Drainase Permukiman Warga Mengkhawatirkan

Senin 18-03-2019,10:01 WIB
Reporter : Husain Ali
Editor : Husain Ali

CIREBON – Drainase di kawasan permukiman padat penduduk Kota Cirebon perlu mendapatkan perhatian pemerintah. Di beberapa lokasi, air kerap meluap ke jalanan. Bahkan menggenangi kediaman warga. Persoalan ini timbul sebagai konsekuensi dari pengembangan kota dan pemanfaatan ruang. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2018-2022 disebutkan bahwa dalam kondisi eksisting kondisi Permukiman Kota Cirebon saat ini belum layak. Di beberapa tempat/lokasi masih terdapat permukiman-permukiman kumuh. Kondisi tersebut timbul akibat masih belum tertatanya pola permukiman dan belum terpenuhinya sarana dan prasarana di permukiman. Sarana dan prasarana tersebut adalah prasarana/infrastruktur jalan lingkungan, jalan setapak, air bersih, air limbah, persampahan dan drainase. Berdasarkan hasil pendataan, pada tahun 2009 terdapat 59.632 unit bangunan dengan jumlah rumah layak huni sebanyak 45.154 unit (sumber data: Dinas Kesehatan). Sedangkan pada tahun 2010 jumlah rumah meningkat sebanyak 68.787 unit (sumber data: Dinas Pekerjaan Umum Penataan Ruang). Dari jumlah rumah yang ada, tidak sepenuhnya dilengkapi dengan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Permasalahan belum dilengkapinya bangunan rumah dengan IMB ini terus menjadi perhatian Bidang Tata Ruang dan Perumahan terkait dengan pengendalian pemanfaatan ruang kota. Dari padatnya kawasan permukiman itu, Kota Cirebon memiliki 23.247 kilometer drainase tersier. Dengan saluran terpanjangan ada di Si Jarak yang mencapai 2.084 milometer. Dan terpendek di drainase Jl Lemahwungkuk yang hanya 0,41 kilometer. Dalam RPJMD juga disebutkan, persoalan drainase disebabkan belum ada ketegasan fungsi saluran drainase, untuk mengalirkan kelebihan air permukaan/mengalirkan air hujan, apakah juga berfungsi sebagai saluran air limbah permukiman (grey water). Sedangkan fungsi dan karakteristik sistem drainase berbeda dengan air limbah, yang tentunya akan membawa masalah pada daerah hilir aliran. Apalagi kondisi ini akan diperparah bila ada sampah yang dibuang ke saluran akibat penanganan sampah secara potensial oleh pengelola sampah dan masyarakat. PROBLEMATIKA KAWASAN PERMUKIMAN Pantauan Radar, buruknya pengelolaan drainase membuat warga khawatir dengan infrastruktur jalan dan kesehatan mereka. Misalnya di Perumahan Griya Prima Pesona (GPK). Drainase nyaris tidak bisa mengalirkan air. Saluran di depan RW 10 Sukerduwur, Kelurahan Kalijaga, selalu meluap ke jalan. Menimbulkan bau dan berpotensi menyebarkan penyakit. Ketua RW 10, Samsuri mengatakan, permasalahan ini karena pengembang perumahan tidak bertanggung jawab. Padahal secara aturan, selama perumahan itu belum sepenuhnya lunas semua, pengembang yang wajib membuat sekaligus memelihara fasilitas umum, termasuk drainase. \"Perumahan ini baru sekitar tujuh tahunan. Belum diserahkan kepada pemerintah. Warga perumahan mengeluh drainase tidak jalan, karena tidak ada jalur pembuangan keluar perumahan,\" ujar Samsuri, kepada Radar, Minggu (17/3). Hal senada diungkapkan warga perumahan setempat, Benny Hidayat (37). Lima tahun belakangan kompleks kediamannya rutin terkena banjir. Ratusan rumah terendam dengan ketinggian air sampai satu meter. Menurutnya, saluran utama drainase