Perang Dagang Amerika Serikat-Cina: Kerja Sama Indonesia-Rusia Semakin Erat

Jumat 08-02-2019,16:03 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

Perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Cina baru saja mengumumkan pembelian 500 ribu ton kedelai dari Amerika Serikat. Pembelian partai besar ini terjadi setelah Presiden Donald Trump mengadakan pertemuan dengan Presiden Cina, Xi Jinping pada awal Desember 2018. Kesepakatan perdagangan bernilai $180 juta ini sekaligus mendongkrak harga jual kedelai AS ke level tertinggi dalam kurun waktu 4,5 bulan di pasar berjangka komoditas. Transaksi pembelian tersebut mengindikasikan mencairnya ketegangan perdagangan dua negara kekuatan ekonomi terbesar dunia. Cina membeli 8,2 juta metrik ton kedelai dari AS sepanjang 2018. Walaupun angka ini merosot tajam dibanding periode yang sama tahun 2017 sebanyak 21,4 juta metrik ton. Bahkan Departemen Pertanian AS (USDA) (PDF) menyebut penjualan kedelai ke Cina turun tajam dari 7,1 juta metrik ton Oktober 2017 menjadi hanya 300 ribu metrik ton periode tahun ini. Cina adalah importir terbesar kedelai AS yang menyerap sekitar 60 persen ekspor kedelai Paman Sam senilai lebih dari $12 miliar pada 2017.       Baca: Oilseeds World Markets and Trade     Cina adalah mitra dagang AS terbesar dan begitu pula sebaliknya. Negeri Tembok Besar ini menguasai 21,6 persen pangsa impor AS. Angka itu jauh lebih tinggi dibanding posisi AS yang hanya menguasai 8,4 persen pasar impor Cina. Eksportasi ke AS menghasilkan devisa $436 miliar bagi Cina. Sebaliknya, ekspor ke Cina menghasilkan $112 miliar untuk devisa AS. Akhir 2016 adalah era keemasan Cina karena angka ekspor mencapai $2,27 triliun dan tercatat sebagai ekspor terbesar di dunia. Ekspor Cina selama lima tahun terakhir mengalami kenaikan 1,7 persen setiap tahun dari $2,04 triliun di 2011 menjadi $2,27 triliun pada 2016. Komputer menempati peringkat ekspor terbesar (mewakili 7,62 persen), diikuti oleh peralatan penyiaran yang mencapai 7,08 persen dan telepon sebesar 2,6 persen. Masifnya ekspor elektronik dari Cina ke AS dan belahan dunia lainnya disebabkan oleh banyaknya produsen elektronik yang membangun pabrik di Cina. Sejak 2011, Negeri Panda telah melampaui AS dalam menjadi produsen barang-barang manufaktur terbesar di dunia. Sektor manufaktur menjadi tumpuan pertumbuhan ekonomi nasional yang turut meningkatkan standar hidup masyarakat. Jika pada 1990 Cina hanya menghasilkan kurang dari 3 persen barang manufaktur ke pasar dunia, kini 80 persen AC di dunia adalah made in China; 70 persen ponsel dan 60 persen sepatu yang beredar di seluruh dunia datang dari pabrik-pabrik di Cina. Tingginya impor membuat AS menetapkan industri teknologi informasi dan komunikasi terkena kenaikan tarif impor. Selain fakta bahwa AS mengimpor elektronik dan komponen elektronik sebesar $150 miliar dari total keseluruhan impor asal Cina yang mencapai $526 miliar pada 2017. Langkah ini juga bertujuan menghambat gerakan 2025 Made in China. Skenario terbaik dari mendinginnya hubungan dagang AS dengan Cina adalah tercapainya kesepakatan dagang dan perang dagang sesungguhnya dapat dihindari. Presiden Trump sekali waktu pernah berucap, “Semoga situasi perdagangan ini akan diselesaikan pada akhirnya oleh saya sendiri dari Presiden Xi yang saya hormati,” kata Trump sebagaimana dikutip dari laman resmi Gedung Putih. Skenario kedua adalah eskalasi berkala perang dagang. Ini bisa terjadi jika