Semua orang di Indonesia tahu Jokowi-JK berhasil mengungguli perolehan suara Prabowo-Hatta pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014. Soal bagaimana caranya boleh jadi tidak diketahui banyak orang. Meski tampak sumir, setidaknya ada dua keyakinan yang diterima secara umum (conventional wisdom) mengenai perilaku pemilih Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta di Pilpres 2014. Sebagaimana dituliskan Dimitar D. Gueorguiev, Paul J. Schuler, Kai Ostwald dalam \"Rematch: Islamic Politics, Mobilization, and the Indonesian Presidential Election\" (2019), secara umum Prabowo diyakini memperoleh dukungan dari kelompok konservatif agama dan kelas menengah. Sementara Prabowo rajin berkampanye di wilayah perdesaan (rural) dan menjanjikan proyek-proyek skala besar, banyak pihak melihat Jokowi sebagai pilihan masyarakat miskin perdesaan, termasuk kelompok minoritas etnis dan muslim moderat. Namun, conventional wisdom mengenai siapa mendukung siapa di Pilpres 2014 relatif tidak efektif ketika memprediksi perilaku pemilih pada pemilu tahun ini bila data jumlah pemilih di pelbagai kelompok pendukung kunci masing-masing kandidat tidak diketahui. \"Memahami dinamika pemilu tidak hanya cukup mengetahui kejelasan pola dukungan, tetapi juga kekuatan dukungan,\" tulis Gueorguiev dkk. Untuk itu, tiga peneliti dari tiga universitas berbeda tersebut mengembangkan model baru untuk melihat peta dukungan masyarakat miskin perdesaan dan muslim konservatif di Pilpres 2019 berdasarkan hasil Pilpres 2014. Mereka menunjukkan suara muslim konservatif kurang dimobilisasi lima tahun lalu dan dukungan masyarakat miskin perdesaan berpengaruh besar terhadap kemenangan Jokowi-JK. Gueorguiev dkk tidak memungkiri conventional wisdom yang menyatakan Jokowi sukses meraup suara dari masyarakat berpendidikan rendah dan perdesaan miskin ditopang data hasil jajak pendapat pemilih di tempat-tempat pemungutan suara (exit poll). Namun, hasil survei pada 2017 mengenai elektabilitas Jokowi menunjukkan tidak ada pembelahan yang signifikan di perilaku pemilih berdasarkan tingkat pendapatan dan pendidikan. Menurut Gueorguiev dkk, data yang menunjukkan peran Islam dalam Pilpres 2014 lebih tidak jelas dibanding persoalan di atas. Islam di Indonesia beragam praktek dan akidahnya. Juga belum ada penjelasan bagaimana keragaman itu berpengaruh terhadap pilihan di pilpres. Yang jelas ada asumsi yang berkembang bahkan hingga sekarang: Jokowi kurang berhasil menggaet suara di wilayah konservatif, sementara Prabowo sukses mencitrakan dirinya sebagai kandidat pembawa kepentingan umat Islam. Bukti pertanyaan tersebut bukannya tidak bisa disangkal. Masalahnya, menurut Gueorguiev dkk, survei-survei selama lima tahun terakhir tidak menunjukkan pemilahan dukungan kepada Jokowi berdasarkan tingkat konservatismenya. Gueorguiev dkk tidak memungkiri bahwa riset yang berusaha menyigi relasi seseorang dengan Islam lewat serangkaian hal yang dapat diamati seperti intoleransi agama, dukungan kepada Islam dalam politik, dan kesalehan telah dilakukan. Tetapi, menurutnya hasil penelitian itu tidak dengan gamblang menggambarkan perilaku pemilih. Dalam penelitiannya, Gueorguiev dkk berusaha menguji apa betul pemilih yang tinggal di wilayah muslim konservatif yang cenderung mendukung Prabowo alih-alih Jokowi. Yang juga diperiksa dalam penelitian ini adalah sejauh mana pemilih di perdesaan atau daerah berpenduduk miskin memberikan dukungannya kepada Jokowi atau Prabowo, terlepas dari agama dianut. \"Tujuan kami dalam makalah ini ialah menyuguhkan data baru untuk mempertanyakan conventional wisdom tersebut. Rincinya, kami menguji asumsi-asumi tersebut terhadap data dari hasil Pilpres, dipadukan dengan data sensus demografi populasi, distribusi kekayaan, dan komposisi industri,\" sebut Gueorguiev dkk. Untuk hasil Pilpres 2014, Gueorguiev dkk mengandalkan data yang dihimpun kawalpemilu.org. Data