Jokowi Disebut “Jancuk”: Antara Jantje Ook dan Jan Cox

Rabu 06-02-2019,15:43 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

Calon Presiden nomor urut 01 Joko Widodo atau Jokowi menghadiri acara deklarasi dukungan dari Forum Alumni Jawa Timur, Sabtu (2/2/2019). Dalam acara itu, Jokowi mendapat gelar \'cak\' dan \'jancuk\' yang diberikan oleh pembawa acara Djadi Galajapo. Jancuk dari sudut pandang kepastian sejarah  masih simpang siur. Namun banyak pemerhati sejarah yang menyepakati bahwa kata umpatan atau pisuhan ini mulai kerap digunakan sejak jaman post kolonial. Jancuk berasal dari bahasa Belanda, yakni ‘jantje ook’, yang berarti ‘kamu juga’. Kata tersebut seringkali diucapkan dan menjadi kata gaul oleh anak-anak Indo-Belanda sekitar tahun 1930an. Pergeseran pengucapan menjadi jancok itu dilakukan oleh arek Surabaya. Hal ini terjadi karena di Surabaya terdapat perbedaan kelas yang sangat menonjol antara anak-anak Indo-Belanda dengan anak-anak pribumi. Kata-kata yang sering diucapkan oleh anak-anak Indo-Belanda, salah satunya adalah jantje ook tersebut sering kali dipelesetkan sebagai bahan olokan oleh anak-anak pribumi. Kata jantje ook sendiri oleh anak-anak pribumi dipelesetkan menjadi yanty-ok, yang secara lisan terdengar [yant-cuk]. Dalam perkembangannya menjadi kata tersebut menjadi jancuk dan disini mulai muncul pengistilahan yang berbeda-beda dari kata tersebut. Kendati demikian, tidak ada sumber tertulis yang membenarkan bahwa pernyataan tersebut adalah sebagai asal-usul dari jancuk sendiri. Ada versi lain, asal muasal kata Jancuk sudah ada semenjak tahun 1945. Jancuk merupakan nama seorang seniman lukis (pelukis) asal Belanda bernama Jan Cox. Ia lahir di Den Haag, 27 Agustus 1919. Anehnya Jan Cox sama sekali tak pernah menginjakkan kakinya di Indonesia. Karya lukisannya pun tidak ada yang di Indonesia. Rupanya, saat pasukan NICA Belanda yang membonceng Inggris mendarat di Surabaya untuk melucuti senjata tentara Jepang, di salah satu tank mereka tertulis nama Jan Cox. Menulis nama sesuatu atau seseorang di badan macam tank, pesawat, atau bom memang jamak dilakukan oleh para tentara zaman Perang Dunia II. Kemungkinan besar awak operator tank yang berasal dari Belanda amat mengidolai pelukis itu. Tank itu berjenis M3A3 Stuart buatan Amerika Serikat yang menjadi inventaris tentara Belanda. Bisa ditebak akhir dari pendaratan NICA dan Inggris di Surabaya berakhir dengan pecahnya pertempuran 10 November 1945. Nah, para Tentara Keamanan Rakyat (TKR/TNI kala itu) kemudian melihat tulisan Jan Cox di badan tank Stuart. Uniknya nama Jan Cox kemudian diadopsi oleh para prajurit TKR untuk mengidentifikasi kalau ada tank milik musuh datang. Mungkin juga jikalau prajurit TKR menyebut Jan Cox hati mereka seakan kecut dan kesal lantaran harus berhadapan dengan kendaraan lapis baja musuh dalam pertempuran. Sekedar informasi, para prajurit TKR saat itu tidak dibekali senjata anti-tank sehingga akan menyulitkan mereka melawan kendaraan lapis baja musuh. Karena saat pertempuran banyak tank milik Belanda yang berseliweran, maka para prajurit TKR sering berkata Jan Cox, Jan Cox! yang maksudnya mengidentifikasi kalau adanya kendaraan lapis baja musuh. Lama kelamaan pengunaan kata Jan Cox menjadi bahasa serapan masyarakat Surabaya hingga sekarang dan berubah kosakata menjadi Janc*k yang merupakan umpatan khas Jawa Timuran. Jan Cox sendiri meninggal pada tanggal 7 Oktober 1980 di Antwerp, Belgia. Di era internet, kalimat jancuk ini mengalami penyederhanaan bentuk, yang banyak dipakai oleh anak-anak muda. Maka lahirlah kata coeg yang akrab dengan generasi milenial. Kalimat makian lain seperti bajingukjingan, populer di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Sedangkan di Sumatera, yang terkenal hingga nasional adalah pap ma kah (Aceh), pukimak (Medan dan dikenal di seluruh Sumatera), pantek (Padang), hingga kampang (Palembang). Di Makassar, makian yang paling tajam adalah telaso. Di Papua, banyak yang memaki dengan menggunakan kata cukimai, walau kata ini juga banyak ditemukan di daerah lain dan secara pengucapan masih mirip dengan pukimai. Sedangkan di Bali, makian terkasar adalah naskleng. Sama seperti kata makian dalam Bahasa Inggris yang mengalami peyorasi dan perubahan makna, begitu pula kalimat makian dalam Bahasa Indonesia dan daerah. Kata jancuk, misalkan. Akan menjadi sapaan hangat nan bersahabat jika diucapkan kepada kawan baik. Bisa pula menjadi pujian yang tulus. Misal: jancok, arek iku cek uayune (Jancuk, anak itu cantik banget). Begitu pula kata-kata seperti asu, pukimak, juga naskleng yang kerap dilontarkan dalam tongkrongan sehari-hari. Pada akhirnya, manusia memang tidak bisa melepaskan diri dari memaki. Kata-kata memang tak bisa dipenjara. Apalagi cuma oleh norma sosial. Bahkan, makalah berjudul Taboo Word Fluency and Knowledge of Slurs yang dimuat dalam jurnal Language Sciences mengubah persepsi banyak orang tentang memaki. Dari makalah itu, dijelaskan kalau orang yang bisa mengeluarkan kalimat makian terbanyak dalam satu menit, cenderung punya IQ yang lebih tinggi ketimbang orang yang punya kosakata makian lebih sedikit. Baca: Taboo Word Fluency and Knowledge of Slurs \"Kajian itu menyimpulkan bahwa kekayaan kosakata makian adalah pertanda kekuatan retorikal yang mereka miliki,\" tulis John Stanley dari Business Insider. (*)              

Tags :
Kategori :

Terkait