dua negara tak mencapai kata sepakat. Konflik perdagangan akan berlanjut dan mengubah perdagangan internasional ke fase ‘new normal’, termasuk juga hubungan bilateral AS-Cina. “Beberapa tahun ke depan kita mungkin akan melihat periode eskalasi yang berganti dengan rekonsiliasi di bawah serangan ancaman dan juga pembicaraan,” tulis The Center for China and Globalization (CCG) dalam sebuah riset independen. Baca: China-US Trade Relations Keinginan Trump untuk mengurangi defisit perdagangan AS dengan Cina ke angka nol nampaknya mustahil terwujud. Namun, indikasi bahwa Trump tak memasang tenggat waktu untuk mengakhiri perang dagang hanya akan menghasilkan konflik perdagangan berkepanjangan. Kecemasan AS atas kebangkitan teknologi Cina dapat memperparah konflik. Skenario terakhir dan yang paling buruk adalah eskalasi perang dagang besar-besaran. Ancaman Trump untuk meningkatkan tarif atas barang Cina senilai $267 miliar serta pungutan sebesar $200 miliar dan $50 miliar akan direalisasikan. Jika saja hal itu terjadi, maka tarif pajak barang impor akan mencakup keseluruhan volume ekspor Cina ke AS. Hal ini tak hanya mengakibatkan dampak negatif pada ekonomi dua negara, tapi juga mengganggu rantai nilai global serta pertumbuhan ekonomi dunia. Morgan Stanley dalam riset berjudul \"Trade Tensions: Lingering for Longer\"  memperkirakan ekspor Cina akan turun menjadi 4 persen, 8 persen dan 13 persen. Itu terjadi jika AS menaikkan tarif sebesar 15 persen, 30 persen bahkan 45 persen terhadap seluruh barang impor Cina. Pertumbuhan ekonomi Cina juga akan tersungkur menjadi 5 persen. Baca: Trade Tensions Lingering for Longer Dalam riset yang sama, Morgan Stanley memperkirakan dampak negatif langsung dari perang dagang adalah terpangkasnya ekonomi AS sebesar 0,3-0,4 bps. “Jika perang dagang berlanjut dan tarif impor terhadap Cina jadi dikenakan maka konsumen AS akan merasakan dampak paling besar,” tulis laporan tersebut. Efek domino berikutnya dari penerapan tarif Cina adalah kerugian bagi negara-negara rantai pasok hulu. Misalnya, Cina yang merupakan adalah tujuan utama untuk ekspor komponen asal Korea Selatan. Jika ekspor Cina ke AS turun 10 persen, maka ekspor Korea Selatan menuju China akan terpangkas sekitar $28 milyar. Gangguan yang sama bisa dialami Jepang, Singapura, dan juga Taiwan dalam jangka pendek. Pasalnya, ketiga negara tersebut juga menjadikan negeri Tembok Besar sebagai tujuan utama ekspor industri teknologi informasi dan komunikasi. Sementara India dan negara-negara ASEAN seperti Vietnam, Malaysia, Indonesia, dan Thailand, bisa mengail untung dari eskalasi besar perang dagang AS-Cina. Sebab, perusahaan perakitan komputer seperti Dell asal AS, serta Sony dan juga Panasonic asal Jepang, telah memiliki pabrik di Malaysia. Demikian juga dengan Samsung asal Korea Selatan dan Intel asal AS yang telah membangun pabrik di Vietnam. “Ini berarti mereka akan mampu menerapkan kembali investasi dan produksi dengan relatif lancar,” tulis Economist Intelligence Unit (EIU) dalam laporannya. Benua hitam sebagai pihak yang tidak berdosa dalam konflik dagang AS-Cina pun bisa kena dampak lantaran menjadi pasar \'buangan’ ekspor Cina. Barang-barang asal Cina dapat dijual dengan harga yang sangat murah di pasar Uganda demi menambal surutnya pasar di AS. “Ini akan berdampak negatif pada produk lokal dan sektor manufaktur Afrika karena kapasitas produksi dan proteksionisme perdagangan kami tidak seperti di AS,” kata