13 Raperda Jadi PR Prolegda

Selasa 05-02-2019,21:01 WIB
Reporter : Dedi Haryadi
Editor : Dedi Haryadi

CIREBON–Sedikitnya 13 dari 25 Rancangan Peraturan Daearah (Raperda) masih belum ditetapkan selama tahun lalu. Kepala Bagian Hukum Sekretariat Daerah (Setda) Chandra Bima Pramana mengatakan, raperda ini menjadi PR untuk dilanjutkan pembahasaanya. \"Pada tahun 2018 itu kita sampaikan ada 25 perda, yang sudah ditetapkan 12 perda. Sisanya masih belum dan kita masih bahas bersama dengan DPRD,\" ujarnya kepada Radar Cirebon. Adapun ketiga belas raperda tersebut yang belum sempat ditetapkan pada tahun 2018 diantaranya, Raperda Cagar Budaya, Raperda Rancangan Induk Pariwisata Daerah (Riparda), Raperda Rencana Detail Tata Ruang (RDTR), Raperda Pasar Tradisional, Pembahasan Revisi Perda Tibum, dan juga Pengelolaan Parkir. Dikatakannya, meski di tahun 2019, para anggota DPRD habis masa periodenya. Namun tak mengundurkan tugas untuk melanjutkan pembahasan raperda tersebut. \"Ya tetap baka dilanjutkan, kan dapat bentuk pansus lagi,\" ulasnya. Dalam pedoman membuat aturan, dalam UU 12/2011 dan juga Permendagri 82/2015 ada aturan perda itu lahir yang dari kebutuhan masyarakat setempat. Ada juga yang berdasarkan perintah undang-undang. Dingkapkan Chandra, dalam membuat perda memang tidak mudah. Ada anggaran yang dibutuhkan, juga proses birokrasinya yang panjang. Apalagi kini, setiap perda harus melalui tahapan fasilitasi gubernur terlebih dahulu. \"Sekarang ada aturan juga perda itu dievaluasi dan difasilitasi oleh gubernur, sebagai wakil pemerintah pusat. Jadi perda itu bisa dikoreksi dan dibatalkan juga oleh Gubernur,\" jelasnya. Chandra menjelaskan mengenai tahapan panjang pembuatan perda. Itu dimulai dari usulan. Perda dibuat berdasar usulan dari pemerintah dan juga legislatif. Bagian Hukum dan HAM itu, mengakomodir usulan perda dari Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) melalui kegiatan Program Pembuatan Peraturan Daerah (Propemda). Kemudian dari usulan itu, disampaikan. Begitu disampaikan, ada pandangan umum fraksi, jawaban walikota, hingga dibahas oleh panitian khusus (pansus). Ketika selesai dibahas ditingkat Pansus, baru dibawa ke provinsi untuk mendapat fasilitasi Gubernur. \"Prosesnya panjang, membutuhkan waktu tidak sebentar, itu lebih dari sebulan,\" jelasnya. Sebagai contoh, Raperda RDTR, lanjut Chandra, itu prosesnya panjang sejak tahun 2012 hingga kini belum selesai. Sehingga tidak ada batasan target waktu dalam membuat sebuah perda. Karena Perda RDTR ini birokrasinya cukup panjang. Itu juga berkaitan dengan RTRW Nasional dan Provinsi. Sehingga kalau ada perubahan akan berimbas pada daerah. Sebab, harus sinkronisasi antara pusat, provinsi dan daerah. Belum lagi, ada aturan permenkumham, bahwa perda juga harus diperiksa lagi oleh Kanwil Kemenkumham. Sehingga birokrasi semakin panjjang. (jml)

Tags :
Kategori :

Terkait