ini memuat perolehan suara Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta hingga tingkat tempat pemungutan suara (TPS). Namun, untuk keperluan analisis, Gueorguiev dkk menggunakan hasil perolehan suara Pilpres 2014 di tingkat kecamatan. Data itulah yang kemudian Gueorguiev dkk padu-silangkan dengan data Sensus Penduduk 2010 yang dibikin Badan Pusat Statistik (BPS). Rata-rata tingkat partisipasi pemilih di Pilpres 2014 tingkat kecamatan sebesar 71,17 persen. Sedangkan rata-rata persentase suara yang diperoleh Jokowi-JK di tingkat kecamatan sebesar 53,6 persen. Tantangan yang dihadapi Gueorguiev dkk: bagaimana cara mengukur faktor yang tidak dapat diobservasi seperti tingkat konservatisme agama di suatu wilayah? Untuk itu, Gueorguiev dkk membuat ukurannya sendiri. Caranya dengan memeriksa matriks ko-varian sejumlah kuantitas yang-dapat-diobservasi yang menunjukkan tingkat konservatisme agama. Hasilnya, tiga indikator memenuhi syarat tersebut. Suatu kecamatan disebut konservatif Islam bila populasi penduduk muslimnya besar sekali, ada kesenjangan pendidikan yang ditunjukkan dengan disparitas buta huruf pada perempuan, dan disparitas tingkat perceraian yang diajukan perempuan tinggi. Selain konservatisme agama, dua faktor lain turut diuji ialah kedesaan dan kemiskinan. Tingkat kedesaan diukur melalui tiga indikator, yakni banyaknya populasi perdesaan di wilayah tersebut, jumlah rumah yang memiliki saluran pipa dalam rumah, dan akses internet. Sedangkan tingkat kemiskinan diukur melalui jumlah penduduk miskin, angka kehamilan remaja, dan disparitas angka perempuan yang mengenyam pendidikan setingkat SMA. Walhasil, model yang dikembangkan Gueorguiev dkk memperlihatkan pemilih yang tinggal di kecamatan konservatif lebih banyak memilih Prabowo-Hatta di Pilpres 2014. Sedangkan pemilih di kecamatan moderat lebih banyak memilih Jokowi-JK. Namun, tingkat partisipasi pemilih tinggi justru ditemui lebih banyak di kecamatan non-konservatif, khususnya yang dihuni pemeluk agama minoritas, dibanding kecamatan konservatif dan berpenduduk homogen muslim. Sementara itu, kecamatan yang tingkat partisipasinya tinggi cenderung dimenangkan Jokowi-JK. Paslon usungan Koalisi Indonesia Hebat itu juga unggul ketimbang Prabowo-Hatta di kecamatan yang tingkat kedesaan dan kemiskinannya tinggi. Pemilih Islami belum termobilisasi pada Pilpres 2014. Sebagian besar wilayah konservatif memang dimenangkan Prabowo-Hatta, tapi tingkat partisipasi pemilihnya rendah. Menurut Gueorguiev, dkk. kedekatan Prabowo dengan pendukung demonstrasi anti-Ahok mengindikasikan posisinya lebih baik dalam mendorong dan memobilisasi suara muslim konservatif di Pilpres 2019. \"Seberapa besar sebenarnya konstituen yang tampak belum dimobilisasi, apakah Prabowo dapat mengaktifkan mereka secara efektif pada Pilpres 2019, dan apakah itu pada akhirnya menguntungkannya, semua masih harus dilihat,\" ujar Gueorguiev, dkk. Mobilisasi muslim konservatif semasa Pilkada DKI Jakarta 2017 berpotensi mengubah lanskap politik. Jokowi sangat menyadarinya sehingga dia mesti menggandeng sosok kiai konservatif Ma\'ruf Amin sebagai calon wakil presiden (cawapres). \"Langkah tersebut mungkin melumpuhkan atau mematikan kelompok moderat dan minoritas yang berperan penting memenangkan [Jokowi] pada Pilpres 2014. Atau paling tidak, Ma\'ruf tampaknya tidak dapat mendorong kelompok milenial (penduduk berumur 17-35) yang mencakup hampir separuh total pemilih dan dinilai berperan penting dalam memenangkan Jokowi di Pilpres 2014. Pun, jika kelompok itu tetap bersama Jokowi, temuan kami menunjukkan pengaruh mereka sudah mentok di 2014 saja. Terus terang, lanskap politik Jokowi dan kelompok moderat seperti dia kurang diminati iklim politik sekarang ketimbang 2014,\" sebut Gueorguiev dkk. (*)
Menakar Suara Muslim 2019: Jokowi versus Prabowo
Sabtu 02-03-2019,14:49 WIB
Editor : Dian Arief Setiawan
Kategori :