GPK ini ada, tapi sekarang tertutup oleh perumahan baru di sampingnya. Walau hujan turun sebentar saja, dipastikan air menggenang. Belum lagi banjir kiriman dari sawah yang ada di belakang perumahan. \"Sebenarnya kami sudah mengajukan permohonan untuk membuka akses drainase. Tapi tidak digubris,\" ucapnya. Selain itu, dari RW juga sudah melayangkan surat ke kelurahan sampai kecamatan pada tahun 2017 lalu, tapi belum ada respons. \"Kami mohon perhatian pemerintah kota untuk membantu kami. Karena kalau hujan kami waswas, rumah kami akan terendam lagi,\" tuturnya. Di lain tempat, kondisinya juga tidak lebih baik. Di RW 06 Suradinaya, Kelurahan Pekiringan, Kecamatan Kesambi, dari tujuh RT empat diantaranya selalu terjadi genangan saat hujan. Seperti di RT 02, 05, 06 dan 07. Air bisa mencapai 20 centimeter dan baru surut saat hujan reda. \"Itu kalau hujan biasa saja. Kalau Sungai Kedungpane meluap, ya wilayah kami terendam,” ujar Ketua RW 06 Suradinaya, Rudi Santoso. Sejak ada normalisasi, banjir memang tidak terjadi. Kalaupun hujan deras, tidak sampai merendam rumah warga. Tetapi air tetap naik karena drainase rusak dan sama sekali tidak terpelihara. Kondisi serupa juga terjadi di nyaris sepanjang Jl Perjuangan. Saat hujan turun, mulut gang mengeluarkan air dari permukiman di dalamnya. Air tidak lagi melewati drainase. Sehingga jalanan tak ubahnya sungai meski hujan turun tak begitu deras. Sementara itu, perbaikan drainase sendiri tidak bisa dilakukan menyeluruh oleh Dinas Pekerjaan Umum Penataan Ruang (DPUPR). Kepala Bidang Sumber Daya Air, Syarif mengakui, perbaikan bisa dilakukan sesuai permintaan. DPUPR menerapkan skala prioritas dan urgensi. Hal ini terkait anggaran pembuatan dan pemeliharaan yang terbatas. \"Silakan ajukan permohonan ke kami, tim akan mensurvei dulu untuk perencanaan perbaikannya,\" tandas Syarif. Akademisi Sekolah Tinggi tehnologi Cirebon (STTC), Mudhofar mengatakan, sejak Pemerintahan Kolonial Belanda, drainase Kota Cirebon sudah dipersiapkan sedemikian rupa. Belanda yang punya pengalaman dengan masalah permukaan laut, tentu punya pertimbangan sendiri termasuk soal tinggi air muka laut. Saat masih bernama kota praja, sudah dibangun daerah aliran sungai (DAS) sampai empat titik. Namun pada perkembangannya, DAS dalam kondisi kurang terawat, belum lagi minimnya daerah resapan air. Tetapi, apa yang dibangun di era kolonial itu tentu perlu penyesuaian. Kondisi saat ini sudah jauh berbeda. “Sudah kekurangan dan pohon-pohon, yang ada malah ditebang,” tutur Mudhofar, beberapa waktu lalu. Penebangan pohon ini, berkejaran dengan terus berkurangnya daerah resapan air. Imbasnya, debit air yang masuk drainase menjadi sangat besar. Di beberapa lokasi, daya tampung saluran sudah tidak mendukung dan meluber ke jalanan. Alumnus Universitas Diponegoro (Undip) ini juga menyarankan kepada pemkot untuk kembali me-review keberadaan daerah resapan. Kalaupun drainase dibesarkan, belum tentu optimal akibat besarnya debit air yang masuk. Pada akhirnya, apa yang selama ini disebut genangan karena durasinya di bawah tiga jam bakal menjadi banjir. “Saya sarankan pemkot meneropong ulang sistem drainase termasuk mengevaluasi keberadaan daerah reasapan air. Sekarang ini resapan semakin berkurang seiring pembangunan gedung-gedung,” katanya. (gus/myg)

Tags :
Kategori :

Terkait