sana berjumlah sekitar 4,4-10,2 persen dari total populasi (atau sekira 1-2,3 juta), dengan mayoritas Katolik Yunani dan Ortodoks Suriah. Negeri yang kini jadi medan perang itu pernah melahirkan setidaknya tujuh Paus termasuk Simon Petrus, atau dalam Gereja Katolik disebut Santo Petrus, salah satu dari 12 murid Yesus yang lahir di daerah Golan. Dampak perang yang melanda Suriah telah menyusutkan jumlah penganut Kristen. Laporan dari Assyrian International News Agency mengklaim, populasi Kristen tinggal 500.000 orang, yang umumnya akibat perlakuan dari ISIS dan para pemberontak seperti Al-Nusra. Yordania memiliki persentase umat Kristen sebesar 2,8-6 persen dari total populasi, atau 174.000-390.000 jiwa, dengan mayoritas berafiliasi Gereja Katolik dan Ortodoks Yunani. Situs-situs penting nan suci umat Kristen yang tertuang dalam Injil juga terdapat di sini, seperti Al-Maghdas, pinggiran dari Sungai Yordan, lokasi tempat Yesus berjumpa dengan Yohanes Pembaptis. Irak memiliki populasi umat Kristen sekitar 490.000, atau 1,3-2,5 persen dari total populasi. Mereka umumnya menjalani ritus Ortodoks Suriah, bersama dengan etnis Asyur yang menginduk Gereja Asiria. Sementara Iran memiliki populasi umat Kristen sekira 200.000-270.000, atau 0,35 persen dari total penduduk. Mayoritas tergabung dalam Gereja Armenia, Gereja Asiria, Kaldean, Katolik Roma, dan denominasi kecil lain. Bilamana ada istilah pribumisasi Islam, atau gereja etnis di Indonesia seperti Huria Kristen Batak Protestan, begitu pula di negara-negara Timur Tengah. Sejarawan Hirmis Aboona dalam Assyrians, Kurds, and Ottomans (2008) menjelaskan bahwa etnis Asyur membentuk mayoritas Kristen di wilayah Irak, Timur Laut Suriah, Tenggara Turki, dan Barat Laut Iran. Mereka menggunakan dialek Aram yang masih serumpun dengan bahasa Arab, selain berbicara dalam bahasa Arab sendiri, plus dialek Turki, dan Persia. Sementara orang-orang Kristen di Mesir mengidentifikasikan dirinya sebagai Koptik, agama lokal Mesir setidaknya sejak abad ke-4 hingga abad ke-6. Bahasa khas Koptik dipakai dan diwariskan turun-temurun sejak era Romawi menguasai Mesir. Di Lebanon, Maronit adalah bentuk identitas penduduk asli, yang lantas menganut Kristen dan membentuk komunitasnya berlatar etnis. Asher Kaufman, profesor kajian sejarah dan perdamaian Timur Tengah, dalam Reviving Phoenicia (2004) yang melacak identitas bangsa Lebanon, mencatat bahwa nasionalis Lebanon bahkan menolak dikategorikan sebagai Arab, dan penolakan demikian didukung kuat oleh Kristen Maronit dan Kristen Ortodoks lain. Sebagai gantinya, mereka lebih memakai semangat bangsa Fenisia meski tak pernah berkembang sebagai ideologi yang kokoh. Kristen di Suriah sendiri, terutama para penganut Ortodoks Suriah dan Gereja Katolik Suriah, masih mematuhi identitas orang Aram, merujuk wilayah yang saat ini sebagian besar tercakup dalam negara Suriah. Dialek mereka saat ini sudah memakai bahasa Arab meski masih menyisakan tradisi penutur bahasa Aram kuno sebagaimana orang Asyur. Tanah Suriah agaknya juga punya tingkat keragaman etnis yang kompleks, tetapi secara gampangan dipukul rata berlandaskan penutur bahasa Arab. Antoun Saadeh—filsuf Lebanon, penulis, politikus dan seorang Ortodoks Yunani—menolak terang-terangan sebuah gagasan bahwa bahasa dan agama menjadi alasan pemersatu wilayah, yang merujuk pada nasionalisme Arab dan Pan-Islamisme. Sebaliknya ia melihat bahwa suatu bangsa memiliki ciri khasnya sendiri yang mendiami suatu wilayah geografis tertentu khususnya di Suriah. Dalam penelusurannya, Suriah terbagi ke dalam beberapa entitas seperti Fenisia, Kanaan, Asyur, Babilonia, dan lain-lain, dan mereka masih bertahan dalam bentuk komunitas-komunitas Kristen. Bagaimanapun, kehadiran Tentara Negara Irak dan Syam di Suriah telah memperburuk eksistensi komunitas Kristen di kedua negara tersebut. Laporan The New York Times medio 2015, misalnya, menggambarkan keadaan penduduk minoritas agama di bawah kendali ISIS, yang memaksa penganut Kristen minoritas untuk berpindah keyakinan atau, kalau menolak, harus membayar jizyah atau upeti—praktik yang telah dihapuskan sejak Khalifah Umar. Persekusi macam itu dibebankan juga kepada penganut minoritas lain seperti Zoroaster dan Yahudi. Di bawah ancaman, dan dalam situasi perang, kaum minoritas etnis dan agama selalu paling awal yang jadi korban. Dalam contoh wilayah-wilayah yang diduduki oleh ISIS, komunitas minoritas ini menghadapi pembunuhan, perkosaan, perbudakaan, dan perampasan. (*)

Tags :
Kategori :

Terkait