Fred Muhumuza, dosen ekonomi Universitas Makerere dilansir dari The Daily Monitor. Konsekuensi negatif lain yang akan dirasakan Afrika akibat perang dagang adalah berkurangnya peluang ekspor ke Cina. Negeri Panda akan memenuhi kebutuhan dalam negeri dengan barang substitusi produksi lokal meski berdampak pada penurunan kinerja impor mereka. Selama lima tahun terakhir, Cina sudah mengurangi impor tahunan sebesar 2,8 persen dari $1,39 triliun pada 2011 menjadi hanya $1,23 triliun pada 2016. Meski demikian, Afrika juga masih dapat berperan sebagai mitra investasi Cina. Melimpahnya komoditas dan diperlukannya pembangunan infrastruktur di Afrika telah membuat Cina merogoh kocek untuk mendanai lebih dari 3.000 proyek infrastruktur. Laporan McKinsey mencatat Cina memimpin pembiayaan infrastruktur dengan gelontoran dana sampai dengan $21 miliar sepanjang 2015. Menurut Foresight Africa 2018, Cina juga menjadi kreditur terbesar mencapai 14 persen dari total cadangan utang sub-Sahara Afrika. Volume pinjaman Cina kepada pemerintah Kenya enam kali lebih besar dari Perancis yang merupakan pemberi pinjaman kedua terbesar di negara tersebut. Lalu, bagaimana tantangan Indonesia dalam memanfaatkan perang dagang AS-Cina? Kementerian Perdagangan menyatakan kerja sama ekonomi antara Rusia dengan Indonesia tidak terpengaruh oleh perang dagang. Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan hubungan perdagangan antara Indonesia dengan Rusia dalam keadaan baik dan saling menguntungkan meskipun ada ketidakseimbangan dalam jumlah perdagangan kedua negara. Indonesia masih mencatatkan surplus dalam hubungan perdagangan dengan Rusia. \"Memang benar dalam perdagangan itu Indonesia surplus dan tidak ada hal yang salah. Bu Dubes (Duta Besar Rusia untuk Indonesia Lyudmila Vorobieva) juga tidak menyalahkan hal itu. Itu sesuatu yang normal,\" ungkap Enggar dalam konferensi pers peringatan masuknya produk-produk PT Mayora Indah Tbk (MYR) ke Rusia, di Jakarta, Rabu (6/2/2019). Vorobieva juga mengungkapkan hal senada. Ia menyebut Indonesia dan Rusia justru sedang berusaha untuk semakin mempererat hubungan bilateral kedua negara, termasuk hubungan ekonomi dan perdagangan, untuk mencapai target perdagangan sebesar US$5 miliar yang diamanatkan presiden masing-masing negara dalam pertemuan di Rusia tahun 2016 lalu. \"Yang kita cari itu, kita berdua bekerja keras untuk memperkuat hubungan perdagangan Rusia-Indonesia seperti yang ditugaskan kedua presiden kita di 2016 supaya mencapai US$5 miliar,\" ujarnya. \"Memang tidak ada permasalahan karena kita tidak berperang dagang seperti negara lain, kita kerja sama perdagangan,\" tegasnya, merujuk pada perang dagang yang sedang terjadi antara Amerika Serikat (AS) dan China. \"Mengenai ketidakseimbangan, ini proses. Kedua belah pihak kerja sama untuk berikan keuntungan bagi kedua negara. Ini tujuan kita,\" tambahnya. Sang duta besar juga menambahkan bahwa saat ini Rusia banyak mengekspor gandum ke Indonesia dan ia mengharapkan agar Rusia bisa menambah berbagai produk pertanian lainnya untuk dikirim ke Indonesia. Namun, ia juga menegaskan Rusia membuka peluang yang sama untuk Indonesia. Selain itu, ia mengungkapkan menargetkan kenaikan ekspor di bidang teknologi tinggi (high-tech) ke Indonesia. \"Kedutaan Besar Rusia dan Kemendag Rusia siap membantu [perusahaan Indonesia] mencari partner untuk mengembangkan hubungan dagang kedua negara,\" kata Vorobieva. (*)

Tags :
Kategori :

Terkait